Saturday, September 15, 2007

Jalan-Jalan

Jogja: Unforgetable Moment

6 Sept 2007: Nikmatnya naik Kereta Api kelas Ekonomi
“Ayo, Dek, buruan! Tar kita telat loh!”, ujar Mas Insaf. “Iya…Iya, tunggu.”, sahutku. Kami pun bergegas ke stasiun. Benar saja, 5 menit setelah duduk di dalam gerbong, kereta api mulai berjalan dan mempercepat larinya meninggalkan kota Jember. Aku menghela nafas lega, huuh….. Akhirnya jadi juga kami bepergian berdua. Kami ke Jogja untuk menghadiri wisuda Bang Kastro, sepupu Mas Insaf.

Kami sengaja naik kereta ekonomi Logawa dengan beberapa maksud. Pertama, tentu saja lebih irit. Kedua, kami ingin menikmati perjalanan dengan angkutan transportasi massal yang bisa membuat kami akrab dengan kehidupan sebagian besar rakyat Indonesia (ciiee…). Ketiga, kami telah berjanji kepada Mama untuk bertemu Mbak Ridha di Stasiun Nganjuk, dan menyampaikan barang titipan Mama.

Di tengah perjalanan, ada seorang ibu yang umurnya 60-an dan anaknya duduk berhadapan dengan kami. Tiba-tiba saja ibu itu berkata padaku,” Itu kakaknya ya? Kok mirip banget?”. “Bukan, bu. Dia ini pacar saya.”, jawabku. “Wah..kata orang kalo mirip gitu jodoh. Semoga itu benar ya?!”, kata ibu itu lagi. Aku tersenyum dan mengamini dalam hati.
Kereta api mampir di Stasiun Nganjuk pukul 14.30. Aku melihatnya. Yaa..kakakku yang tengah hamil 7 bulan beserta suaminya. Aku memberikan barang titipan mama, barter dengan dua bungkus nasi (he..he..he..). Kami sempat bercakap-cakap beberapa menit. Aku senang melihat kakakku sehat-sehat saja. Aah..sebentar lagi aku akan punya ponakan, pikirku.
Kereta meniupkan peluitnya pertanda akan berangkat. Kami pun kembali ke tempat duduk dan segera makan. Tentu saja kami sangat lapar karena mulai dari Jember kami belum makan. Setelah makan, apa? Penyakit lama kembali menyerang. Rasa kantuk mulai menyerang. Kami tak sanggup bertahan maka menyerah saja. Maka..tidurlah kami berdua dengan damai dan aman sentosa…..zzzZZzzZZ…
Kami tiba di Stasiun Lempuyangan Jogja pukul 17.00 tepat. Kami menunggu jemputan Bang Kastro, sepupu Mas Insaf yang akan wisuda. Tingginya sekitar 175 cm dan lebih berat 20 kilo-an dari Mas Insaf.

Petualangan pun dimulai…Here we go!
Kami rehat sebentar di Kos Bang Kastro. Setelah itu, kami pergi ke rumah Mbak Pipit (pacar Bang Kastro) supaya aku bisa mandi, dan beristirahat disana. Kami berkenalan dan ngobrol dengan orangtua Mbak Pipit. Orangtua Mbak Pipit adalah orang Jogja tulen, maka tidak heran bila perangai mereka sangat halus.
Pukul 20.00 kami menjemput Bibi dan Kila (orangtua Bang Kastro) dan mengantarkan ke kos Bang Kastro. Lalu aku kembali ke rumah Mbak Pipit dan beristirahat.

7 September 2007: Sesaknya Pasar Beringharjo
Keesokan harinya, Bibi ingin ditemani berbelanja di Pasar Beringharjo. Maka, kami (Bibi, Kila, Mas Insaf,aku) naik taksi ke Pasar Beringharjo. Sesampai disana, Bibi membeli beberapa pasang baju untuk anak-anak dan ponakannya yang ada di Medan. Bibi mengaku merasa senang berbelanja disana karena harganya sangat murah. “Ayo Nakku, kam pilihkan yang mana yang bagus untuk Bibi!”, pinta Bibi suatu waktu. “Iya Bi, rasanya campuran warna merah dan coklat ini cantik, cocok untuk Bibi.”, kataku. Maka Bibi pun membelinya. Tak lupa aku membeli baju untuk mama dan bapak di Rumah Banyuwangi.
Setelah puas berbelanja, kami makan bakso di pinggiran jalan Malioboro. Setelah itu, kami pulang ke Kos Bang Kastro. Bibi dan Kila pun beristirahat.

Pintarnya Jogja
Setelah itu, aku dan Mas Insaf berjalan-jalan ke Pameran buku di JEC. Nampaknya pameran ini serupa dengan pameran yang pernah ada di Jember, hanya sedikit lebih lengkap disini. Di JEC, kami hanya membeli buku karya Umberto Eco. Lalu, kami ke Social Agency, karena disana lebih lengkap dan harga diskon. Kami membeli beberapa buku disana. Saat itulah aku menyadari betapa kurangnya fasilitas yang dimiliki Jember, terutama akses mahasiswa terhadap buku. Kapan dan bagaimana mahasiswa Jember bisa lebih update akan perkembangan yang terjadi bila buku yang dibutuhkan jauh dari jangkauan?

8 September 2007: Hari yang ditunggu-tunggu..
Inilah salah satu alasan kami ke Jogja. Pukul 12.00 setelah wisuda usai, kami memberi ucapan selamat ke Bang Kastro lalu berfoto bersama. Bang Kastro terlihat bahagia. Tentu saja, setelah 6 tahun duduk di bangku kuliah STT Nas, hari ini adalah yang paling ditunggu-tunggu. Gelar Sarjana Teknik telah diraihnya. Aku membayangkan Mas Insaf yang memakai toga itu, pastilah aku orang yang paling berbahagia di dunia ini.
Untuk merayakan ini semua, kami (Bibi, Kila, Mas Insaf, Bang Kastro, Bang Roy, Bang Sutra, Oza, Mbak Pipit, aku) makan siang di depot ayam goreng Suharti. Ehhm….yummy.,..enak! 3 ekor ayam kampong utuh, 2 tumis kangkung, 2 bakul nasi putih, minuman segar segera tersedia. Tak perlu menunggu komando, kami segera melahap habis makanan itu semua. “nah..Tyas jangan kaget ya, orang Karo emang begini ini, makannya banyak.”, ujar Abang Sutra. Aku hanya tersenyum. Waah…sama dong, pikirku. Setelah itu, kami beristirahat di kos Bang Kastro.


9 September 2007: Borobudur in love
Keesokan harinya, pukul 09.30 kami berwisata ke Candi Borobudur. Kami naik mobil Mbak Pipit. Mobil tua itu berisi 8 orang. Sopir, Bang Kastro dan Bang Roy di depan, Mbak Pipit dan Bibi di tengah, serta Kila, Mas Insaf dan aku di belakang. Di tengah perjalanan, kami membeli salak pondoh. Sebelum tiba di Candi Borobudur, kami melewati Candi Mendut. Kami sampai di Candi Borobudur pukul 11.00. Acara pertama: makan.
Setelah itu kami membeli tiket masuk dan menyewa 3 buah payung karena teriknya matahari benar-benar serasa di atas ubun-ubun. Setelah kami masuk ke lokasi, kami harus berjalan kurang lebih sejauh 1,5 km. Waw… keren banget relief-relief ini, pikirku. Dan letak candi ini yang begitu stategis diapit gunung dan lembah membuat candi ini terlihat semakin menjulang. Tak heran bila ini disebut keajaiban dunia. Benar-benar keajaiban.
Aku benar-benar menikmati wisata ini karena ini adalah kali pertama aku ke sini. Dan ternyata ini juga pertama kalinya Mas Insaf ke sini, kami pun memanfaatkan moment ini untuk berfoto-foto sebanyak dan seunik mungkin. Kapan lagi, pikirku.
Setelah puas berkeliling, kami pun pulang. Sebenarnya, kami berencana untuk melanjutkan wisata ke Parangtritis, tapi karena Bibi sudah cape dan mengeluh kakinya sakit, maka kami pun pulang ke kos Bang Kastro. Ternyata sewaktu perjalanan, kami semua tertidur saking capenya. Kasian sopirnya ga bisa tidur….(hehe..)

10 September 2007: Bersantai bersama Keluarga
Ini adalah hari terakhir kami bisa berkumpul, karena esok pagi Bibi, Kila dan Bang Roy akan kembali ke Medan. Sore pukul 15.00, aku dan Mas Insaf ingin ke Perpustakaan UGM, cari inspirasi skripsiku, tapi ternyata perpustakaannya udah tutup. Kami langsung meluncur ke Shoping, Karena matahari sudah mulai malas bersinar, kami pun pulang. Sebelum pulang, kami teringat Bibi ingin dibelikan bakso. Singgahlah kami di bakso Pak Narto, dan kami masing-masing melahap semangkuk bakso. Ternyata Mas Insaf gak bo’ong, baksonya benar-benar enak.
Kami sampai di kos pukul 18.00 dengan membawa 3 bungkus bakso. Bibi dan Kila pun segera memakan baksonya, “Ehhm….enak ya, baksonya, Nakku!”, ujar Bibi sambil mengunyah pentol bakso. Aku pun mengangguk.

Bukit Pathuk: Kerlap-kerlip Lampu Jogja
Sebelum pulang ke rumah Mbak Pipit, aku merengek ingin ke Bukit Pathuk karena menurut Mbak Pipit dan Ibunya, tempat itu indah sekali. Pukul 20.30 kami berempat (Bang Kastro, Mbak Pipit, Mas Insaf, aku) pergi ke dataran tinggi tersebut. Kira-kira 30 menit, kami sampai di sebuah kedai minum dimana bisa melihat kerlap-kerlip lampu Jogja dari kejauhan. Sungguh indah dan dinginnya luar biasa. Bahkan segelas kopi susu panas pun tak mampu mengusir dingin ini.
Setelah kopi susu kami teguk hingga ke dasarnya, kami pun pulang. Malam itu, aku dan Mbak Pipit sengaja berlama-lama ngobrol hingga pukul 00.00, karena ini adalah malam terakhir aku bermalam di kamarnya.

11 September 2007: Bibi kembali ke Medan
Aku dan Mbak Pipit anter Bibi dan Kila hingga di Bandara. Kami sempat bersalam-salaman dan cipika-cipiki. Semoga kita lekas bertemu lagi, Bibi. Semoga kita benar-benar bisa menjadi sebuah keluarga, suatu hari kelak. Amin.
Siangnya, aku dan Mas Insaf ke Perpustakaan FISIP UGM untuk cari-cari literatur untuk menunjang skripsi Mas Insaf dan aku. Alhasil, dengan uang yang nipis, kami hanya bisa fotokopi 5 buku, itu pun dengan format panjang. Kari sekaken a’ee….!!
Setelah itu, kami makan siang, kembali ke kos Bang Kastro, packing, dan kota selanjutnya, Semarang, siap menanti kami. Mbak Pipit dan Bang Kastro mengantarkan kami hingga terminal Jombor. Kami naik bis Nusantara. Yooo…….Semarang, kami dataanggg!!!!

******

Sore itu langit mulai gelap, matahari sudah kembali ke peraduannya di ufuk Barat ketika kami tiba di terminal Banyumanik Semarang. Aku melirik jam tanganku, tanggal 11 pukul 17.30.WIB. Ini kali ketiga aku menginjakkan kaki di Ibu Kota Jawa Tengah ini. Pertama, ketika menghadiri pesta pernikahan abangku yang menyunting gadis asal kota ini tahun 2002 lalu. Kedua, tahun 2006 untuk menemui abangku yang menginap di rumah mertuanya. Dia baru saja pulang dari Amerika Serikat untuk menyelesaikan program master di University of Utah. Waktu itu, Aku, dia, istrinya (mbak) dan anak mereka Oza bermaksud pulang bersama-sama ke Kuta Kepar, desa terpencil di Sumatera bagian Utara. Di desa itulah kami lahir dan menghabiskan masa kecil yang bahagia. Kini aku kembali datang ke kota ini. Bedanya, aku tak lagi datang sendiri tapi bersama Tyas, gadis yang jadi pacarku selama setahun belakangan ini.
Meskipun sudah kali ketiga, aku masih saja tak ingat alamat bahkan nomor telepon rumah orangtua kakak iparku yang hendak kami tuju. Aku mengingat-ingat dan mencoba melihat di HP kalau-kalau alamat dan nomor telepon itu aku simpan. Namun, sial, HP-ku mati karena kehabisan daya. Tak lama kemudian HP Tyas berdering, dari abang,Tyas memintaku untuk mengangkatnya.
“Kalian sudah sampai?”
“sudah baru aja”
“langsung saja naik taksi, bilang ke Sampangan lewat Papandayan ke Perumahan Bukit Unggul nanti berhenti aja di Jasmin Catering. Dari situ jalan ke rumah, ingat kan kamu sudah pernah ke sini to?”
“Iya”.
Aku lalu menyampaikan alamat itu ke Tyas agar membantuku untuk mengingat-ingatnya. Sekitar limabelas menit kemudian kami sudah tiba di alamat yang dituju, abang menyambut di depan pintu dengan senyum.
“Eh, kalian nggak nyasar ternyata”, katanya. Lalu memegang pundak Tyas dan berkata “kok mau aja ikut bersusah-susah”. Tyas hanya tersenyum dan kami pun duduk di ruang tamu. Barangkali yang ia maksud dengan bersusah-susah adalah soal tempat tidur. Rumah itu tak cukup besar untuk menampung kami berdua karena tepat tidur hanya empat. Padahal penghuninya berjumlah delapan orang dewasa dan dua anak kecil, Oza dan adiknya yang baru lahir dua minggu yang lalu. Sebenarnya jumlah kamar itu sudah pas jika tanpa kami berdua dan abang serta keluarganya.
Tanpa ngobrol lebih banyak kami segera mandi dan dan makan.

*****

Waktu masih menunjukkan pukul 06.30 wib, aku sudah terjaga dibangunkan abang. Tadi malam aku tidur di ruang tamu di atas lantai dengan menggelar karpet. Toni, adik bungsu kakak iparku tidur di atas sofa di sebelahku. Tanpa mencucui muka aku langsung ke teras dan membaca Koran. Tyas datang dan menyuguhkan teh lalu mengajakku keluar jalan-jalan sekalian membeli oleh-oleh. Pukul 08.00 wib, abang membeli Pecel dan kami sarapan. Tyas dan mbak sudah lebih dulu sarapan bubur. Pecelnya puedees luar biasa tapi karena enak, aku nggak peduli. Jam sembilan pas kami berangkat jalan-jalan dengan menggunakan angkutan umum. Tempat pertama yang jadi tujuan adalah kota lama Semarang yang sudah sering kami saksikan beritanya di televisi.
Rasanya kondisi bangunan tua di tempat tersebut tak jauh berbeda dengan bangunan tua di kota lainnya, sama-sama tak terurus. Kondisi sungai di sekitarnya tersebut juga sami mawon dengan keadaan sungai di kota-kota besar di seluruh Indonesia, tercemar dan mengeluarkan aroma yang tak sedap. Namun, dibandingkan dengan kota tua di Jakarta, Surabaya atau Jogjakarta, keadaan kota tua di Semarang relatif lebih baik dari yang terburuk. Di kota-kota lain bangunan tua banyak yang sudah (di)runtuh(kan) dan diganti dengan bangunan baru yang lebih megah sedangkan di sini bangunan itu masih ada meskipun sebagian besar dibiarkan saja tak terurus. Barangkali karena pertimbangan itu juga, Mira Lesmana dan Riri Riza memilih Semarang sebagai lokasi Syuting film Soe Hok Gie beberapa waktu silam.

Setelah menyusuri kota lama, kami melanjutkan perjalanan ke Simpang Lima. Karena sudah sama-sama lapar kami sepakat untuk mencari warung untuk makan. Dalam perjalanan perutku sempat mules-mules, nampaknya gara-gara kebanyakan sambal pecel tadi pagi. Rasa sakit itu memaksa kami untuk singgah ke mall terdekat, Ciputra Mall, aku bergegas ke toilet. Setelah makan, perutku kembali bergejolak dan lagi-lagi harus masuk ke mall terdekat, Ramayana. Setelah dari toilet kami sempat berjalan-jalan dan makan es krim di Mc Donald, membeli roti lalu keluar dengan maksud melanjutkan jalan-jalan. Tujuan berikutnya adalah objek wisata yang juga sangat terkenal di Semarang yaitu bangunan tua yang bernama Lawang Sewu. Aku lupa kapan tepatnya bangunan ini dibangun. Pemandu yang mengantar kami beserta serombongan pelajar dari Ungaran sempat bercerita, namun aku nggak terlalu konsen sama penjelasannya. Tempat ini dulunya adalah stasiun kereta api milik pemerintah Hindia Belanda, lalu sempat menjadi markas Kodam Diponegoro, kantor Dinas Perhubungan dan Kosong sampai sekarang. Konon, kata si penjaga gedung tersebut, tempat ini bukan tempat sembarangan, angker sehingga sering dijadikan tempat uji nyali. Ada salah satu ruangan kecil yang pada masa Jaman pemerintahan Belanda merupakan ruang tendon air, oleh Jepang dijadikan tempat latihan memenggal kepala manusia. Ada juga ruang penyiksaan tahanan di lantai atas. Tak heran, tempat ini sering dijadikan tempat mencari wangsit oleh orang-orang yang barangkali percaya pada “penunggu” gedung ini. Kami masih bisa melihat sisa-sisa lilin persembahan para peziarah itu.

Tak jauh dari Lawang Sewu ada pusat oleh-oleh. Kami berjalan kaki menuju tempat itu. Lagi-lagi di jalan perutku mules dan terpaksa mencari tempat terdekat yaitu Rumah Sakit bersalin untuk numpang toilet. Aku benar-benar merasa dikerjai. Langit kembali gelap, kami bergegas pulang. Sesampai di rumah waktu sudah menunjukkan pukul 17.30 wib. Saatnya mandi, makan, dan pulang ke Jember.

Baca Selengkapnya..