Wednesday, July 18, 2007

“ Pak Win adalah seorang kapitalis!!”

Kata-kata itulah yang muncul dari mulut seorang pengungsi di Pasar Baru Porong. Yuli namanya. Ia menjabat sebagai Wakil Sekretaris Paguyuban Warga Renokenongo Menolak Kontrak, atau yang lebih dikenal dengan Pagar Rekontrak. Wanita paruh baya yang siang itu (16 Juli 2007) memakai kaos berwarna kuning, dengan semangat menjelaskan tentang keberadaan serta keadaan pengungsi di Pasar Baru Porong. Pengungsi di Pasar Baru ini berjumlah 766 Kepala Keluarga, dengan total 2581 jiwa.

Siang itu, warga masih beraktivitas seperti biasa. Bahkan warga tidak mengindahkan ancaman yang kerapkali muncul lewat SMS ataupun telpon, yang sebagian besar bernada kasar. Dua hari yang lalu, tanggal 15 Juli adalah deadline dimana warga Desa Renokenongo harus meninggalkan lokasi Pasar Baru. Apabila mereka tidak mau, maka akan terjadi pengusiran oleh Satpol PP.

Para pengungsi juga mendengar isu bahwa pedagang di Pasar Lama juga akan mendesak mereka supaya segera pindah. “Saya rasa tidak benar kalau pedagang di Pasar Lama akan mengusir kami. Ini semua hanyalah isu yang digunakan Pak Win untuk mengadu domba kami dengan para pedagang, supaya kami pindah. Pak Win bukan seorang pancasilais, dia adalah seorang kapitalis!!”, ujar Yuli dengan emosional. Ia menambahkan bahwa Bupati Sidoarjo dinilai kurang berpihak pada warga pengungsi.

Setelah dikonfirmasi kepada para pedagang, mereka mengatakan bahwa apabila lumpur tidak muncul, mereka lebih senang berada di Pasar Lama. Pasar Lama dipandang lebih ramai karena dekat dengan jalan raya, selain itu pedagang juga mempertimbangkan segi keamanan di Pasar Baru. “Tapi, kalau memang pemerintah menyuruh kami pindah, ya kami manut saja. Walaupun saya sebenarnya lebih senang di Pasar Lama karena lebih ramai sehingga bias buka toko hingga jam 9 malam.”, ungkap seorang pedagang di Pasar Lama.

Warga desa Renokenongo masih tetap bertahan di Pasar Baru hingga tuntutan mereka dipenuhi, yaitu pembayaran 50% uang muka dan 30 hektar tanah sebagai ganti rugi immateriil. Warga mengaku, tinggal di Pasar Baru ini atas instruksi Pak Win, Bupati Sidoarjo. Warga juga telah membuat bambu runcing. “ Kami tidak ingin kekerasan. Kami lebih suka dialog. Bambo runcing itu hanya sebagai simbol semangat perjuangan kami untuk menuntut ganti rugi ini. Kami meneladani Bung Tomo yang juga menggunakan bambu runcing ini di kala melawan penjajah.”, ujar Pitanto, Wakil Ketua Pagar Rekontrak.

Para suami yang sebelumnya bekeja sebagai buruh tani, buruh tambak, tukang ojek, kini lebih banyak menganggur. Sedangkan para ibu telah mendapat pelatihan dari PT. PLN (Persero) kerjasama dengan Balai Latihan Kerja (BLK) Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Bojonegoro, yaitu pembuatan krupuk puli, kue nastar, kue larut keju, kue coklat, dan lain-lain. Selain itu, mereka juga berjualan bunga. Semua kegiatan ini dilakukan agar memperoleh tambahan keuangan untuk menafkahi keluarga mereka. 1 kg krupuk puli dijual seharga Rp. 6000,-.

Keberadaan para pengungsi ini adalah gambar ketidaksiapan pemerintah dalam melindungi hak-hak rakyatnya. Cobalah anda tengok para pengungsi di Pasar Baru Porong ini, maka anda akan mendapatkan realitas bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Namun, jangan hanya berhenti di tatara menengok saja, lakukan sesuatu untuk membantu mereka. Setidaknya, untuk membuat mereka bisa sedikit tersenyum.

No comments: