Tuesday, August 21, 2007

Dari Yamato Sampai Ke Aceh

“Dengan ini aku memberikan tugas kepadamu pribadi. Dalam keadaan apapun djuga, aku memerintahkan kepadamu untuk mendjaga bendera kita dengan njawamu. Ini tidak boleh djatuh ketangan musuh” (Bung Karno dalam Cindy Adams).

Insiden penurunan bendera merah putih oleh sekelompok orang tak dikenal di Kota Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Utara, dan Aceh Timur beberapa hari menjelang peringatan HUT kemerdekaan RI ke 62 lalu menimbulkan keprihatinan sejumlah pihak. Ketua DPR, Agung Laksono misalnya, meminta rakyat Aceh Menghormati simbol RI. Ia berujar, “jadikan Hari Kemerdekaan sebagai momentum yang baik untuk menghormati bendera Merah Putih dan Indonesia Raya. Kita bukan menyakralkan, tapi menghormati simbol negara” (Kompas, 14/8). Sementara itu, Panglima TNI bereaksi lebih keras karena menganggap insiden itu sebagai pelecehan terhadap kedaulatan RI.

Insiden itu mengingatkan penulis pada insiden bendera yang terjadi di Hotel Yamato Surabaya (Sekarang Hotel Majapahit) pada tanggal 19 September 1945 dimana sejumlah pemuda revolusioner di Surabaya merobek warna biru bendera Belanda sehingga yang tersisa tinggal Merah Putih, warna kebanggaan Republik. Peristiwa ini berawal ketika tentara Belanda yang tergabung dalam tentara Sekutu menaikkan bendera Belanda berwarna merah-putih-biru di atas puncak Hotel Yamato. Pengibaran bendera ini membuat warga Surabaya marah. Ribuan warga yang sebagian besar pemuda segera berkumpul di depan hotel dan akhirnya terjadilah insiden itu.

Insiden itu mengajarkan satu hal, bahwa jika memang kedaulatan negara dan terlebih-lebih kedaulatan manusia di dalamnya telah dilecehkan, rakyat ternyata bergerak dengan sendirinya tanpa perintah penguasa. Namun, tentu kedua insiden tersebut tak dapat disamakan karena selain situasi dan kondisinya berbeda, pelaku insiden penurunan bendera di Aceh juga tidak jelas siapa pelakunya. Pemerintah nampaknya berhati-hati menanggapi hal ini demi menjaga iklim damai yang tengah diupayakan di Aceh.

Penulis pada dasarnya setuju bahwa Bendera, Lagu kebangsaan dan sederet atribut negara lainnya merupakan simbol yang harus dihormati, tapi seperti kata Agung Laksono, bukan disakralkan. Karena, adalah terlalu naïf apabila kedaulatan dan kehormatan negara hanya diukur dari penghormatan terhadap simbol belaka. Pemaknaan seperti itu benar-benar kering dan sempit.

Soekarno termasuk orang yang sangat gemar terhadap mistisme sebuah simbol. Maka tanggal 17 dipilih sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia karena konon katanya angka itu suci, bukan buatan manusia karena orang Islam sembahyang 17 raka’at, tapi berkali-kali juga ia mengingatkan “warisi apinya bukan abunya”. Pesannya seperti di awal tulisan di atas agaknya perlu di reinterpretasi karena konteks insiden penurunan bendera merah putih yang sekarang sudah berbeda dengan keadaan waktu itu. Dengan demikian, kita bisa mendapatkan makna yang lebih relevan. Pertanyaannya, apakah sekelompok orang yang menurunkan bendera itu adalah musuh? Atau yang lebih eksistensial, apakah benar insiden penurunan bendera itu benar-benar telah melecehkan kedaulatan kita dan kehormatan kita sebagai sebuah bangsa?

Penulis jadi ragu. Jangan-jangan kita masih sulit menghindari sakralisasi terhadap bendera Merah Putih seperti yang diucapkan Agung Laksono. Akibatnya bisa fatal, kita lebih menghormati kain sederhana itu daripada jutaan manusia Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang terlilit kemiskinan. Gejalanya sudah jelas. Reaksi kita terhadap bencana Lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo, tidak secepat reaksi kita terhadap insiden penurunan bendera di Aceh. Ini bukan hal baru. Dulu kita juga sangat emosional terhadap sekelompok penari Cakalele di Maluku, Ambon dan kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua tanpa melihat masalahnya secara lebih komprehensif.

Penulis tidak berspekulasi bahwa manusia Indonesia lebih penting daripada simbol negara Indonesia. Karena ini sama saja dengan mempertanyakan duluan mana telur atau Ayam. Keduanya sama penting dan justru karena itu perlakuan terhadap bendera harus tidak lebih istimewa daripada perlakuan terhadap manusia Indonesia. Karena jika tidak demikian, maka meminjam istilah Bung Karno, kita lebih mewarisi abunya ketimbang apinya.

Sebenarnya kalau mau ditilik lebih jauh, kita sudah lama hidup dalam kungkungan simbolisme seperti itu. Yang saya maksud dengan simbolisme merujuk kepada sakralisasi terhadap simbol-simbol tertentu entah itu agama atau negara. Padahal, simbolisme benar-benar telah merenggut kesadaran kita terhadap realitas sosial yang terjadi. Barangkali kita tak terlalu ambil pusing dengan dengan perbaikan sekolah rusak yang terancam gagal karena pemerintah pusat dan daerah saling lempar tanggung jawab. Tapi kita bahkan pemerintah dapat memaafkan anggota KPU yang korupsi, tapi di sisi lain kita beringas ketika mendengar penghinaan terhadap simbol agama atau simbol negara.

Perayaan HUT kemerdekaan juga penuh simbolisme. Setiap warga dihimbau untuk mengibarkan bendera di depan rumahnya. Militer di Papua mengerahkan warga untuk mengikuti upacara bendera. Polisi juga tidak segan-segan menegur bahkan memberi tilang kepada pemilik kendaraan bermotor yang tidak memakai bendera merah putih.

Pada tanggal 16 Agustus lalu, penulis sempat jalan-jalan ke Tempat Pembuangan Sampah Akhir di Jember untuk melihat aktivitas masyarakat di sana dalam menyambut HUT kemerdekaan RI. Ternyata tidak ada pesta, bendera dan upacara. Mereka justru sedang resah mendengar isu pemindahan lokasi TPA tersebut karena hal itu berarti mengancam mata pencaharian mereka. Seorang petani yang menggarap sawahnya yang tak jauh dari lokasi TPA tersebut juga bertutur, “ya kalau orang kecil seperti saya tiap hari ya begini ini, yo mbajak, yo ngarit” . Apakah orang-orang yang nyaris terlupakan ini tidak memiliki rasa hormat terhadap kemerdekaan, atau simbol kedaulatan bangsa? Atau jangan-jangan merekalah yang sedang merayakan kemerdekaan dengan cara yang sebenarnya, kerja keras untuk menyambung hidup.

Adalah kekeliruan besar jika defenisi kedaulatan dan kehormatan bangsa dimonopoli oleh negara atau aparatur negara seperti TNI dan POLRI. Hasilnya sudah kita lihat selama 32 tahun dan masih belum lekang hingga kini, yaitu terjadinya penyeragaman makna bahwa kedaulatan adalah bendera, upacara, lagu kebangsaan dan simbol-simbol lainnya. Sudah saatnya pemaknaan itu dibiarkan terbuka dan memiliki banyak pintu sehingga masing-masing orang tidak kehilangan haknya sebagai individu yang merdeka untuk memaknai kedaulatan negaranya. Dus, insiden penurunan bendera bisa jadi maknanya pelecehan kedaulatan bagi pemerintah terutama TNI, tapi bagi rakyat, bisa jadi hal itu tak lebih dari sekedar protes atas ketidakadilan selama bertahun-tahun. Sehingga tak perlu ditanggapi berlebihan apalagi langsung di tumpas. Kapan kita bisa jadi pendengar yang baik? Kapan kita bisa jadi bangsa yang dewasa? Merdeka!

Baca Selengkapnya..

Sunday, August 19, 2007

Lika-Liku di Perantauan

Saya tinggal di Jember, sebuah kota kecil di sebelah timur pulau Jawa. Mayoritas penduduknya adalah imigran dari daerah sekitarnya yang didatangkan Belanda ketika mereka membuka perkebunan di wilayah tersebut. Menurut catatan Andreas Harsono, Jember mulai tumbuh sebagai daerah urban pada 1850-an ketika George Birnie, seorang warga Belanda keturunan Skotlandia, membuka perkebunan dan memasarkan tembakau dari Jember ke Eropa. Birnie mendatangkan pekerja dari daerah sekitar Blitar dan Pulau Madura. Jember digolongkan sebagai salah satu daerah pendhalungan. Sosiolog Harry Yuswadi mendefenisikan kebudayaan di daerah ini sebagai (1) sebuah percampuran budaya Jawa dan Madura dan (2) masyarakat madura yang lahir di wilayah Jawa dan beradaptasi dengan budaya Jawa.


Saat ini keberadaan etnis Madura dan Jawa masih mendominasi di Kabupaten terbesar ketiga di Jawa Timur ini. Di sebelah Utara didiami oleh mayoritas etnis Madura, sedangkan di sebelah Selatan mayoritas adalah etnis Jawa. Maka tak heran apabila suatu saat kita menemui orang Jember yang fasih berbahasa Jawa dan juga Madura. Selain dua etnis dominan di atas, ada juga etnis-etnis lain seperti Tionghoa dan suku lainnya yang tersebar di berbagai area.

Sejak bulan Agustus 2003, saya tercatat sebagai mahasiswa di Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Jember, universitas negeri terbesar dan tertua di daerah ini. Universitas Jember berasal dari universitas swasta bernama Universitas Tawang Alun yang berdiri sejak 4 Nopember 1957. Pada tanggal 5 Januari 1963, Universitas Tawang Alun dinegerikan bersama dengan Universitas Brawijaya Malang. Meskipun demikian, Universitas Jember masih dianggap cabang dari Universitas Brawijaya. Universitas Jember baru benar-benar berdiri dengan status negeri pada tanggal 5 Januari 1964.

Sejak lulus dari bangku sekolah menengah di Yogyakarta, saya sudah bertekad bahwa nanti di bangku kuliah hendak aktif dalam kegiatan mahasiswa. Waktu itu yang ada di dalam benak saya adalah Badan Eksekutif Mahasiswa. Namun setelah kuliah ternyata pilihan saya berubah. Saya memilih bergabung dengan organisasi ekstra mahasiswa bernama Gerakan mahasiswa nasional Indonesia (GmnI). Saya memilih organisasi ini karena pada waktu itu tertarik dengan foto bung besar yang dipajang dalam pamflet mereka. Seiring perkembangan waktu, saya juga mulai mengetahui organisasi lain seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiah (IMM), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) dan belakangan, saya kenal Persatuan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI). Setelah mengetahui keberadaan organisasi yang lain, saya pikir GmnI merupakan pilihan paling rasional buat saya karena saya bergama Katholik. PMKRI, sekalipun saya kenal belakangan, tapi tidak menarik minat saya.

Gerakan mahasiswa nasional Indonesia (GmnI) didirikan pada tanggal 22 maret 1954 dan merupakan fusi dari tiga organisasi mahasiswa (ormawa) yang berbeda yaitu Gerakan Mahasiswa Marhaenis, berpusat di Jogjakarta, Gerakan Mahasiswa Merdeka, berpusat di Surabaya, Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia, berpusat di Jakarta. Ketiga ormawa itu memiliki ideologi yang sama yaitu, Marhaenisme ajaran Bung Karno.

Kalau kita membaca biografi Bung Karno karya Cindy Adams, Marhaenisme berasal dari Marhaen, nama seorang petani di daerah Bandung Selatan yang ditemui sokarno pada suatu hari di antara tahun 1922-1923. Melalui sebuah percakapan ringan di areal sawah milik pak Marhaen, Soekarno mengetahui bahwa petani itu memiliki sawah, pacul dan rumahnya sendiri, namun ia tetap miskin. Kondisi ini sama seperti yang dialami oleh sebagian besar orang Indonesia. Penyebabnya tak lain adalah sistem kolonialisme yang berakar dari sistem kapitalisme di Indonesia. Mendapat ilham dari percakapan itu, Bung Karno kemudian menamakan rakyat Indonesia yang bernasib malang dengan sebutan Marhaen. Untuk merubah keadaan kaum Marhen menjadi lebih baik dibutuhkan sebuah sistem yang tidak membiarkan eksploitasi seorang manusia atau bangsa terhadap manusia atau bangsa lain (Sosio-demokrasi). Untuk itu dibutuhkan sebuah negara sebagai alat perjuangan dan perumahan bangsa yang mengagungkan nilai-nilai humanisme dan anti kekerasan (sosio-nasionalisme) karena didasarkan atas kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pertengahan tahun 2005 lalu, saya dan seorang teman seangkatan juga membentuk kelompok diskusi yang kami beri nama Lingkar belajar Indonesia, disingkat LiBido. Kami rajin mengadakan diskusi dari warung kopi sampai kampus dengan mengundang pembicara tamu. Tema diskusi tidak terencana dengan baik, mengalir begitu saja sesuai selera kami. Beberapa minggu setelah Pram meninggal misalnya, kami mengadakan bedah buku hasil wawancara dengan nominator hadiah nobel itu yang berjudul “Saya terbakar amarah sendirian”. Christanto P Rahardjo, seorang dosen “édan” yang didaulat menjadi salah satu pembicara menganalisa Pram dari kacamata pandangan eksistensialisme. Sepengetahuan saya, belum pernah ada pembicara lain di Jember yang melihatnya dengan cara demikian. Tak lama setelah itu, kami mengadakan diskusi kedua. Kami membedah buku kontroversial karya John Perkins berjudul “Confessions of an Economic Hit Man”. Waktu Itu, buku tersebut belum ada di Jember dan barangkali juga masih dalam proses penerjemahan di Indonesia. Saya sendiri mendapatkan buku itu dari kakak saya yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di negeri paman Sam tahun 2005 lalu. Kami mengundang Dr. Sarwedi, ahli ekonomi pembangunan yang juga dekan Fakultas Ekonomi Universitas Jember dan Sunardi Purwaatmoko, dosen saya di Jurusan Hubungan Internasional sebagai pembicara.

Ada yang menarik sekaligus agak konyol di balik acara diskusi itu. LiBido sebenarnya hanya “dikemudikan” oleh dua orang, saya dan teman saya. Karena kami hanyalah kelompok studi yang “tak jelas” dan statusnya “liar”, maka untuk menggunakan fasilitas kampus, kami mengalami sedikit kendala. Misalnya untuk menggunakan ruangan, kami memerlukan surat dari lembaga resmi dan legal seperti Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) atau Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Tentu saja kami tak punya karena kami bukan pejabat HMJ maupun BEM. Akhirnya, jalan satu-satunya adalah kami meminta izin dari ketua Jurusan, sehingga kami jadi memiliki kekuatan untuk mengajukan permohonan bantuan ke Fakultas, entah itu ruangan, pembuatan spanduk atau bantuan kesekretariatan. Dengan demikian, acara itu diadakan atas nama Jurusan Ilmu Hubungan Internasional. Agak ribet memang, bahkan sebelum hari- H, saya terpaksa terbaring di Rumah Sakit selama tiga hari akibat serangan Tifus. Saya kelelahan. Keruwetan itu sebenarnya berawal dari kejadian pada tahun 2004 lalu. Sekelompok teman-teman progresif angkatan 2000 dan 2004 yang tergabung dalam Komunitas Depan Koperasi (KDK) mengadakan pameran budaya Jepang di Kampus. Karena tidak meminta “restu” BEM dan HMJ, acara tersebut diancam dibubarkan. Pihak Dekanat dan Jurusan yang tadinya mendukung acara tersebut, tidak berdaya menghadapi serangan sekelompok mahasiswa arogan yang tergabung dalam BEM dan HMJ. Alasannya, KDK adalah lembaha “liar”. Terlepas dari “serangan” itu, acara tersebut sebenarnya sangat berhasil dalam menarik antusiasme mahasiswa. Sejak saat itulah, julukan “liar” menjadi populer di Fisip, termasuk juga LiBido.

Belajar dari pengalaman terkapar di rumah sakit itu, kami kemudian berusaha untuk menggandeng teman-teman yang lain jika ingin mengadakan sebuah acara. Untuk menghindari kejenuhan, kami berpikir untuk mengadakan variasi kegiatan.

Ilham itu datang sekitar awal bulan Agustus 2006 setelah membaca kolom Christanto P Rahardjo di harian Radar Jember yang berjudul “Jazz”. Ia mengkritik setengah bercanda;

“ Mungkin Unej Satu-satunya universitas negeri di Jawa yang belum pernah mempertunjukkan musik Jazz.”

“Di kampus Unej memang Jazz “belum bicara” apalagi bersemboyan “make your life meaningful on UNEJ with Smooth Jazz everyday”.

Saat itu juga saya putuskan pagelaran musik Jazz akan menjadi even LiBido selanjutnya. Tapi masalah lain segera menghadang. Kami masih asing dengan musik Jazz dan juga sama sekali tak berpengalaman dalam menyelenggarakan sebuah pertunjukan musik. Kesulitas lain adalah sponsor. Mereka menganggap Jazz kurang menjual. Saya memutuskan untuk mendatangi kolumnis itu secara langsung dan “menantangnya” untuk mengadakan acara Jazz di kampus. Ia menerima tantangan saya dan mulailah kami menggarap persiapan acara itu pada bulan itu juga. Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang diadakan pada pertengahan Agustus tidak menyurutkan niat kami (saya dan teman saya) untuk mewujudkan ide tersebut. Saya mulai berselancar di dunia mencari informasi dan sampailah kepada sebuah alamat. Jalan Medokan Ayu C No. 26 Surabaya (sering disingkat C-26), sebuah markas penggemar Jazz di Surabaya. Saya mengirimkan E-mail dan dua minggu berikutnya mereka menghubungi teman saya. Kami terus berkomunikasi dan berdiskusi hingga akhirnya pada tanggal 25 November 2006, musik Jazz pertama kalinya terdengar di Universitas Jember. Sambutan teman-teman mahasiswa di luar dugaan kami. Mungkin karena pertunjukan gratis, saya tidak tahu, tapi yang jelas mereka berduyun-duyun memenuhi lapangan parkir Student Advisory Centre (SAC). Seorang pengunjung sempat berkelakar kepada salah seorang teman yang menjadi panitia

“Aku seneng banget mbak, pertama kalinya bisa nonton Jazz gratis, yang main B-42 lagi, biasanya mereka main di Hotel Garden Palace di Surabaya, mahal. Wah kapan lagi nih mbak?”

Semua rasa capek terbayar tuntas rasanya setelah acara tersebut selesai. Tak banyak yang tahu, untuk mewujudkan acara yang tampak sederhana itu, kami membutuhkan waktu berbulan-bulan dan cukup menguras stamina dan biaya. Kami bergerak berdasarkan idealisme, tak ingin cari untung tapi juga tak ingin rugi. Satu-satunya yang bisa kami janjikan hanya pengalaman, tak lebih. Tujuh orang teman bersedia bergabung membantu sehingga total panitia acara tersebut menjadi sembilan orang.
Sebenarnya pada pertengahan tahun 2006 itu, saya dan beberapa teman juga sedang sibuk untuk mendirikan sebuah lembaga penelitian. Lembaga itu dimaksudkan sebagai tempat kami belajar dan mengabdi kepada masyarakat kelak setelah lulus kuliah. Tiga orang penggagasnya masih tercatat sebagai pengurus DPC GmnI, termasuk saya. Sedangkan tiga orang lainnya adalah teman kami dari Jurusan Sejarah. Saya adalah mahasiswa termuda sekaligus satu-satunya mahasiswa non jurusan Sejarah. Lembaga itu kami beri nama Center of Local Economics and Politics Studies (CoLEPS). Kami rutin menulis artikel dan makalah untuk didiskusikan setiap dua minggu sekali. Dari diskusi itu kemudian tercetus keinginan untuk mengadakan sebuah seminar sekaligus Launching buku pada tanggal 25 Januari 2007. Tema diskusi itu adalah tentang Land reform di Indonesia, sebuah ide lama yang di peti es-kan oleh orde baru karena dicap sebagai program PKI. Tema ini semakin relevan karena pada tanggal 28 September 2006, pemerintah melalui ketua Badan Pertanahan Nasional (BPN), Joyo Winoto mengumumkan rencana membagi-bagikan tanah.
Rencananya, akan ada redistribusi lahan eks HPH/HTI seluas 9 juta ha diseluruh Indonesia, dengan komposisi 60% untuk masyarakat dan 40% untuk investor dalam dan luar negeri. Juga redistribusi lahan seluas 8, 15 juta ha, yang sekitar 2,5 juta ha diperuntukkan khusus bagi perkebunan sawit dan tebu. Sisanya termasuk didalamnya 1,5 juta ha lahan yang dikelola oleh Perhutani di Pulau Jawa, akan dibagikan kepada para
Land Reform sebenarnya bukanlah sebuah kebijakan baru di Indonesia. Pada masa pemerintahan Soekarno, pemerintah sudah menyadari bahwa diperlukan sebuah Reforma Agraria untuk mewujudkan cita-cita dari kemerdekaan nasional demi kesejahteraan, keadilan, kebahagiaan dan kemakmuran rakyat. Untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan tersebut maka dibuatlah Undang-Undang Pokok Agraria 1960.

Namun dalam kenyataannya, Reforma Agraria sebagai salah satu kewajiban pemerintah belum pernah secara sungguh-sungguh dijalankan sesuai dengan amanat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 dan UUD 1945 pasal 33. Alih-alih menjalankan UUPA, pemerintah justru menerbitkan berbagai undang-undang yang sifatnya sektoral seperti UU No. 7/2004 tentang Sumber daya Air, UU No. 18/2004 tentang Perkebunan, Undang-Undang Pertambangan dan undang-undang lainnya yang semangatnya tidak sesuai dengan UUPA.

Sampai saat ini saya sering merasa belum melakukan apa-apa. Waktu terasa berlalu begitu cepat. Padahal, masih banyak yang belum dan ingin saya kerjakan. Kadang saya lupa bahwa setiap jejak yang kita tinggalkan adalah sejarah dan keabadian. Saya tiba-tiba ingat sepenggal puisi Goenawan Mohamad, “Sesuatu yang kelak retak, dan kita membikinnya abadi”. Ah, hidup!






Baca Selengkapnya..