Saturday, September 15, 2007

Jalan-Jalan

Jogja: Unforgetable Moment

6 Sept 2007: Nikmatnya naik Kereta Api kelas Ekonomi
“Ayo, Dek, buruan! Tar kita telat loh!”, ujar Mas Insaf. “Iya…Iya, tunggu.”, sahutku. Kami pun bergegas ke stasiun. Benar saja, 5 menit setelah duduk di dalam gerbong, kereta api mulai berjalan dan mempercepat larinya meninggalkan kota Jember. Aku menghela nafas lega, huuh….. Akhirnya jadi juga kami bepergian berdua. Kami ke Jogja untuk menghadiri wisuda Bang Kastro, sepupu Mas Insaf.

Kami sengaja naik kereta ekonomi Logawa dengan beberapa maksud. Pertama, tentu saja lebih irit. Kedua, kami ingin menikmati perjalanan dengan angkutan transportasi massal yang bisa membuat kami akrab dengan kehidupan sebagian besar rakyat Indonesia (ciiee…). Ketiga, kami telah berjanji kepada Mama untuk bertemu Mbak Ridha di Stasiun Nganjuk, dan menyampaikan barang titipan Mama.

Di tengah perjalanan, ada seorang ibu yang umurnya 60-an dan anaknya duduk berhadapan dengan kami. Tiba-tiba saja ibu itu berkata padaku,” Itu kakaknya ya? Kok mirip banget?”. “Bukan, bu. Dia ini pacar saya.”, jawabku. “Wah..kata orang kalo mirip gitu jodoh. Semoga itu benar ya?!”, kata ibu itu lagi. Aku tersenyum dan mengamini dalam hati.
Kereta api mampir di Stasiun Nganjuk pukul 14.30. Aku melihatnya. Yaa..kakakku yang tengah hamil 7 bulan beserta suaminya. Aku memberikan barang titipan mama, barter dengan dua bungkus nasi (he..he..he..). Kami sempat bercakap-cakap beberapa menit. Aku senang melihat kakakku sehat-sehat saja. Aah..sebentar lagi aku akan punya ponakan, pikirku.
Kereta meniupkan peluitnya pertanda akan berangkat. Kami pun kembali ke tempat duduk dan segera makan. Tentu saja kami sangat lapar karena mulai dari Jember kami belum makan. Setelah makan, apa? Penyakit lama kembali menyerang. Rasa kantuk mulai menyerang. Kami tak sanggup bertahan maka menyerah saja. Maka..tidurlah kami berdua dengan damai dan aman sentosa…..zzzZZzzZZ…
Kami tiba di Stasiun Lempuyangan Jogja pukul 17.00 tepat. Kami menunggu jemputan Bang Kastro, sepupu Mas Insaf yang akan wisuda. Tingginya sekitar 175 cm dan lebih berat 20 kilo-an dari Mas Insaf.

Petualangan pun dimulai…Here we go!
Kami rehat sebentar di Kos Bang Kastro. Setelah itu, kami pergi ke rumah Mbak Pipit (pacar Bang Kastro) supaya aku bisa mandi, dan beristirahat disana. Kami berkenalan dan ngobrol dengan orangtua Mbak Pipit. Orangtua Mbak Pipit adalah orang Jogja tulen, maka tidak heran bila perangai mereka sangat halus.
Pukul 20.00 kami menjemput Bibi dan Kila (orangtua Bang Kastro) dan mengantarkan ke kos Bang Kastro. Lalu aku kembali ke rumah Mbak Pipit dan beristirahat.

7 September 2007: Sesaknya Pasar Beringharjo
Keesokan harinya, Bibi ingin ditemani berbelanja di Pasar Beringharjo. Maka, kami (Bibi, Kila, Mas Insaf,aku) naik taksi ke Pasar Beringharjo. Sesampai disana, Bibi membeli beberapa pasang baju untuk anak-anak dan ponakannya yang ada di Medan. Bibi mengaku merasa senang berbelanja disana karena harganya sangat murah. “Ayo Nakku, kam pilihkan yang mana yang bagus untuk Bibi!”, pinta Bibi suatu waktu. “Iya Bi, rasanya campuran warna merah dan coklat ini cantik, cocok untuk Bibi.”, kataku. Maka Bibi pun membelinya. Tak lupa aku membeli baju untuk mama dan bapak di Rumah Banyuwangi.
Setelah puas berbelanja, kami makan bakso di pinggiran jalan Malioboro. Setelah itu, kami pulang ke Kos Bang Kastro. Bibi dan Kila pun beristirahat.

Pintarnya Jogja
Setelah itu, aku dan Mas Insaf berjalan-jalan ke Pameran buku di JEC. Nampaknya pameran ini serupa dengan pameran yang pernah ada di Jember, hanya sedikit lebih lengkap disini. Di JEC, kami hanya membeli buku karya Umberto Eco. Lalu, kami ke Social Agency, karena disana lebih lengkap dan harga diskon. Kami membeli beberapa buku disana. Saat itulah aku menyadari betapa kurangnya fasilitas yang dimiliki Jember, terutama akses mahasiswa terhadap buku. Kapan dan bagaimana mahasiswa Jember bisa lebih update akan perkembangan yang terjadi bila buku yang dibutuhkan jauh dari jangkauan?

8 September 2007: Hari yang ditunggu-tunggu..
Inilah salah satu alasan kami ke Jogja. Pukul 12.00 setelah wisuda usai, kami memberi ucapan selamat ke Bang Kastro lalu berfoto bersama. Bang Kastro terlihat bahagia. Tentu saja, setelah 6 tahun duduk di bangku kuliah STT Nas, hari ini adalah yang paling ditunggu-tunggu. Gelar Sarjana Teknik telah diraihnya. Aku membayangkan Mas Insaf yang memakai toga itu, pastilah aku orang yang paling berbahagia di dunia ini.
Untuk merayakan ini semua, kami (Bibi, Kila, Mas Insaf, Bang Kastro, Bang Roy, Bang Sutra, Oza, Mbak Pipit, aku) makan siang di depot ayam goreng Suharti. Ehhm….yummy.,..enak! 3 ekor ayam kampong utuh, 2 tumis kangkung, 2 bakul nasi putih, minuman segar segera tersedia. Tak perlu menunggu komando, kami segera melahap habis makanan itu semua. “nah..Tyas jangan kaget ya, orang Karo emang begini ini, makannya banyak.”, ujar Abang Sutra. Aku hanya tersenyum. Waah…sama dong, pikirku. Setelah itu, kami beristirahat di kos Bang Kastro.


9 September 2007: Borobudur in love
Keesokan harinya, pukul 09.30 kami berwisata ke Candi Borobudur. Kami naik mobil Mbak Pipit. Mobil tua itu berisi 8 orang. Sopir, Bang Kastro dan Bang Roy di depan, Mbak Pipit dan Bibi di tengah, serta Kila, Mas Insaf dan aku di belakang. Di tengah perjalanan, kami membeli salak pondoh. Sebelum tiba di Candi Borobudur, kami melewati Candi Mendut. Kami sampai di Candi Borobudur pukul 11.00. Acara pertama: makan.
Setelah itu kami membeli tiket masuk dan menyewa 3 buah payung karena teriknya matahari benar-benar serasa di atas ubun-ubun. Setelah kami masuk ke lokasi, kami harus berjalan kurang lebih sejauh 1,5 km. Waw… keren banget relief-relief ini, pikirku. Dan letak candi ini yang begitu stategis diapit gunung dan lembah membuat candi ini terlihat semakin menjulang. Tak heran bila ini disebut keajaiban dunia. Benar-benar keajaiban.
Aku benar-benar menikmati wisata ini karena ini adalah kali pertama aku ke sini. Dan ternyata ini juga pertama kalinya Mas Insaf ke sini, kami pun memanfaatkan moment ini untuk berfoto-foto sebanyak dan seunik mungkin. Kapan lagi, pikirku.
Setelah puas berkeliling, kami pun pulang. Sebenarnya, kami berencana untuk melanjutkan wisata ke Parangtritis, tapi karena Bibi sudah cape dan mengeluh kakinya sakit, maka kami pun pulang ke kos Bang Kastro. Ternyata sewaktu perjalanan, kami semua tertidur saking capenya. Kasian sopirnya ga bisa tidur….(hehe..)

10 September 2007: Bersantai bersama Keluarga
Ini adalah hari terakhir kami bisa berkumpul, karena esok pagi Bibi, Kila dan Bang Roy akan kembali ke Medan. Sore pukul 15.00, aku dan Mas Insaf ingin ke Perpustakaan UGM, cari inspirasi skripsiku, tapi ternyata perpustakaannya udah tutup. Kami langsung meluncur ke Shoping, Karena matahari sudah mulai malas bersinar, kami pun pulang. Sebelum pulang, kami teringat Bibi ingin dibelikan bakso. Singgahlah kami di bakso Pak Narto, dan kami masing-masing melahap semangkuk bakso. Ternyata Mas Insaf gak bo’ong, baksonya benar-benar enak.
Kami sampai di kos pukul 18.00 dengan membawa 3 bungkus bakso. Bibi dan Kila pun segera memakan baksonya, “Ehhm….enak ya, baksonya, Nakku!”, ujar Bibi sambil mengunyah pentol bakso. Aku pun mengangguk.

Bukit Pathuk: Kerlap-kerlip Lampu Jogja
Sebelum pulang ke rumah Mbak Pipit, aku merengek ingin ke Bukit Pathuk karena menurut Mbak Pipit dan Ibunya, tempat itu indah sekali. Pukul 20.30 kami berempat (Bang Kastro, Mbak Pipit, Mas Insaf, aku) pergi ke dataran tinggi tersebut. Kira-kira 30 menit, kami sampai di sebuah kedai minum dimana bisa melihat kerlap-kerlip lampu Jogja dari kejauhan. Sungguh indah dan dinginnya luar biasa. Bahkan segelas kopi susu panas pun tak mampu mengusir dingin ini.
Setelah kopi susu kami teguk hingga ke dasarnya, kami pun pulang. Malam itu, aku dan Mbak Pipit sengaja berlama-lama ngobrol hingga pukul 00.00, karena ini adalah malam terakhir aku bermalam di kamarnya.

11 September 2007: Bibi kembali ke Medan
Aku dan Mbak Pipit anter Bibi dan Kila hingga di Bandara. Kami sempat bersalam-salaman dan cipika-cipiki. Semoga kita lekas bertemu lagi, Bibi. Semoga kita benar-benar bisa menjadi sebuah keluarga, suatu hari kelak. Amin.
Siangnya, aku dan Mas Insaf ke Perpustakaan FISIP UGM untuk cari-cari literatur untuk menunjang skripsi Mas Insaf dan aku. Alhasil, dengan uang yang nipis, kami hanya bisa fotokopi 5 buku, itu pun dengan format panjang. Kari sekaken a’ee….!!
Setelah itu, kami makan siang, kembali ke kos Bang Kastro, packing, dan kota selanjutnya, Semarang, siap menanti kami. Mbak Pipit dan Bang Kastro mengantarkan kami hingga terminal Jombor. Kami naik bis Nusantara. Yooo…….Semarang, kami dataanggg!!!!

******

Sore itu langit mulai gelap, matahari sudah kembali ke peraduannya di ufuk Barat ketika kami tiba di terminal Banyumanik Semarang. Aku melirik jam tanganku, tanggal 11 pukul 17.30.WIB. Ini kali ketiga aku menginjakkan kaki di Ibu Kota Jawa Tengah ini. Pertama, ketika menghadiri pesta pernikahan abangku yang menyunting gadis asal kota ini tahun 2002 lalu. Kedua, tahun 2006 untuk menemui abangku yang menginap di rumah mertuanya. Dia baru saja pulang dari Amerika Serikat untuk menyelesaikan program master di University of Utah. Waktu itu, Aku, dia, istrinya (mbak) dan anak mereka Oza bermaksud pulang bersama-sama ke Kuta Kepar, desa terpencil di Sumatera bagian Utara. Di desa itulah kami lahir dan menghabiskan masa kecil yang bahagia. Kini aku kembali datang ke kota ini. Bedanya, aku tak lagi datang sendiri tapi bersama Tyas, gadis yang jadi pacarku selama setahun belakangan ini.
Meskipun sudah kali ketiga, aku masih saja tak ingat alamat bahkan nomor telepon rumah orangtua kakak iparku yang hendak kami tuju. Aku mengingat-ingat dan mencoba melihat di HP kalau-kalau alamat dan nomor telepon itu aku simpan. Namun, sial, HP-ku mati karena kehabisan daya. Tak lama kemudian HP Tyas berdering, dari abang,Tyas memintaku untuk mengangkatnya.
“Kalian sudah sampai?”
“sudah baru aja”
“langsung saja naik taksi, bilang ke Sampangan lewat Papandayan ke Perumahan Bukit Unggul nanti berhenti aja di Jasmin Catering. Dari situ jalan ke rumah, ingat kan kamu sudah pernah ke sini to?”
“Iya”.
Aku lalu menyampaikan alamat itu ke Tyas agar membantuku untuk mengingat-ingatnya. Sekitar limabelas menit kemudian kami sudah tiba di alamat yang dituju, abang menyambut di depan pintu dengan senyum.
“Eh, kalian nggak nyasar ternyata”, katanya. Lalu memegang pundak Tyas dan berkata “kok mau aja ikut bersusah-susah”. Tyas hanya tersenyum dan kami pun duduk di ruang tamu. Barangkali yang ia maksud dengan bersusah-susah adalah soal tempat tidur. Rumah itu tak cukup besar untuk menampung kami berdua karena tepat tidur hanya empat. Padahal penghuninya berjumlah delapan orang dewasa dan dua anak kecil, Oza dan adiknya yang baru lahir dua minggu yang lalu. Sebenarnya jumlah kamar itu sudah pas jika tanpa kami berdua dan abang serta keluarganya.
Tanpa ngobrol lebih banyak kami segera mandi dan dan makan.

*****

Waktu masih menunjukkan pukul 06.30 wib, aku sudah terjaga dibangunkan abang. Tadi malam aku tidur di ruang tamu di atas lantai dengan menggelar karpet. Toni, adik bungsu kakak iparku tidur di atas sofa di sebelahku. Tanpa mencucui muka aku langsung ke teras dan membaca Koran. Tyas datang dan menyuguhkan teh lalu mengajakku keluar jalan-jalan sekalian membeli oleh-oleh. Pukul 08.00 wib, abang membeli Pecel dan kami sarapan. Tyas dan mbak sudah lebih dulu sarapan bubur. Pecelnya puedees luar biasa tapi karena enak, aku nggak peduli. Jam sembilan pas kami berangkat jalan-jalan dengan menggunakan angkutan umum. Tempat pertama yang jadi tujuan adalah kota lama Semarang yang sudah sering kami saksikan beritanya di televisi.
Rasanya kondisi bangunan tua di tempat tersebut tak jauh berbeda dengan bangunan tua di kota lainnya, sama-sama tak terurus. Kondisi sungai di sekitarnya tersebut juga sami mawon dengan keadaan sungai di kota-kota besar di seluruh Indonesia, tercemar dan mengeluarkan aroma yang tak sedap. Namun, dibandingkan dengan kota tua di Jakarta, Surabaya atau Jogjakarta, keadaan kota tua di Semarang relatif lebih baik dari yang terburuk. Di kota-kota lain bangunan tua banyak yang sudah (di)runtuh(kan) dan diganti dengan bangunan baru yang lebih megah sedangkan di sini bangunan itu masih ada meskipun sebagian besar dibiarkan saja tak terurus. Barangkali karena pertimbangan itu juga, Mira Lesmana dan Riri Riza memilih Semarang sebagai lokasi Syuting film Soe Hok Gie beberapa waktu silam.

Setelah menyusuri kota lama, kami melanjutkan perjalanan ke Simpang Lima. Karena sudah sama-sama lapar kami sepakat untuk mencari warung untuk makan. Dalam perjalanan perutku sempat mules-mules, nampaknya gara-gara kebanyakan sambal pecel tadi pagi. Rasa sakit itu memaksa kami untuk singgah ke mall terdekat, Ciputra Mall, aku bergegas ke toilet. Setelah makan, perutku kembali bergejolak dan lagi-lagi harus masuk ke mall terdekat, Ramayana. Setelah dari toilet kami sempat berjalan-jalan dan makan es krim di Mc Donald, membeli roti lalu keluar dengan maksud melanjutkan jalan-jalan. Tujuan berikutnya adalah objek wisata yang juga sangat terkenal di Semarang yaitu bangunan tua yang bernama Lawang Sewu. Aku lupa kapan tepatnya bangunan ini dibangun. Pemandu yang mengantar kami beserta serombongan pelajar dari Ungaran sempat bercerita, namun aku nggak terlalu konsen sama penjelasannya. Tempat ini dulunya adalah stasiun kereta api milik pemerintah Hindia Belanda, lalu sempat menjadi markas Kodam Diponegoro, kantor Dinas Perhubungan dan Kosong sampai sekarang. Konon, kata si penjaga gedung tersebut, tempat ini bukan tempat sembarangan, angker sehingga sering dijadikan tempat uji nyali. Ada salah satu ruangan kecil yang pada masa Jaman pemerintahan Belanda merupakan ruang tendon air, oleh Jepang dijadikan tempat latihan memenggal kepala manusia. Ada juga ruang penyiksaan tahanan di lantai atas. Tak heran, tempat ini sering dijadikan tempat mencari wangsit oleh orang-orang yang barangkali percaya pada “penunggu” gedung ini. Kami masih bisa melihat sisa-sisa lilin persembahan para peziarah itu.

Tak jauh dari Lawang Sewu ada pusat oleh-oleh. Kami berjalan kaki menuju tempat itu. Lagi-lagi di jalan perutku mules dan terpaksa mencari tempat terdekat yaitu Rumah Sakit bersalin untuk numpang toilet. Aku benar-benar merasa dikerjai. Langit kembali gelap, kami bergegas pulang. Sesampai di rumah waktu sudah menunjukkan pukul 17.30 wib. Saatnya mandi, makan, dan pulang ke Jember.

Baca Selengkapnya..

Tuesday, August 21, 2007

Dari Yamato Sampai Ke Aceh

“Dengan ini aku memberikan tugas kepadamu pribadi. Dalam keadaan apapun djuga, aku memerintahkan kepadamu untuk mendjaga bendera kita dengan njawamu. Ini tidak boleh djatuh ketangan musuh” (Bung Karno dalam Cindy Adams).

Insiden penurunan bendera merah putih oleh sekelompok orang tak dikenal di Kota Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Utara, dan Aceh Timur beberapa hari menjelang peringatan HUT kemerdekaan RI ke 62 lalu menimbulkan keprihatinan sejumlah pihak. Ketua DPR, Agung Laksono misalnya, meminta rakyat Aceh Menghormati simbol RI. Ia berujar, “jadikan Hari Kemerdekaan sebagai momentum yang baik untuk menghormati bendera Merah Putih dan Indonesia Raya. Kita bukan menyakralkan, tapi menghormati simbol negara” (Kompas, 14/8). Sementara itu, Panglima TNI bereaksi lebih keras karena menganggap insiden itu sebagai pelecehan terhadap kedaulatan RI.

Insiden itu mengingatkan penulis pada insiden bendera yang terjadi di Hotel Yamato Surabaya (Sekarang Hotel Majapahit) pada tanggal 19 September 1945 dimana sejumlah pemuda revolusioner di Surabaya merobek warna biru bendera Belanda sehingga yang tersisa tinggal Merah Putih, warna kebanggaan Republik. Peristiwa ini berawal ketika tentara Belanda yang tergabung dalam tentara Sekutu menaikkan bendera Belanda berwarna merah-putih-biru di atas puncak Hotel Yamato. Pengibaran bendera ini membuat warga Surabaya marah. Ribuan warga yang sebagian besar pemuda segera berkumpul di depan hotel dan akhirnya terjadilah insiden itu.

Insiden itu mengajarkan satu hal, bahwa jika memang kedaulatan negara dan terlebih-lebih kedaulatan manusia di dalamnya telah dilecehkan, rakyat ternyata bergerak dengan sendirinya tanpa perintah penguasa. Namun, tentu kedua insiden tersebut tak dapat disamakan karena selain situasi dan kondisinya berbeda, pelaku insiden penurunan bendera di Aceh juga tidak jelas siapa pelakunya. Pemerintah nampaknya berhati-hati menanggapi hal ini demi menjaga iklim damai yang tengah diupayakan di Aceh.

Penulis pada dasarnya setuju bahwa Bendera, Lagu kebangsaan dan sederet atribut negara lainnya merupakan simbol yang harus dihormati, tapi seperti kata Agung Laksono, bukan disakralkan. Karena, adalah terlalu naïf apabila kedaulatan dan kehormatan negara hanya diukur dari penghormatan terhadap simbol belaka. Pemaknaan seperti itu benar-benar kering dan sempit.

Soekarno termasuk orang yang sangat gemar terhadap mistisme sebuah simbol. Maka tanggal 17 dipilih sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia karena konon katanya angka itu suci, bukan buatan manusia karena orang Islam sembahyang 17 raka’at, tapi berkali-kali juga ia mengingatkan “warisi apinya bukan abunya”. Pesannya seperti di awal tulisan di atas agaknya perlu di reinterpretasi karena konteks insiden penurunan bendera merah putih yang sekarang sudah berbeda dengan keadaan waktu itu. Dengan demikian, kita bisa mendapatkan makna yang lebih relevan. Pertanyaannya, apakah sekelompok orang yang menurunkan bendera itu adalah musuh? Atau yang lebih eksistensial, apakah benar insiden penurunan bendera itu benar-benar telah melecehkan kedaulatan kita dan kehormatan kita sebagai sebuah bangsa?

Penulis jadi ragu. Jangan-jangan kita masih sulit menghindari sakralisasi terhadap bendera Merah Putih seperti yang diucapkan Agung Laksono. Akibatnya bisa fatal, kita lebih menghormati kain sederhana itu daripada jutaan manusia Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang terlilit kemiskinan. Gejalanya sudah jelas. Reaksi kita terhadap bencana Lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo, tidak secepat reaksi kita terhadap insiden penurunan bendera di Aceh. Ini bukan hal baru. Dulu kita juga sangat emosional terhadap sekelompok penari Cakalele di Maluku, Ambon dan kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua tanpa melihat masalahnya secara lebih komprehensif.

Penulis tidak berspekulasi bahwa manusia Indonesia lebih penting daripada simbol negara Indonesia. Karena ini sama saja dengan mempertanyakan duluan mana telur atau Ayam. Keduanya sama penting dan justru karena itu perlakuan terhadap bendera harus tidak lebih istimewa daripada perlakuan terhadap manusia Indonesia. Karena jika tidak demikian, maka meminjam istilah Bung Karno, kita lebih mewarisi abunya ketimbang apinya.

Sebenarnya kalau mau ditilik lebih jauh, kita sudah lama hidup dalam kungkungan simbolisme seperti itu. Yang saya maksud dengan simbolisme merujuk kepada sakralisasi terhadap simbol-simbol tertentu entah itu agama atau negara. Padahal, simbolisme benar-benar telah merenggut kesadaran kita terhadap realitas sosial yang terjadi. Barangkali kita tak terlalu ambil pusing dengan dengan perbaikan sekolah rusak yang terancam gagal karena pemerintah pusat dan daerah saling lempar tanggung jawab. Tapi kita bahkan pemerintah dapat memaafkan anggota KPU yang korupsi, tapi di sisi lain kita beringas ketika mendengar penghinaan terhadap simbol agama atau simbol negara.

Perayaan HUT kemerdekaan juga penuh simbolisme. Setiap warga dihimbau untuk mengibarkan bendera di depan rumahnya. Militer di Papua mengerahkan warga untuk mengikuti upacara bendera. Polisi juga tidak segan-segan menegur bahkan memberi tilang kepada pemilik kendaraan bermotor yang tidak memakai bendera merah putih.

Pada tanggal 16 Agustus lalu, penulis sempat jalan-jalan ke Tempat Pembuangan Sampah Akhir di Jember untuk melihat aktivitas masyarakat di sana dalam menyambut HUT kemerdekaan RI. Ternyata tidak ada pesta, bendera dan upacara. Mereka justru sedang resah mendengar isu pemindahan lokasi TPA tersebut karena hal itu berarti mengancam mata pencaharian mereka. Seorang petani yang menggarap sawahnya yang tak jauh dari lokasi TPA tersebut juga bertutur, “ya kalau orang kecil seperti saya tiap hari ya begini ini, yo mbajak, yo ngarit” . Apakah orang-orang yang nyaris terlupakan ini tidak memiliki rasa hormat terhadap kemerdekaan, atau simbol kedaulatan bangsa? Atau jangan-jangan merekalah yang sedang merayakan kemerdekaan dengan cara yang sebenarnya, kerja keras untuk menyambung hidup.

Adalah kekeliruan besar jika defenisi kedaulatan dan kehormatan bangsa dimonopoli oleh negara atau aparatur negara seperti TNI dan POLRI. Hasilnya sudah kita lihat selama 32 tahun dan masih belum lekang hingga kini, yaitu terjadinya penyeragaman makna bahwa kedaulatan adalah bendera, upacara, lagu kebangsaan dan simbol-simbol lainnya. Sudah saatnya pemaknaan itu dibiarkan terbuka dan memiliki banyak pintu sehingga masing-masing orang tidak kehilangan haknya sebagai individu yang merdeka untuk memaknai kedaulatan negaranya. Dus, insiden penurunan bendera bisa jadi maknanya pelecehan kedaulatan bagi pemerintah terutama TNI, tapi bagi rakyat, bisa jadi hal itu tak lebih dari sekedar protes atas ketidakadilan selama bertahun-tahun. Sehingga tak perlu ditanggapi berlebihan apalagi langsung di tumpas. Kapan kita bisa jadi pendengar yang baik? Kapan kita bisa jadi bangsa yang dewasa? Merdeka!

Baca Selengkapnya..

Sunday, August 19, 2007

Lika-Liku di Perantauan

Saya tinggal di Jember, sebuah kota kecil di sebelah timur pulau Jawa. Mayoritas penduduknya adalah imigran dari daerah sekitarnya yang didatangkan Belanda ketika mereka membuka perkebunan di wilayah tersebut. Menurut catatan Andreas Harsono, Jember mulai tumbuh sebagai daerah urban pada 1850-an ketika George Birnie, seorang warga Belanda keturunan Skotlandia, membuka perkebunan dan memasarkan tembakau dari Jember ke Eropa. Birnie mendatangkan pekerja dari daerah sekitar Blitar dan Pulau Madura. Jember digolongkan sebagai salah satu daerah pendhalungan. Sosiolog Harry Yuswadi mendefenisikan kebudayaan di daerah ini sebagai (1) sebuah percampuran budaya Jawa dan Madura dan (2) masyarakat madura yang lahir di wilayah Jawa dan beradaptasi dengan budaya Jawa.


Saat ini keberadaan etnis Madura dan Jawa masih mendominasi di Kabupaten terbesar ketiga di Jawa Timur ini. Di sebelah Utara didiami oleh mayoritas etnis Madura, sedangkan di sebelah Selatan mayoritas adalah etnis Jawa. Maka tak heran apabila suatu saat kita menemui orang Jember yang fasih berbahasa Jawa dan juga Madura. Selain dua etnis dominan di atas, ada juga etnis-etnis lain seperti Tionghoa dan suku lainnya yang tersebar di berbagai area.

Sejak bulan Agustus 2003, saya tercatat sebagai mahasiswa di Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Jember, universitas negeri terbesar dan tertua di daerah ini. Universitas Jember berasal dari universitas swasta bernama Universitas Tawang Alun yang berdiri sejak 4 Nopember 1957. Pada tanggal 5 Januari 1963, Universitas Tawang Alun dinegerikan bersama dengan Universitas Brawijaya Malang. Meskipun demikian, Universitas Jember masih dianggap cabang dari Universitas Brawijaya. Universitas Jember baru benar-benar berdiri dengan status negeri pada tanggal 5 Januari 1964.

Sejak lulus dari bangku sekolah menengah di Yogyakarta, saya sudah bertekad bahwa nanti di bangku kuliah hendak aktif dalam kegiatan mahasiswa. Waktu itu yang ada di dalam benak saya adalah Badan Eksekutif Mahasiswa. Namun setelah kuliah ternyata pilihan saya berubah. Saya memilih bergabung dengan organisasi ekstra mahasiswa bernama Gerakan mahasiswa nasional Indonesia (GmnI). Saya memilih organisasi ini karena pada waktu itu tertarik dengan foto bung besar yang dipajang dalam pamflet mereka. Seiring perkembangan waktu, saya juga mulai mengetahui organisasi lain seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiah (IMM), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) dan belakangan, saya kenal Persatuan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI). Setelah mengetahui keberadaan organisasi yang lain, saya pikir GmnI merupakan pilihan paling rasional buat saya karena saya bergama Katholik. PMKRI, sekalipun saya kenal belakangan, tapi tidak menarik minat saya.

Gerakan mahasiswa nasional Indonesia (GmnI) didirikan pada tanggal 22 maret 1954 dan merupakan fusi dari tiga organisasi mahasiswa (ormawa) yang berbeda yaitu Gerakan Mahasiswa Marhaenis, berpusat di Jogjakarta, Gerakan Mahasiswa Merdeka, berpusat di Surabaya, Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia, berpusat di Jakarta. Ketiga ormawa itu memiliki ideologi yang sama yaitu, Marhaenisme ajaran Bung Karno.

Kalau kita membaca biografi Bung Karno karya Cindy Adams, Marhaenisme berasal dari Marhaen, nama seorang petani di daerah Bandung Selatan yang ditemui sokarno pada suatu hari di antara tahun 1922-1923. Melalui sebuah percakapan ringan di areal sawah milik pak Marhaen, Soekarno mengetahui bahwa petani itu memiliki sawah, pacul dan rumahnya sendiri, namun ia tetap miskin. Kondisi ini sama seperti yang dialami oleh sebagian besar orang Indonesia. Penyebabnya tak lain adalah sistem kolonialisme yang berakar dari sistem kapitalisme di Indonesia. Mendapat ilham dari percakapan itu, Bung Karno kemudian menamakan rakyat Indonesia yang bernasib malang dengan sebutan Marhaen. Untuk merubah keadaan kaum Marhen menjadi lebih baik dibutuhkan sebuah sistem yang tidak membiarkan eksploitasi seorang manusia atau bangsa terhadap manusia atau bangsa lain (Sosio-demokrasi). Untuk itu dibutuhkan sebuah negara sebagai alat perjuangan dan perumahan bangsa yang mengagungkan nilai-nilai humanisme dan anti kekerasan (sosio-nasionalisme) karena didasarkan atas kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pertengahan tahun 2005 lalu, saya dan seorang teman seangkatan juga membentuk kelompok diskusi yang kami beri nama Lingkar belajar Indonesia, disingkat LiBido. Kami rajin mengadakan diskusi dari warung kopi sampai kampus dengan mengundang pembicara tamu. Tema diskusi tidak terencana dengan baik, mengalir begitu saja sesuai selera kami. Beberapa minggu setelah Pram meninggal misalnya, kami mengadakan bedah buku hasil wawancara dengan nominator hadiah nobel itu yang berjudul “Saya terbakar amarah sendirian”. Christanto P Rahardjo, seorang dosen “édan” yang didaulat menjadi salah satu pembicara menganalisa Pram dari kacamata pandangan eksistensialisme. Sepengetahuan saya, belum pernah ada pembicara lain di Jember yang melihatnya dengan cara demikian. Tak lama setelah itu, kami mengadakan diskusi kedua. Kami membedah buku kontroversial karya John Perkins berjudul “Confessions of an Economic Hit Man”. Waktu Itu, buku tersebut belum ada di Jember dan barangkali juga masih dalam proses penerjemahan di Indonesia. Saya sendiri mendapatkan buku itu dari kakak saya yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di negeri paman Sam tahun 2005 lalu. Kami mengundang Dr. Sarwedi, ahli ekonomi pembangunan yang juga dekan Fakultas Ekonomi Universitas Jember dan Sunardi Purwaatmoko, dosen saya di Jurusan Hubungan Internasional sebagai pembicara.

Ada yang menarik sekaligus agak konyol di balik acara diskusi itu. LiBido sebenarnya hanya “dikemudikan” oleh dua orang, saya dan teman saya. Karena kami hanyalah kelompok studi yang “tak jelas” dan statusnya “liar”, maka untuk menggunakan fasilitas kampus, kami mengalami sedikit kendala. Misalnya untuk menggunakan ruangan, kami memerlukan surat dari lembaga resmi dan legal seperti Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) atau Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Tentu saja kami tak punya karena kami bukan pejabat HMJ maupun BEM. Akhirnya, jalan satu-satunya adalah kami meminta izin dari ketua Jurusan, sehingga kami jadi memiliki kekuatan untuk mengajukan permohonan bantuan ke Fakultas, entah itu ruangan, pembuatan spanduk atau bantuan kesekretariatan. Dengan demikian, acara itu diadakan atas nama Jurusan Ilmu Hubungan Internasional. Agak ribet memang, bahkan sebelum hari- H, saya terpaksa terbaring di Rumah Sakit selama tiga hari akibat serangan Tifus. Saya kelelahan. Keruwetan itu sebenarnya berawal dari kejadian pada tahun 2004 lalu. Sekelompok teman-teman progresif angkatan 2000 dan 2004 yang tergabung dalam Komunitas Depan Koperasi (KDK) mengadakan pameran budaya Jepang di Kampus. Karena tidak meminta “restu” BEM dan HMJ, acara tersebut diancam dibubarkan. Pihak Dekanat dan Jurusan yang tadinya mendukung acara tersebut, tidak berdaya menghadapi serangan sekelompok mahasiswa arogan yang tergabung dalam BEM dan HMJ. Alasannya, KDK adalah lembaha “liar”. Terlepas dari “serangan” itu, acara tersebut sebenarnya sangat berhasil dalam menarik antusiasme mahasiswa. Sejak saat itulah, julukan “liar” menjadi populer di Fisip, termasuk juga LiBido.

Belajar dari pengalaman terkapar di rumah sakit itu, kami kemudian berusaha untuk menggandeng teman-teman yang lain jika ingin mengadakan sebuah acara. Untuk menghindari kejenuhan, kami berpikir untuk mengadakan variasi kegiatan.

Ilham itu datang sekitar awal bulan Agustus 2006 setelah membaca kolom Christanto P Rahardjo di harian Radar Jember yang berjudul “Jazz”. Ia mengkritik setengah bercanda;

“ Mungkin Unej Satu-satunya universitas negeri di Jawa yang belum pernah mempertunjukkan musik Jazz.”

“Di kampus Unej memang Jazz “belum bicara” apalagi bersemboyan “make your life meaningful on UNEJ with Smooth Jazz everyday”.

Saat itu juga saya putuskan pagelaran musik Jazz akan menjadi even LiBido selanjutnya. Tapi masalah lain segera menghadang. Kami masih asing dengan musik Jazz dan juga sama sekali tak berpengalaman dalam menyelenggarakan sebuah pertunjukan musik. Kesulitas lain adalah sponsor. Mereka menganggap Jazz kurang menjual. Saya memutuskan untuk mendatangi kolumnis itu secara langsung dan “menantangnya” untuk mengadakan acara Jazz di kampus. Ia menerima tantangan saya dan mulailah kami menggarap persiapan acara itu pada bulan itu juga. Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang diadakan pada pertengahan Agustus tidak menyurutkan niat kami (saya dan teman saya) untuk mewujudkan ide tersebut. Saya mulai berselancar di dunia mencari informasi dan sampailah kepada sebuah alamat. Jalan Medokan Ayu C No. 26 Surabaya (sering disingkat C-26), sebuah markas penggemar Jazz di Surabaya. Saya mengirimkan E-mail dan dua minggu berikutnya mereka menghubungi teman saya. Kami terus berkomunikasi dan berdiskusi hingga akhirnya pada tanggal 25 November 2006, musik Jazz pertama kalinya terdengar di Universitas Jember. Sambutan teman-teman mahasiswa di luar dugaan kami. Mungkin karena pertunjukan gratis, saya tidak tahu, tapi yang jelas mereka berduyun-duyun memenuhi lapangan parkir Student Advisory Centre (SAC). Seorang pengunjung sempat berkelakar kepada salah seorang teman yang menjadi panitia

“Aku seneng banget mbak, pertama kalinya bisa nonton Jazz gratis, yang main B-42 lagi, biasanya mereka main di Hotel Garden Palace di Surabaya, mahal. Wah kapan lagi nih mbak?”

Semua rasa capek terbayar tuntas rasanya setelah acara tersebut selesai. Tak banyak yang tahu, untuk mewujudkan acara yang tampak sederhana itu, kami membutuhkan waktu berbulan-bulan dan cukup menguras stamina dan biaya. Kami bergerak berdasarkan idealisme, tak ingin cari untung tapi juga tak ingin rugi. Satu-satunya yang bisa kami janjikan hanya pengalaman, tak lebih. Tujuh orang teman bersedia bergabung membantu sehingga total panitia acara tersebut menjadi sembilan orang.
Sebenarnya pada pertengahan tahun 2006 itu, saya dan beberapa teman juga sedang sibuk untuk mendirikan sebuah lembaga penelitian. Lembaga itu dimaksudkan sebagai tempat kami belajar dan mengabdi kepada masyarakat kelak setelah lulus kuliah. Tiga orang penggagasnya masih tercatat sebagai pengurus DPC GmnI, termasuk saya. Sedangkan tiga orang lainnya adalah teman kami dari Jurusan Sejarah. Saya adalah mahasiswa termuda sekaligus satu-satunya mahasiswa non jurusan Sejarah. Lembaga itu kami beri nama Center of Local Economics and Politics Studies (CoLEPS). Kami rutin menulis artikel dan makalah untuk didiskusikan setiap dua minggu sekali. Dari diskusi itu kemudian tercetus keinginan untuk mengadakan sebuah seminar sekaligus Launching buku pada tanggal 25 Januari 2007. Tema diskusi itu adalah tentang Land reform di Indonesia, sebuah ide lama yang di peti es-kan oleh orde baru karena dicap sebagai program PKI. Tema ini semakin relevan karena pada tanggal 28 September 2006, pemerintah melalui ketua Badan Pertanahan Nasional (BPN), Joyo Winoto mengumumkan rencana membagi-bagikan tanah.
Rencananya, akan ada redistribusi lahan eks HPH/HTI seluas 9 juta ha diseluruh Indonesia, dengan komposisi 60% untuk masyarakat dan 40% untuk investor dalam dan luar negeri. Juga redistribusi lahan seluas 8, 15 juta ha, yang sekitar 2,5 juta ha diperuntukkan khusus bagi perkebunan sawit dan tebu. Sisanya termasuk didalamnya 1,5 juta ha lahan yang dikelola oleh Perhutani di Pulau Jawa, akan dibagikan kepada para
Land Reform sebenarnya bukanlah sebuah kebijakan baru di Indonesia. Pada masa pemerintahan Soekarno, pemerintah sudah menyadari bahwa diperlukan sebuah Reforma Agraria untuk mewujudkan cita-cita dari kemerdekaan nasional demi kesejahteraan, keadilan, kebahagiaan dan kemakmuran rakyat. Untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan tersebut maka dibuatlah Undang-Undang Pokok Agraria 1960.

Namun dalam kenyataannya, Reforma Agraria sebagai salah satu kewajiban pemerintah belum pernah secara sungguh-sungguh dijalankan sesuai dengan amanat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 dan UUD 1945 pasal 33. Alih-alih menjalankan UUPA, pemerintah justru menerbitkan berbagai undang-undang yang sifatnya sektoral seperti UU No. 7/2004 tentang Sumber daya Air, UU No. 18/2004 tentang Perkebunan, Undang-Undang Pertambangan dan undang-undang lainnya yang semangatnya tidak sesuai dengan UUPA.

Sampai saat ini saya sering merasa belum melakukan apa-apa. Waktu terasa berlalu begitu cepat. Padahal, masih banyak yang belum dan ingin saya kerjakan. Kadang saya lupa bahwa setiap jejak yang kita tinggalkan adalah sejarah dan keabadian. Saya tiba-tiba ingat sepenggal puisi Goenawan Mohamad, “Sesuatu yang kelak retak, dan kita membikinnya abadi”. Ah, hidup!






Baca Selengkapnya..

Tuesday, July 24, 2007

Penambahan pipa pembuang lumpur sepanjang 200 meter di Kali Porong

24 Juli 2007. Penanggulangan luapan lumpur seringkali dinilai kurang maksimal. Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo hari ini menambah lagi sejumlah pipa pembuang lumpur ke kali Porong di Areal Spillway. Pemasangan pipa baru sepanjang 200 meter ini sudah dilakukan kemarin malam.

Penambahan pipa ini bertujuan untuk memaksimalkan pengaliran Lumpur ke Kali Porong, yang sebelumnya disedot oleh mesin Spillway dari Kolam penampung Lumpur atau pond Jatirejo.

Meski sebenarnya, sejumlah pipa pembuang Lumpur yang ada sudah cukup banyak, namun sampai hari ini hanya dua pipa yang dapat mengalirkan Lumpur. Hal ini disebabkan juga oleh mesin Spillway yang tidak dapat beroperasi seluruhnya.

Dari sepuluh mesin yang pernah didatangkan TimNas maupun BPLS, hari ini hanya lima mesin yang berfungsi. Itupun harus dengan mengalirkan air dengan volume yang cukup banyak ke kolam lumpur agar mudah disedot.

Sementara itu, kondisi Sungai Porong hingga saat ini terjadi pengendapan sepanjang lebih 1 meter. hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan baru bagi kota Sidoarjo.

Baca Selengkapnya..

WARGA RENOKENONGO BERSIKERAS BERTAHAN DI PENGUNGSIAN PASAR PORONG

Sidoarjo, 24 Juli 2007.Menjelang batas akhir waktu tinggal di pengungsian pasar baru porong yang diperintahkan bupati Sidoarjo Win Hendrarso, warga Renokenongo tetap bersikeras bertahan di pengungsian tersebut. Mereka menyatakan tidak akan pindah hingga ganti rugi 50 persen dan 30 hektar tanah dikabulkan.

Sekitar 766 KK atau 2581 warga Renokenongo yang menjadi korban Lumpur panas, sampai akhir Juli ini tetap bertahan di lokasi pengungsian pasar barui Porong.

Mereka yang tergabung dalam Paguyuban Warga Renokenongo Menolak Kontrak tetap menuntut pencairan tunai tunai rugi 100 persen atau paling tidak 50 persen.

Pitanto, Wakil Ketua Pagar Rekontrak mengatakan bahwa warga akan tetap bertahan sampai kapan pun hingga tuntutan mereka dipenuhi. Ketika ditanya tentang pembuatan bamboo runcing, ia menegaskan hal itu bukan sebagai bentuk perlawanan, namun itu hanya sebagai simbol semangat perjuangan layaknya Bung Tomo.

Sementara itu, rencana pengosongan Pasar Baru Porong dari para pengungsi bulan Agustus mendatang, tidak dihiraukan oleh warga Renokenongo. Warga mengaku kecewa jika pihak pemerintah Kabupaten tetap menghadapkan mereka dengan para pedagang pasar yang sudah bersiap menempati pasar baru tersebut.

Baca Selengkapnya..

Thursday, July 19, 2007

“Ayo semangat, Cak Markus!!”

Seruan inilah yang terlontar dari mulut seorang temanku ketika nonton pertandingan sepakbola Indonesia vs Korea Selatan, kemarin (18 Juli) pukul 17.20. Aku dan beberapa teman pun tak melewatkan kesempatan untuk melihat laga Tim Nasional Indonesia. Kami semua menabuh drum dan galon, meniup terompet, serta memakai kostum sepakbola Indonesia. Yah…walau kami tak berada di Stadion, namun seolah semangat kami menyatu dengan semangat saudara-saudara kami yang berada langsung di Stadion.

Markus, kiper Tim Indonesia adalah seorang yang tangguh. Berkali-kali ia menyelamatkan gawang Indonesia dari serangan Korea Selatan. Benar-benar pertandingan yang heboh. Namun, rupanya Indonesia harus mengakui keunggulan Korea Selatan, dengan skor terakhir 1-0 untuk Korea Selatan.

Baru kali ini, aku melihat seluruh rakyat Indonesia seolah-olah menjadi satu. Satu tujuan. Satu dukungan, hanya untuk kemenangan Tim Nasional Indonesia. Tak sedikit supporter Indonesia beramai-ramai datang ke Gelora Senayan lebih awal untuk mengantri tiket masuk, bahkan tak jarang yang rela tidur di pinggiran atau trotoar, karena mereka berasal dari luar Jakarta. Oo….hal yang mengharukan!

Namun, bila sejenak kita melihat ke belakang. Sistem pembelian tiket yang masih ‘purbakala’, tak jarang menuai konflik. Misalnya, para pembeli tiket yang berjubel dan tak mau anstri dengan rapi hingga menyulut amarah. Alhasil, tukang calo lah yang menjadi sasaran kemarahan supporter ini. Contoh yang lain, ketika tempat penjualan tiket telat dibuka, supporter dengan beringas menghancurkan pos-pos tersebut. Apa yang bias kita petik dari gambaran ini? Indonesia masih tidak siap untuk membuktikan dirinya sebagai Negara demokrasi. Yah…boleh-boleh saja menunjukkan nasionalisme dengan cara mendukung Tim Indonesia habis-habisan, namun itu semua ada aturannya. Bangsa yang hebat adalah bangsa yang bisa diatur dan bisa mengatur dirinya.

Tentu aku ikut bangga dan sempat merinding ketika lagu Indonesia Raya didengungkan. Aku sangat mengerti semua tindakan supporter itu, “hanya untuk Indonesia saja”. Tapi, saudaraku, mari kita bersikap sedikit dewasa (bukannya sok menggurui, karena hingga sekarang pun aku masih belajar untuk dewasa), supaya Negara kita pun lebih dihargai di dunia internasional.

Satu lagi yang penting, semangat dan dukungan untuk Indonesia ini jangan hanya terjadi ketika pertandingan sepakbola Indonesia melawan tim asing saja. Jangan hanya berhenti disini saja. Masih banyak upaya dan tindakan rakyat Indonesia terutama pemerintah yang membutuhkan dukungan dan semangat para bonek dari seluruh nusantara. Semua hanya untuk Indonesia, Saudaraku!! Semangat ya, Cak Markus!!

Baca Selengkapnya..

Wednesday, July 18, 2007

“ Pak Win adalah seorang kapitalis!!”

Kata-kata itulah yang muncul dari mulut seorang pengungsi di Pasar Baru Porong. Yuli namanya. Ia menjabat sebagai Wakil Sekretaris Paguyuban Warga Renokenongo Menolak Kontrak, atau yang lebih dikenal dengan Pagar Rekontrak. Wanita paruh baya yang siang itu (16 Juli 2007) memakai kaos berwarna kuning, dengan semangat menjelaskan tentang keberadaan serta keadaan pengungsi di Pasar Baru Porong. Pengungsi di Pasar Baru ini berjumlah 766 Kepala Keluarga, dengan total 2581 jiwa.

Siang itu, warga masih beraktivitas seperti biasa. Bahkan warga tidak mengindahkan ancaman yang kerapkali muncul lewat SMS ataupun telpon, yang sebagian besar bernada kasar. Dua hari yang lalu, tanggal 15 Juli adalah deadline dimana warga Desa Renokenongo harus meninggalkan lokasi Pasar Baru. Apabila mereka tidak mau, maka akan terjadi pengusiran oleh Satpol PP.

Para pengungsi juga mendengar isu bahwa pedagang di Pasar Lama juga akan mendesak mereka supaya segera pindah. “Saya rasa tidak benar kalau pedagang di Pasar Lama akan mengusir kami. Ini semua hanyalah isu yang digunakan Pak Win untuk mengadu domba kami dengan para pedagang, supaya kami pindah. Pak Win bukan seorang pancasilais, dia adalah seorang kapitalis!!”, ujar Yuli dengan emosional. Ia menambahkan bahwa Bupati Sidoarjo dinilai kurang berpihak pada warga pengungsi.

Setelah dikonfirmasi kepada para pedagang, mereka mengatakan bahwa apabila lumpur tidak muncul, mereka lebih senang berada di Pasar Lama. Pasar Lama dipandang lebih ramai karena dekat dengan jalan raya, selain itu pedagang juga mempertimbangkan segi keamanan di Pasar Baru. “Tapi, kalau memang pemerintah menyuruh kami pindah, ya kami manut saja. Walaupun saya sebenarnya lebih senang di Pasar Lama karena lebih ramai sehingga bias buka toko hingga jam 9 malam.”, ungkap seorang pedagang di Pasar Lama.

Warga desa Renokenongo masih tetap bertahan di Pasar Baru hingga tuntutan mereka dipenuhi, yaitu pembayaran 50% uang muka dan 30 hektar tanah sebagai ganti rugi immateriil. Warga mengaku, tinggal di Pasar Baru ini atas instruksi Pak Win, Bupati Sidoarjo. Warga juga telah membuat bambu runcing. “ Kami tidak ingin kekerasan. Kami lebih suka dialog. Bambo runcing itu hanya sebagai simbol semangat perjuangan kami untuk menuntut ganti rugi ini. Kami meneladani Bung Tomo yang juga menggunakan bambu runcing ini di kala melawan penjajah.”, ujar Pitanto, Wakil Ketua Pagar Rekontrak.

Para suami yang sebelumnya bekeja sebagai buruh tani, buruh tambak, tukang ojek, kini lebih banyak menganggur. Sedangkan para ibu telah mendapat pelatihan dari PT. PLN (Persero) kerjasama dengan Balai Latihan Kerja (BLK) Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Bojonegoro, yaitu pembuatan krupuk puli, kue nastar, kue larut keju, kue coklat, dan lain-lain. Selain itu, mereka juga berjualan bunga. Semua kegiatan ini dilakukan agar memperoleh tambahan keuangan untuk menafkahi keluarga mereka. 1 kg krupuk puli dijual seharga Rp. 6000,-.

Keberadaan para pengungsi ini adalah gambar ketidaksiapan pemerintah dalam melindungi hak-hak rakyatnya. Cobalah anda tengok para pengungsi di Pasar Baru Porong ini, maka anda akan mendapatkan realitas bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Namun, jangan hanya berhenti di tatara menengok saja, lakukan sesuatu untuk membantu mereka. Setidaknya, untuk membuat mereka bisa sedikit tersenyum.

Baca Selengkapnya..

Saturday, July 14, 2007

SEKOLAH TERBUKA SEBAGAI ALTERNATIF

Mahalnya biaya sekolah membuat banyak siswa lulusan sekolah dasar terpaksa putus sekolah. Hal ini disebabkan oleh minimnya informasi masyarakat mengenai sekolah murah dan bermutu, yang telah disediakan masyarakat.

Pemerintah Kota Surabaya telah menunjuk 12 sekolah untuk mendirikan sekolah terbuka. Salah satunya adalah SMPN 10, yang terletak di kawasan Kupang Panjaan. Hingga saat ini, pendaftar telah mencapai 100 siswa. Sekolah terbuka memberi banyak kemudahan karena selain diberi seragam, siswa juga dibebaskan dari biaya.

Sartika Yuliani, salah seorang pendaftar, mengaku ia lebih memilih sekolah terbuka disbanding kejar paket B, karena lebih menghemat biaya dan frekuensi belajar di sekolah terbuka yang hamper menyamai sekolah regular.

Sartika yang hanya tinggal dengan neneknya, mengatakan ingin melanjutkan kembali sekolahnya setelah sempat putus sekolah selama 3 tahun.

Hingga saat ini, baru 100 calon siswa yang mendaftar di bangkuy SMP Terbuka SMPN 10 Surabaya dan masih tersisa 187 buah.

SMP Terbuka SMPN 10 Surabaya masih membuka pendaftaran hingga dimulainya tahun ajaran baru, sekitar bulan September mendatang.

Baca Selengkapnya..

Friday, July 13, 2007

POLISI TEMBAK POLISI BANDAR NARKOBA

Satuan Reserse Narkoba Polwiltabes Surabaya menembak seorang bandar narkoba, siang kemarin, 12 Juli 2007, yang juga merupakan anggota aktif Detasemen Markas Polda Jatim.

Tersangka adalah Bripda Ainur Rofiq. Penangkapan terjadi dini hari, di rumah kostnya di jalan Sedati Agung. Saat penangkapan, tersangka sempat melakukan perlawanan dengan mengacungkan sangkur, sehingga tim penyergap harus melepaskan timah panas ke tubuh tersangka. Saat itu, tersangka tengah dalam keadaan mabuk, dan ditemukan pula 11 paket sabu-sabu.

Saat ini, tersangka Bripda Ainur Rofiq sedang menjalani perawatan di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Jatim, akibat dua luka tembak di lengan dan paha kirinya. Tersangka baru memasuki ruang operasi pada pukul 10.40 WIB (12 Juli).

Ini bukan kasus pertama bagi Bripda Ainur Rofiq. Pada bulan April yang lalu, tim dari Pilwiltabes Surabaya pernah mencoba menangkap tersangka di rumah kontrakannya di kawasan Magersari, dengan kasus yang sama, namun gagal karena tersangka menyandera dua orang di sekitarnya.

Menurut rekan-rekannya, tersangka Bripda Ainur Rofiq memiliki sejumlah catatan kurang baik akibat indisipliner. Tersangka masuk dalam daftar pencarian orang sejak empat bulan yang lalu.

Baca Selengkapnya..

Wednesday, May 16, 2007

Membumikan Makna Kenaikan Yesus Kristus

Salah satu makna kenaikan Yesus Kristus ke Surga yang diperingati pada Kamis, 17 Mei 2007 ini adalah keteladanan. Hal ini bisa dilacak dari pesanNya yang terakhir kepada murid-muridNya dimana Ia berkata “ Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Matius 28: 19-20). Bagi umat Kristen hal ini berarti memberitakan Injil (kabar keselamatan) ke seluruh dunia dengan menjadikan Yesus sebagai teladan hidup. Teladan yang semasa hidupNya memberi contoh sebagai raja sekaligus hamba yang melayani, bertanggung jawab, penuh cinta kasih, anti kekerasan dan tak segan berkorban.
Makna di atas semakin relevan di tengah kemelut krisis dan masalah yang melanda bangsa ini, rasanya kita semakin sulit mencari sosok pemimpin yang patut diteladani. Pemimpin yang seharusnya menyatukan diri dengan rakyat semakin hari justru kian jauh dari rakyat dan tidak memperjuangkan kepentingan rakyat. Para elit hanya sibuk bertikai dan saling intrik demi kekuasaan dan uang. Contoh kasus yang sangat mengagetkan publik, seperti kasus dana non-budgeter Departemen Kelautan dan Perikanan yang disinyalir mengalir ke seluruh calon presiden pada Pemilu tahun 2004 lalu, termasuk calon terpilih yaitu Susilo Bambang Yudhoyono. Sementara di sisi lain, jumlah kemiskinan terus merangkak naik. Korban Lumpur Lapindo terkatung-katung nasibnya. Budaya kekerasan yang lebih mengutamakan kekuatan otot ketimbang dialog. Kerusakan lingkungan semakin parah bahkan Indonesia digolongkan sebagai perusak hutan paling parah. Menghadapi semua kenyataan ini pemimpin kita justru terkesan berkelit dan mati-matian menampilkan diri sebagai yang “tak berdosa” demi menjaga citranya di depan rakyat. Tak ada kejujuran, rela berkorban dan sikap bertanggungjawab kepada mereka yang diwakili.
Padahal, pemimpin yang sejati seharusnya adalah pemimpin yang mampu menyelaraskan antara ucapan dan laku sehari-hari. Dengan demikian janji-janji berjuang bersama rakyat, bersama-sama berusaha mencapai kemakmuran tidak terkesan omong kosong. Sebab di saat sebagian besar rakyat menderita sengsara karena kemiskinan, wabah penyakit, bencana dan nyaris kehilangan harapan pemimpinnya justru sama sekali tak menunjukkan empati dan rasa kebersamaan. Yang diributkan tak jauh dari unsur uang dan kekuasaan melulu.
Kita tidak tahu kepada siapa harus mencontoh, mengingat mayoritas pemimpin yang ada hanya mengutamakan kepentingan individu maupun golongannya saja. Tak dapat dipungkiri, wakil-wakil rakyat yang ada telah terperangkap dengan “baju” atau “simbol” yang mereka bangun sendiri. Sehingga berbuat sesuatu terlebih dahulu memperhatikan asal usul seseorang, dari golongan atau partai apa dan menghitung untung rugi bagi diri mereka sendiri sehingga penegakan hukum pun terkesan tebang pilih. Bukankah mereka dipilih karena rakyat percaya bahwa wakilnya akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik? Rasanya, semua kita akan menarik nafas dan mengelus dada tanda prihatin melihat realitas di Indonesia.
Salah satu hal yang penting untuk menyembuhkan penyakit sosial dan politik di negara kita yaitu menumbuhkan kepekaan diri atas segala fenomena sosial di sekitar kita, seperti yang telah Yesus lakukan ketika di dunia. Dalam hal ini tentu peran kaum terpelajar seharusnya sangat besar. Namun kenyataannya sekarang kita lihat bukan hal yang aneh lagi dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia banyak orang terpelajar dengan gelarnya yang seabreg melakukan sesuatu yang memalukan, misal membuang sampah sembarangan, tidak mematuhi rambu lalu lintas, dan lihat saja maraknya tawuran di kampus-kampus di Makassar, Ambon dan Medan. Kampus yang seharusnya menjadi pusat pendidikan dan kebudayaan yang dihuni oleh orang-orang yang arif, bijaksana dan intelektual menjadi ajang berebut pengaruh dan kuasa terutama dalam pemilihan rektor. Maka tak heran bila masing-masing pihak saling mengerahkan massa seperti terjadi di kampus UISU Medan. Ini menunjukkan kita masih menerapkan paradigma bahwa pemimpin harus dilayani dan disembah sehingga kita kurang peka terhadap sesama kita dan orang lain. Warga Indonesia kehilangan figur seorang Rabuni, yang artinya guru.
Kenaikan Yesus Kristus ke surga menjadi satu pesan bahwa sudah saatnya umat manusia berbuat karya nyata meneladani apa yang telah dilakukanNya selama hidup di dunia ini. Yesus adalah seorang guru yang patut kita contoh. Ia mengajarkan tentang cinta kasih pada sesama, keadilan, pengampunan, kesabaran, kepekaan terhadap sekitar. Sebagai seorang guru, Ia sendiri yang mempraktikkan ajarannya, tidak sekedar teori. Yesus pun rela mengorbankan nyawanya untuk orang-orang yang dikasihiNya yaitu umat manusia, dan itu adalah kasih yang terbesar. Lalu, apa tugas manusia? Manusia mendapatkan tugas pengutusan untuk memberitakan kabar keselamatan, mengeratkan persaudaraan dan saling mengasihi serta bahu-membahu berjuang membebaskan diri dari kesengsaraan demi kemuliaan Tuhan. Selamat Hari Kenaikan Yesus Kristus!

Baca Selengkapnya..

Thursday, May 10, 2007

Pram dan Sebuah Polemik

Polemik selalu membangkitkan gairah. Setidaknya itulah yang kita baca dari sejarah bangsa ini yang konon kata Hegel, bukan sembarang peristiwa, dan ini diamini oleh Marx. Ahli pikir lain juga dengan yakin mengatakan bahwa ada jiwa zaman (zeitgeist) yang turut membentuk ide dan laku seseorang. Konon juga manusia sebagai aktor memiliki budi nurani (social conscience of man) yang gandrung akan kemerdekaan, kebebasan, keadilan dan kemakmuran. Masalahnya adalah bagaimana gerangan kita meraihnya? Bukankah dunia ini penuh dengan kontradiksi, dan memang tak seindah yang kita inginkan?
Revolusi?
Indonesia di awal abad-20 seperti banyak negara di belahan dunia yang lain, pernah memancangkan tiang revolusi untuk membebaskan diri dari cengkraman kapitalis imperialis dan mewujudkan cita-cita adil dan makmur. Sekali revolusi dicetuskan, ia tak akan berakhir hingga cita-citanya tercapai, kata Bung Karno ketika banyak pihak yang menganggap revolusi sudah selesai sewaktu Indonesia telah merdeka. Polemik pun lahir dan membesar. Dwitunggal—Soekarno-Hatta—pecah. Dalam gegap gempita perbedaan pendapat itu, di sisi lain kehidupan rakyat makin digerogoti oleh kemiskinan.
Dalam suasana seperti itu, kata revolusi kian terasa menjemukan dan “membahayakan”. Sebab memecah massa menjadi pro dan kontra revolusioner (kontrev). Padahal orang diajarkan bahwa salah satu syarat sebuah revolusi adalah persatuan…persatuan….dan persatuan agar tak gampang dipatahkan. Sejarah kemudian menunjukkan bahwa tuduhan kontrev dan reaksioner justru menjadi senjata yang amat ampuh untuk “memojokkan” lawan politik. Sebuah tuduhan yang serius. Dari titik inilah, polemik antara Pram dengan beberapa sastrawan yang menulis di majalah sastra seperti Sutan Takdir Alisjahbana dimulai. Pram hendak memulai sebuah polemik bahwa orang harus berdiri dengan posisi dan warna yang jelas. Orang yang tidak jelas katanya dalam tulisannya tiga kali berturut-turut di Bintang Timur, 10 Aug, 1 Sept, 7 Sept, 12 Okt 1962 harus dibabat. Rezim dan zaman pada waktu itu berpihak padanya dan ia “menang”. Tapi, zaman berubah pasca 1965—setelah ribuan orang dibantai atas nama ideologi-, Soeharto dengan rezim Orde Barunya tengah sibuk membangun negeri dari keterpurukannya. Seluruh kekuatan elemen bangsa diarahkan ke satu bidang—ekonomi--. Politik diminimalisir karena dianggap sebagai sumber perpecahan selama ini bahkan pada taraf tertentu diharamkan jika dianggap “mengancam” ketertiban umum. Pram dengan semangat revolusionernya termasuk dalam kategori yang diharamkan. Kali ini tuduhan yang dikenakan adalah terlibat komunis—sebuah tuduhan yang serius pada zaman itu. Ia diringkus, naskah-naskahnya dibakar dan ia diasingkan ke pulau buru tanpa proses peradilan.
Tugas utama seorang manusia adalah menjadi manusia, kata Multatuli yang kemudian menjadi kalimat yang sering disuarakan Pram. Ia prihatin melihat manusia Indonesia mandi dalam darah saudaranya sendiri. Pram begitu mengagungkan humanisme—sesuatu yang gampang diucapkan namun sulit diterjemahkan dalam laku orang Indonesia yang katanya ramah dan murah senyum. Lagipula sikap otoriter adalah sah untuk mengamankan sebuah revolusi sekaligus memelihara kekuasaan dan dalam konteks yang lebih luas menjaga seraya membangun ke-Indonesiaan. Singkatnya adalah identitas,--sesuatu yang bagi sebagian kita belum selesai hingga saat ini. Berlakunya Pancasila sebagai dasar negara dianggap kekalahan oleh kelompok tertentu maka, “revolusi belum selesai” untuk menjadikan piagam Jakarta sebagai dasar negara. Lebih tegas lagi, Islam! Itulah yang diajarkan oleh sejarah kepada kita. Soekarno melarang PSI dan Masyumi, Soeharto mengirim ratusan ribu tahanan politik ke Pulau Buru tanpa proses peradilan, dan hari ini George Walker Bush menggempur Irak. Ini bukan monopoli negara karena pada saat tertentu hingga hari ini kita masih menyaksikan orang teriak, PKI…PKI….sambil mengadahkan tinju. Ada juga yang mengatakan fundamentalis, teroris, sesat lalu membawa pasukan bersenjata untuk “mengamankannya”. Kita rupanya nyaman dengan kemapanan bahkan bagi kita yang katanya anti kemapanan sekalipun. Lalu, sejauh mana humanisme juga HUMANISME UNIVERSAL yang digadang-gadang itu bisa diterjemahkan menjadi laku? bukan sekedar esensi atau,--meminjam kalimat Budha-- hal luhur yang benar, asalkan tidak sampai dirumuskan; jika dirumuskan, tidak benar lagi? Kalau tidak dirumuskan lalu bagaimana kita melaksanakannya? Apakah sekedar diam manggut-manggut atas keadaan yang ada yang mungkin enak dan menguntungkan kita tapi pahit dan menindas jutaan manusia lain di sekitar kita? Katakanlah contoh kecil, kapitalisme. Dimanakah posisi sang humanis? Dan bagaimana kita merangkai semua polemik ini dalam sebuah frame kebangsaan, ke-Indonesiaan? Entahlah saya jadi ragu itu masih dianggap penting atau tidak hari ini!

Baca Selengkapnya..

Sosialisasi “Keanggotaan Tidak Tetap Indonesia di DK PBB”

Hari itu, Kamis, 5 April 2007 adalah hari yang tak biasa untuk mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional khususnya, dan mahasiswa UNEJ umumnya. Acara yang bertajuk Sosialisasi “Keanggotaan Tidak Tetap Indonesia di DK PBB” ini dimulai pukul 09.00 WIB. Acara yang bertempat di Aula FISIP ini adalah salah satu wujud kerjasama antara Departemen Luar Negeri Republik Indonesia dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, mengingat pada waktu yang lalu kedua instansi ini pernah bekerjasama.
Sengaja aku mengambil tempat agak di depan karena aku ingin mengikuti seminar ini dengan serius. Waktu telah menunjukkan pukul 08.58, acara akan dimulai barang semenit—dua menit lagi, pikirku. Benar, tak sampai 2 menit acara pun dimulai. Pada pembukaan, sambutan yang pertama diisi oleh Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata dari Deplu. Sambutan yang kedua oleh PR 2 Drs. Agus Budihardjo, MA, sekaligus membuka acara. Acara ini terbagi menjadi dua sesi diskusi. Diskusi pertama bertema “ DK PBB dan Perdamaian Dunia”. Pemateri pada sesi ini adalah Direktorat keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Deplu K. Chandra Negara dan Staf Pengajar Jurusan HI Himawan Bayu Patriadi, MA. Dipandu oleh moderator Lucky A.E. Sa’ud, diskusi sesi pertama berjalan dengan santai dan jauh dari kesan tegang karena kerapkali sang moderator menyisipkan joke ringan dalam pembawaannya. K. Chandra Sistem berpendapat bahwa masuknya Indonesia sebagai anggota tidak tetap PBB adalah sebagai wujud kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia. Indonesia mendapat rekomendasi (baca: kepercayaan) dari 158 negara dengan total 192 negara.
Ketika dibuka diskusi, beberapa peserta yang hadir mengacungkan tangan tanda bertanya. Ternyata bukan hanya kalangan mahasiswa saja yang datang, tapi juga dari guru di salah satu SMA—entah aku lupa apa nama SMAnya. Sesi tanya jawab ini berlangsung hingga 2 termin. Pukul 11 sesi diskusi I diakhiri, dan peserta diperbolehkan untuk mengambil kue-kue dan kopi atau teh sebagai hidangan coffee break. Aku pun segera antre untuk mengambil hidangan. Setelah itu, aku kembali ke tempat dudukku semula sambil berbincang dengan temanku, Mimin. “Min, nurutmu gimana acara ini?”, tanyaku. “Ehm…bagus juga, acara seperti ini berfungsi sebagai sarana Deplu untuk mensosialisasikan kegiatannya, juga keputusan luar negeri yang telah diambil. Apalagi dengan masuknya Indonesia ke dalam keanggotaan tidak tetap DK PBB, tentu ini adalah hal yang menarik untuk didiskusikan.”
Sesi kedua dimulai pukul 11.20, aku pun segera menuntaskan minumku dan kembali berfokus pada diskusi selanjutnya. Sesi yang bertemakan “Indonesia dan Upaya Perdamaian Dunia” ini dipandu oleh seorangf moderator dari jurusan HI yaitu Bagus Sigit Sunarko, M.Si, dengan pembicara Andi Rachmiantodari Direktorat Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Deplu dan Sunardi Purwaatmoko, MIS dari HI Universitas Jember. Diskusi ini lebih merujuk pada Resolusi 1747 yang dikeluarkan PBB dan peran serta Indonesia atas resolusi tersebut. Dalam resolusi tersebut, Indonesia telah berhasil melakukan amandemen dengan memasukkan pasal yang berisikan bebasnya kawasan Timur Tengah dari nuklir. Iran yang merupakan kawan lama Indonesia rupanya memahami tindakan Indonesia dan tidak serta merta menyalahkan Indonesia karena mendukung resolusi tersebut, pun demikian dengan negara-negara Islam yang lain. Diskusi ini berlangsung interaktif ketika dibuka sesi tanya jawab hingga moderator harus menambah satu termin lagi akibat banyaknya peserta yang ingin bertanya.
Sebelum acara ini berakhir, penutupan dilakukan oleh perwakilan Deplu dan Dekan FISIP Dr. H. Uung Nasdia, BS.W, MS. Seperti biasa, tak lupa Pak UUng mengajak para peserta berdiri dan menyanyikan lagu yang berlirikkan Indonesia..tempat lahir beta/ pusaka abadi nan jaya……dan seterusnya.
Setelah penutupan, peserta dipersilakan ke lantai satu untuk menikmati makan siang. Aku pun segera turun untuk memuaskan perut yang berteriak-teriak kelaparan. Semoga acara seperti ini bisa mengalami keberlanjutan. FISIP sebaiknya lebih membuka diri terhadap instansi luar sehingga wawasan mahasiswanya makin bertambah.

Baca Selengkapnya..

Sunday, April 08, 2007

MEMANTAPKAN IDENTITAS BANGSA MELALUI PENGEMBANGAN SENI BUDAYA DAERAH
















STUDI KASUS CAN-MACANAN KADHUK DI KABUPATEN JEMBER



BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah berpengaruh terhadap hampir setiap sudut kehidupan kita. Manusia telah mampu melampaui kendala geografis dan mempersingkat waktu dalam melakukan komunikasi dengan sesamanya. Kendala jarak seperti yang dialami nenek moyang kita dulu kini teratasi dengan ditemukannya telepon, dan yang paling dahsyat adalah jaringan internet. Internet sudah menciptakan sebuah, meminjam istilah Friedman (2006: ) “kampung global” bagi generasi sekarang ini. Fenomena ini juga menandai lahirnya abad baru yang sering kita sebut sebagai modernisasi dan globalisasi. Namun, aneka “kegaduhan” yang diciptakan oleh globalisasi selain disambut dengan penuh optimisme dan suka cita oleh beberapa pihak juga menjadi ancaman baru bagi pihak lain. Pasalnya, globalisasi dianggap telah menyingkirkan budaya lokal (local genius) yang telah dipertahankan ribuan tahun. Globalisasi mendikte dan menaklukkan budaya lain untuk diseragamkan sesuai dengan kepentingan ideologis dibaliknya. Horkheimer dan Adorno (dalam Lubis, 2004:110) mengemukakan istilah industri kebudayaan. Industri kebudayaan memiliki fungsi melegitimasi ideologi masyarakat kapitalis yang ada dan mengintegrasikan individu ke dalam kerangka kerja formasi sosial. Geertz (Dalam Mohamad, 2005:259) menyebut gejala ini sebagai “pembukuan ganda dalam hal moral” . Selanjutnya Mohamad menuliskan:
Dengan itu Geertz berbicara tentang suatu simptom, sebuah tendensi yang umum terjadi di masyarakat-masyarakat yang sedang berkonfrontasi dengan “kebudayaan modern” dan berubah. Di santu sisi orang menyimpan rencana dan impiannya untuk ikut larut ke dalam apa yang dibawa oleh modernisasi, namun di sisi lain ia memperlihatkan lambang-lambang dari segala yang justru terancam lenyap oleh proses larut itu. Di satu sisi orang asyik dengan teknologi dan gairah kepada kekayaan yang memiliki benda mutakhir - dengan semacam ketakutan kalau-kalau modernisasi semesta meninggalkannya - tapi serentak dengan itu, ada kegandrungan untuk mengukuhkan kembali sesuatu yang khas dalam diri, dengan semacam rasa takut akan sebuah keterasingan dari dunia yang ia kenal.

Friedman (2006: 595-597) memiliki pendapat yang berbeda dengan Horkheimer dan Adorno. Ia menggambarkannya sebagai berikut:
Globalisasi bukanlah suatu fenomena yang eksklusif pada bidang ekonomi dan pengaruhnya pun juga tidak eksklusif ekonomis…Khawatir akan akibat globalisasi yang menghancurkan adalah penting dan sah-sah saja; tapi, mengacuhkan kemampuannya dalam memperkuat individu maupun sumber budaya tentu juga akan menghilangkan efek positifnya yang potensial bagi kebebasan dan keragaman manusia…Inti pendapat saya bukanlah bahwa pendataran dunia akan selalu memperkaya dan melestarikan kebudayaan. Inti pendapat saya sebaliknya, bahwa pendataran dunia tidak akan selalu menghancurkan kebudayaan seperti halnya pesan-pesan yang anda dapat jika hanya mendengarkan kritik atas globalisasi saja.

Hal ini merupakan jawaban Friedman atas kritik berbagai pihak atas globalisasi yang cenderung menyeragamkan. Selanjutnya ia menulis tentang globalisasi yang ternyata juga bisa mendukung keanekaragaman dan dalam kasus tertentu justru anti penyeragaman. Ia mengatakan:
Dalam soal budaya, globalisasi atas hal-hal “lokal” adalah mengijinkan kelompok para pendukung hak asasi maupun kelestarian lingkungan hidup lokal untuk ikut ambil bagian dan merasakan solidaritas dalam komunitas internasional…Kenyataannya internet telah memperbesar kemampuan individu untuk mencipta dan menuliskan kisahnya sendiri pada dunia, baik secara individu maupun sebagai bagian dari komunitas.

Kabupaten Jember sebagai bagian dari komunitas global juga terkena dampak globalisasi. Sebagaimana diketahui bahwa kesenian daerah selalu mengalami kemunduran. Seperti yang telah disebutkan di atas, hal tersebut dipengaruhi oleh perkembangan aneka ragam bentuk seni masa kini yang lebih menjanjikan dari sisi nilai hiburan. Artinya, cenderung mengikuti arus dan selera dari penikmatnya yang kebanyakan bersifat hedonis. Oleh karena itu, tidak heran apabila banyak ragam seni tradisi yang terancam punah. Bahkan, kelompok-kelompok seni yang mencoba mempertahankan eksistensi kesenian tradisional tertentu dan berusaha hidup dari kesenian tersebut, seringkali terancam gulung tikar. Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa upaya korporasi-korporasi global yang menciptakan budaya popular atau budaya massa melalui propaganda iklan telah turut meneggelamkan keberadaan kesenian daerah. Labelisasi tradisional, kuno, ketinggalan jaman dan “gak gaul” pada seni budaya daerah telah mendorong generasi muda untuk mengikuti seni budaya yang dianggap modern. Kapitalisme global berhasil membangun meminjam istilah Barthes, mitos di sekitar budaya-budaya yang diciptakannya. Mitos itu misalnya tentang perempuan cantik yang dicitrakan berambut lurus, hitam, berkulit putih, langsing dan bergigi putih, serta sering menonton MTV. Tahapan menuju idealisasi itu “memaksa” seseorang untuk menggunakan produk-produk kosmetik tertentu. Adorno (dalam Piliang, 2003:89) menggambarkan hal ini bahwa:
Setiap orang harus bertingkah laku…sesuai dengan kondisi yang sebelumnya telah direncanakan dan ditentukan baginya, dan memilih kategori produk massa yang dibuat khusus sesuai tipologi mereka, dan mereka dikelompokkan berdasarkan pendapatan ke dalam daerah merah, hijau, dan biru.

Menghadapi realitas di atas, layak dan realistis untuk kita renungkan ungkapan yang menyatakan bahwa kita tidak perlu menangisi tradisi. Apalagi, mengorganisir dan menyatukan seluruh seniman dan budayawan untuk menabuh genderang “perang” terhadap budaya modern. Seni dan budaya daerah bukanlah suatu yang bersifat absolut, statis dan selesai (taken for granted). Ia akan terus berkembang sesuai dengan kebutuhan manusia. Sebagaimana menurut Kleden (2001:18-20):
kebudayaan tidak cukup hanya dipandang sebagai nilai dan norma, tetapi dapat dan harus juga dipandang sebagai wacana, yaitu sebagai hasil bentukan dan hasil konstruksi sosial dari sekelompok orang dalam mencari orientasi kepada lingkungan hidupnya…kebudayaan bukan soal kebenaran, melainkan soal praktek dan kebiasaan.

Demikian juga dengan perilaku generasi muda yang cenderung lebih menyukai hal-hal yang diangap modern daripada seni dan budaya daerahnya masing-masing tidak serta merta dikatakan ia murtad dan melenceng dari budaya timur. Kleden menambahkan:
Anggapan bahwa ada nilai-nilai yang tak tersentuh, dan ada tingkah laku budaya yang menyimpang, yang tidak kena-mengena dengan nilai-nilai luhur tersebut, adalah suatu jalan pikiran esensialis yang melihat kebudayaan sebagai dunia platonis yang berada di luar sejarah. Secara ilmiah, hal ini jelas merupakan pengaruh positivisme yang bisa diteliti secara empiris gejala dan polanya. Positivisme hanya sanggup menangkap kehadiran sebuah kebudayaan dengan pola-polanya sebagaimana sudah terbentuk. Namun, dia gagal menangkap proses pembentukan budaya itu. Dalam proses pembentukan tersebut (yaitu dalam konstruksi sosial kebudayaan) akan terlihat kekuatan, kepentingan, dan berbagai ide yang membentuk suatu kebudayaan dalam suatu konteks sejarah yang konkret. Setiap kebudayaan ada riwayat hidupnya, dan konstruksi sosial adalam semacam biografi tentang kebudayaan bersangkutan.

Dengan fenomena tersebut, semangat pelestarian dan pengembangan aneka ragam seni budaya tradisional tidak harus dimaknai sebagai budaya tandingan (culture counter) atas pengaruh budaya luar. Bukan pula “mengamankan” kesucian dan kesakralan budaya daerah dari arus perubahan dengan pandangan yang sempit dan fanatisme yang berlebihan. Melalui upaya penanganan yang serius dan strategi pengembangan yang profesional diharapkan aneka ragam seni budaya tradisional di Kabupaten Jember dan Juga daerah lainnya mampu menjadi penanda yang memantapkan identitas bangsa sekaligus mampu mendatangkan keuntungan ekonomis, baik bagi pemerintah maupun bagi kelompok seniman dan budayawan. Oleh sebab itu, upaya pengembangan seni budaya tradisional harus melibatkan berbagai pihak, baik instansional, peneliti, budayawan, maupun kelompok seniman yang terlibat langsung dalam pementasan-pementasan, sehingga upaya pengembangan berlangsung semaksimal mungkin.

1.2. Rumusan Masalah
Uraian pada latar belakang masalah tersebut memunculkan tiga masalah utama yang dibahas. Tiga masalah utama tersebut adalah:
1. Bagaimana potensi seni budaya daerah di Kabupaten Jember meliputi nilai ekstrinsik yang mencakup aspek kebudayaan, sosial ekonomi, pendidikan, dan ilmu pengetahuan dalam memantapkan identitas bangsa?
2. Bagaimana potensi aneka ragam seni budaya daerah Kabupaten Jember meliputi nilai intrinsik yang mencakup aspek performance art, dan kekhususan, dan repon masyarakat.
3. Bagaimana konsep pembinaan dan pengembangan terhadap aneka ragam seni budaya daerah di Kabupaten Jember sebagai upaya memantapkan identitas bangsa?



1.3. Tujuan
Penulisan ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan potensi kesenian Can-Macanan Kadhuk di Kabupaten Jember ditinjau dari aspek nilai ekstrinsik yang meliputi aspek kebudayaan, sosial ekonomi, pendidikan dan pengetahuan yang dapat memantapkan identitas bangsa.
2. Mendeskripsikan potensi kesenian Can-Macanan Kadhuk di Kabupaten Jember dari aspek intrinsik yang meliputi aspek performance art, kekhususan , dan respon masyarakat.
3. Membuat rekomendasi konsep pembinaan dan pengembangan kesenian Can-Macanan Kadhuk di Kabupaten Jember sebagi upaya memantapkan identitas bangsa.

1.4. Manfaat
Penulisan ini diharapkan bermanfaat bagi berbagai kalangan.
1. Bagi Pemerintah Kabupaten Jember, penulisan ini dapat dijadikan sebagai masukan dalam menentukan kebijakan pembangunan, khususnya dalam kaitannya dengan pengembangan kesenian Can-Macanan Kadhuk dan budaya daerah khas Jember lainnya.
2. Bagi kelompok masyarakat terkait, seperti budayawan, pekerja seni, penulisan ini dapat dijadikan referensi dalam mengelola dan mengembangkan secara professional aneka ragam seni budaya daerah di Kabupaten Jember
3. Bagi masyarakat Kabupaten Jember, aktivis mahasiswa dan kelompok masyarakat lainnya, hasil penulisan ini diharapkan mampu meningkatkan kesadaran akan arti penting seni budaya daerah dalam upaya memantapkan identitas bangsa serta mampu memberi kritik dan masukan yang membangun.
4. Mempromosikan Kabupaten Jember secara umum.


1.5. Tinjauan Pustaka
1.5.1 Kesenian
Sebelum membahas lebih lanjut kita perlu menjawab pertanyaan apakah yang dimaksud dengan kesenian itu? Boss dan Herkovits (dalam Budhisantoso, 1981/1982: 24-25) memberi batasan kesenian sebagai berikut:
…kesenian itu sebagai suatu yang dapat membangkitkan perasaan menyenangkan (pleasurable sensations). Suatu kegiatan akan membangkitkan perasaan keindahan apabila ia dilakukan dengan memenuhi persyaratan teknis tertentu dalam prosesnya sehingga mencapai standard of excellence.
Pertanyan berikutnya ialah mengenai standard excellence itu sendiri. Dengan kata lain, kesenian dapat diartikan sebagai penghias kehidupan sehari-hari yang dicapai dengan kemampuan tertentu dan mempunyai bentuk-bentuk yang dapat dilukiskan oleh pendukungnya dan dapat dianggap sebagai manifestasi segala dorongan yang mengejar keindahan dan karenanya dapat meningkatkan kesenangan dalam segala tahap kehidupan.
Oleh sebab itu, sekurang-kurangnya ada dua aspek kesenian yang perlu diperhatikan, yaitu konteks estetika atau penyajiannya yang mencakup bentuk dan keahlian yang melahirkan gaya. Dan konteks arti (meaning) yang mencakup pesan dan kaitan lambang lambangnya [sic]

Kesenian tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat. Sebagian [sic] salah satu bagian yang penting dari kebudayaan, kesenian adalah ungkapan kreativitas dari kebudayaan itu sendiri ( Kayam, 1981/1982: 52).
Pada bagian sebelumnya penulis sudah menyinggung perihal kian tergusurnya kesenian tradisional oleh kesenian modern yang lebih menghibur. Namun, perlu dicatat bahwa kesenian dan hiburan tidak identik. Sedyawati (2006: 130-131) memberi kriteria dasar yang dapat digunakan untuk membedakan keduanya:
“seni” yang sering juga disebut sebagai “seni adiluhung: adalah jenis ungkapan seni yang mempunyai implikasi kepada perenungan; didukung oleh teknik yang cukup rumit; ada perangkat konsep yang mendasarinya.
“hiburan” sifatnya langsung merangsang panca-indra atau juga tubuh untuk mengikuti dengan gerak; mementingkan sifat glamur dan sensasional.

Melalui pembedaan seperti di atas dapat dikatakan bahwa seni mengandung nilai-nilai luhur suatu masyarakat tertentu, berbeda dengan hiburan yang yang hanya mengandung unsur glamour. Namun, bukan berarti seni dan hiburan selalu saling bertentangan karena dalam beberapa hal keduanya juga saling melengkapi. Bahkan, seperti yang diutarakan sebelumnya seni yang mampu bertahan adalah seni yang dapat mempertahanan nilai hiburannya yang cenderung berubah dari waktu ke waktu.

1.5.2. Kebudayaan

Menurut Lubis, Istilah kebudayaan, yang dalam bahasa inggris culture, secara umum memiliki dua pengertian berbeda. Pertama adalah pengertian kebudayaan sebagai belles letters, yang membedakan antara kebudayaan rendah (popular, massa). Kedua adalah kebudayaan yang diartikan sebagai kebiasaan-kebiasaan khusus, adat-istiadat, dan pandangan dunia satu komunitas manusia. Dalam hal ini saya lebih cenderung memilih konsep kebudayaan yang kedua karena lebih cocok dengan tema pembahasan ini, yaitu kebudayaan selalu diklasifikasikan sepanjang garis geopolitik, kontinen, dan bangsa tertentu.
Seperti yang sudah penulis sebutkan pada latar belakang, perkembangan kebudayaan manusia dewasaini sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian memudahkan manusia dalam berinteraksi. Oleh sebab itu, menurut Budhisantoso (1980: 13).
kebudayaan manusia di dunia ini, cepat atau lambat, mengalami perkembangan sesuai dengan bertambahnya kebutuhan serta perkembangan kemampuan masyarakat yang mendukungnya. Dengan kata lain kebudayaan itu mengadaptasikan dirinya dengan lingkungan. Perkembangan kebudayaan itu bisa terjadi karena kekuatan dari dalam seperti penemuan-penemuan (inventions) dan pengolahan (discoveries) yang mampu memenuhi berbagai macam kebutuhan baru yang dirasakan oleh masyarakat bersangkutan, ataupun karena kekuatan dari luar seperti persebaran unsur kebudayaan (diffusion) baik yang diterima sebagaimana adanya maupun yang merangsang perkembangan lebih lanjut (stimulus diffusion). Perkembangan kebudayaan dapat pula terjadi karena pengaruh kedua belah pihak, yaitu pengaruh kekuatan dari dalam dan kekuatan dari luar secara bersama.
Kebanyakan kebudayaan manusia di dunia, lebih-lebih di masa kini, hampir tidak mungkin berkembang dengan mengandalkan kekuatan dari dalam dan menunggu penemuan maupun pegolahan setempat. Pengaruh dari luar sangat penting artinya dalam perkembangan kebudayaan umat manusia baik sebagai unsur baru maupun sebagai perangsang (stimulus).

Dari penjelasan di atas kita dapat mengatakan bahwa tumbuh, hilang dan berubahnya suatu kebudayaan tidak terlepas dari perkembangan material masyarakat. Artinya, kebudayaan bukan suatu yang ajeg dan mandeg tetapi berubah sesuai situasi dan kondisi masyarakat yang menciptakannya. Barangkali itu yang melatarbelakangi ungkapan seperti penulis sebutkan pada bab sebelumnya. Sehingga, menurut Buhisantoso boleh dikatakan bahwa:
kebudayaan-kebudayaan yang ada kini berkembang tidak mempunyai keaslian lagi. Kalaupun ada unsur-unsurnya yang asli, maka “keaslian”nya, yang berasal dari penemuan-penemuan ataupun pengolahan-pengolahan setempat itu, tidak akan melebihi 15% dari keseluruhan unsur-unsur kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Sejarah kebudayaan manusia di dunia ini dipenuhi kontak-kontak antarbangsa yang dilanjutkan dengan tukar-menukar kebudayaan. Selanjutnya, persebaran unsur-unsur kebudayaan dari berbagai kebudayaan itu mengalami proses lebih lanjut, sesuai dengan kebutuhan serta kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk menyerap secara aktif dalam lingkungannya.

Kalau dirujuk akar sejarahnya akan sulit bagi kita untuk berbicara mengenai ke”murni”an suatu kebudayaan bahkan agama. Bisakah kita menyangkal bahwa agama kita—Hindu, Budha, Islam, Kristen dan Katolik—adalah agama “asing” alias agama impor juga dari Arab, Belanda, Portugis dan India? Lalu apakah dengan kenyataan itu kita harus menolak dan melepaskan semua agama itu sekarang juga? Jadi sangat konyol apabila ada ungkapan yang bernada anti budaya “asing” tanpa melihat unsur-unsurnya secara menyeluruh apalagi dengan mengabaikan proses sejarah budaya yang dikatakan lokal atau asli itu sendiri. Dahana dalam Kompas (16/7/06, hlm.52) mengatakan:
Jika Mangkunegara IV mengidentifikasi diri dan ontologi Jawa dari penanggalan dan kedatangan seorang pangeran India, Ajisaka, pada 76 Masehi; bila orang-orang minang memandang nenek-moyangnya pada Bundo Kanduang yang dibangun dan didirikan oleh Adityawarman keturunan Majapahit…Maka sesungguhnya tak ada satu pun etnik, bahkan subetnik yang dapat mengklaim dirinya sebagai satu entitas yang unik, genuine atau asli. Tak satu pun. Yang ternyata bisa kita sadari dan akui: aku atau kita adalah sesutau [sic] yang tersusun dari pecahan-pecahan identitas orang lain; sebuah mosaik yang kemudian kita sebut sebagai tradisi….

1.6. Metode Penulisan
Sehubungan dengan tujuan utama dari penulisan ini adalah untuk mendeskripsikan kesenian Can-Macanan Kadhuk di Kabupaten Jember yang dapat memantapkan identitas bangsa dan membuat rekomendasi konsep pembinaan dan pengembangan seni budaya daerah sebagi upaya memantapkan identitas bangsa, maka penulisan akan menggabungkan metode analisis deskriptif. Menurut Coplin (1992):
… analisis deskriptif tujuannya untuk mendeskripsikan apa yang ada atau apa yang sudah ada. Proses analisis deskriptif meliputi berbagai macam teknik dan gaya. Analisis mungkin saja menggunakan intuisi atau metode-metode yang lebih sistematis untuk membangun ide. Dia bisa membangun suatu deskripsi dengan menyusun sekumpulan deduksi yang saling berkaitan dari satu atau lebih penggalan informasi, atau dia bisa saja mengambil sejumlah informasi kemudian berupaya membuat beberapa generalisasi. Pemaknaan deskriptif sebenarnya bisa menggunakan bentuk verbal murni, yaitu suatu eksplanasi yang didasarkan atas beberapa data statistik, atau kombinasi antara kedua bentuk tadi.

Sedangkan sistematika penulisan, pada Bab I akan menguraikan tentang latar belakang penulisan, Bab II membahas gambaran umum Kabupaten Jember, Bab III Menguraikan ragam kesenian dan budaya daerah Kabupaten Jember, Bab IV mengenai analisis potensi kesenian Can-Macanan Kadhuk di Kabupaten Jember untuk memantapkan identitas bangsa, Bab V berisi kesimpulan dan saran.

1.7. Metode Pengumpulan Data
Adapun metode pengumpulan data yang penulis lakukan adalah dengan menggali sumber-sumber primer dan sekunder. Sumber primer yaitu data yang diperoleh langsung dari si pelaku, dalam hal ini penulis akan menggunakan metode wawancara, sedangkan sumber sekunder yaitu data yang tidak diperoleh langsung dari lapangan melainkan dalam bentuk buku, karya ilmiah atau hasil-hasil peneliti sebelumnya yang diperoleh dari berbagai sumber, antara lain:
1.Perpustakaan Pusat Universitas Jember
2.Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember
3.Koran dan Majalah
4.Internet
5.Perpustakaan pribadi
6.Sumber-sumber lainnya




1.7.1. Metode Analisa Data
Data yang telah terkumpulkan selanjutnya dilakukan klasifikasi, yakni memilah-milah data yang mendukung tema dan maksud penulisan serta layak dan tidak layak untuk dianalisis. Data yang layak dan mendukung selanjutnya dianalisis untuk menghasilkan deskripsi profil seni budaya daerah di Kabupaten Jember.

BAB II
GAMBARAN UMUM KABUPATEN JEMBER


2.1. Profil Potensi Daerah Kabupaten Jember
Secara geografis Kabupaten Jember terletak pada posisi 6027’29” - 7014’35” Bujur Timur dan 7059’6” - 8033’56” Lintang Selatan. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bondowoso dan sedikit Kabupaten Probolinggo, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Banyuwangi, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia dan Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lumajang.
Jember, kabupaten Terbesar ketiga di Jawa Timur ini terletak kurang lebih 190 Km di sebelah timur ibu kota Jawa Timur Surabaya. Dari Surabaya, perjalanan ke kabupaten Jember memakan waktu sekitar empat jam melalui jalan darat dengan transportasi umum Bus dan kereta api.
Kabupaten Jember terbagi dalam 31 kecamatan yang terdiri dari 225 desa dan 22 keluarahan dengan luas wilayah 3.293 km2, yang meliputi pegunungan di sebelah utara dan timur, daerah lembah yang subur di bagian tengah dan selatan serta berbatasan dengan Samudera Indonesia yang kaya akan potensi kelautan maupun perikanan serta daya tarik pariwisata yang eksotik.
Tanahnya yang subur menjadikan kabupaten ini dapat ditanami berbagai tanaman, buah-buahan, sayur-mayur, komoditi perkebunan seperti tembakau, kopi, cokelat, karet dan lain sebagainya. Hal ini juga didukung dengan curah hujan yang relatif cukup, yaitu rata-rata 234,25 mm pertahun, kelembaban 70-90 % dan suhu udara 25˚C-33˚C.
Kabupaten yang berpenduduk 2.239.575 jiwa—yang umumnya adalah imigran—ini memiliki kepadatan penduduk 648 jiwa/km2.
Kabupaten Jember juga dikenal dengan agroindustrinya. Selain komoditi andalan Tembakau, karet, kopi dan kakao, Jember juga dikenal sebagai sentra produksi jeruk siam di Jawa Timur-bahkan terbesar di Jawa Timur. Selain sebagai salah satu lumbung padi di Jawa Timur, Jember juga mengembangkan budidaya tanaman alternatif lainnya seperti kedelai jepang “Edamame” dan ”Mukimame”, Serta Buah Naga atau Dragon Fruit yang memiliki nilai ekspor tinggi.
Komoditas perkebunan Jember lainnya yang telah dikenal di seantero dunia adalah Tembakau. Jenis tanaman yang daunnya digunakan sebagai logo pemerintah Kabupaten Jember ini sangat dikenal di pasar Tembakau dunia di Bremen. Kabupaten Jember dikenal dengan Tembakau Na-Oogst dan Vor Oogst sebagai bahan cerutu dan rokok kretek yang nilai ekspornya mencapai kurang lebih Rp.350 Milyar per tahun.
Komoditas perkebunan yang tidak kalah penting di Kabupaten Jember adalah buah-buahan. Kabupaten Jember terkenal dengan buah durian yang manis, buah rambutan yang renyah dan manis serta buah jeruk siam yang berhasil meraih predikat paling manis dalam kontes jeruk nasional yang diadakan beberapa tahun lalu. Sebagai sentra produksi jeruk terbesar di Jawa Timur, luas lahan yang ditanami komoditas ini sekitar 11.800 Hektare atau 5.894.322 pohon jeruk produktif dengan produksi mencapai 238.377 ton/tahun dengan nilai Rp.288.500,-per kwintal.
Sektor perkebunan lain yang dikenal di Jember yaitu, karet, kopi dan kakao/cokelat yang pengelolaanya dibawah PTPN XII. BUMN ini saat ini juga sedang mencoba untuk mengembangkan tanaman keras seperti Sengon Laut dan Jati Pusaka. Di samping itu, Kabupaten Jember juga dikenal sebagai salah satu sentra tanaman tebu di Jawa Timur yang pengolahannya dilakukan oleh pabrik gula/PG Semboro.

2.1.1. Pariwisata
Kabupaten Jember dikenal memiliki beragam potensi wisata alam, wana wisata, dan wisata pantai yang indah dan eksotik.
Untuk wisata pegunungan, terdapat pesona alam Rembangan dan air terjun Tancak. Kawasan wisata Rembangan yang terletak 10 km arah utara kota Jember dikenal berhawa sejuk karena terletak di lereng pegunungan Argopuro. Obyek wisata yang terdiri dari bangunan hotel dan pemandian ini dibangun oleh Mr. Hofstide pada tahun 1937. Sebagai satu-satunya alam pegunungan yang berlokasi di Desa Kemuninglor Kecamatan Arjasa, Rembangan memang membuat orang yang berkunjung betah berlama-lama. Karena selain berhawa sejuk dan segar rembangan juga cocok dijadikan sebagai area berkemah keluarga dan wisata bersepeda gunung atau kegiatan lain yang bisa menyegarkan badan dan melepaskan stress kerja.
Potensi wisata alam yang lain adalah Wanawisata. Wanawisata ini terletak di hamparan hutan alam di kawawsan Taman Nasional Meru Betiri di kecamatan Ambulu, Tempurejo dan Silo yang dikenal dengan kekayaan alamya berupa berbagai jenis tanaman dan berbagai spesies binatang serta beraneka ragam burung. Masih di kawasan Taman Nasional Meru Betiri juga terdapat obyek wisata pantai yaitu Bande Alit. Obyek wisata ini terletak di kecamatan Tempurejo yang berjarak sekitar 35 Km dari kota Jember.
Bagi anda yang menyukai suasana pantai, Jember juga bisa dijadikan sebagai alternatif untuk berwisata. Pantai-pantai di Jember dikenal memiliki keindahan yang menawan dan saat ini terus dikelola secara professional oleh Pemerintah Kabupaten Jember. Salah satunya adalah Pantai Watu Ulo. Pantai ini sangat terkenal di Jember dan menjadi salah satu tujuan utama turis lokal, nasional, maupun manca negara. Pantai ini dikenal dengan ombaknya yang besar dan panorama alam yang indah. Jaraknya sekitar 33 km ke arah selatan kota Jember, terletak di Desa Sumberejo Kecamatan Ambulu. Yang membuat pantai ini terasa istimewa dan khas adalah panorama alamnya yang memadukan keindahan pantai dengan gugusan karang di tengah laut. Watu Ulo atau batu ular diambil dari nama gugusan batu bersisik yang menjorok ke laut yang mirip seeokor ular di pantai ini.
Obyek wisata pantai yang lain adalah Pantai Bande Alit. Obyek wisata ini berada dalam kawasan Taman Nasional Meru Betiri, tepatnya berada di desa Andongrejo Kecamatan Tempurejo sebagai pintu gerbang dari Jember, kurang lebih berjarak 60 Km Ke arah Barat Daya dari kota Jember.
Dari segi topografi, sebagian Kabupaten Jember di wilayah selatan merupakan dataran rendah yang relatif subur untuk pertanian. Sedangkan di bagian utara merupakan daerah perbukitan dan pegunungan yang relatif baik bagi pengembangan tanaman keras dan tanaman perkebunan.

2.1.2. Pertambangan
Dari topografi alam tersebut, Kabupaten Jember juga memiliki potensi beberapa jenis tambang atau galian seperti; batu piring, batu kapur/gamping, batu kali dan sebagainya. Batu kapur terdapat di kecamatan Puger dan Wuluhan dengan luas areal mencapai 67.408 Ha. Hasil tambang dari daerah ini memberi kontribusi yang cukup besar terhadap pendapatan asli daerah.
Disamping batu kapur, Kabupaten Jember juga memiliki tambang batu piring (lava andesit) seluas kurang lebih 2 Ha yang terdapat di Kecamatan Paku sari dan Kalisat. Sebagai bahan banngunan, batu piring selain untuk memenuhi permintaan pasar lokal juga banyak diekspor ke Jepang, karena konstruksi dan arsitektur bangunan negeri sakura itu banyak menggunakan batu piring sebagai ornamen bangunan tempat tinggal.

2.1.3. Perkebunan
Kabupaten Jember terkenal sebagai penghasil salah satu Tembakau terbaik di dunia. Namun sebetulnya, selain tembakau masih banyak komoditi perkebunan andalan yang terdapat di Jember seperti karet, kopi, teh dan kakao.
Berikut beberapa produk perkebunan Kabupaten Jember:
1. Tembakau
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah Kabupaten Jember untuk mengatasi permasalah pertembakauan di Jember. Meskipun permasalah itu tergolong klasik, dimana harga jualnya di pasaran sangat bergantung pada pihak pabrikan (pabrik rokok). Maka agar para petani khusunya petani tembakau Jember tidak selalu berada di pihak yang dirugikan, berbagai upaya dan terobosan terus ditingkatkan dari tahun ke tahun. Salah satunya adalah Pemerintah Kabupaten Jember berusaha menjembatani dua kepentingan antara petani dengan pengusaha melalui pola kemitraan.
Tembakau merupakan salah satu mata dagangan yang bersifat fancy product yang dikonsumsi untuk dinikmati, sehingga mengutamakan kualitas. Konsumen luar negeri menginginkan agar produk tembakau sering berubah sesuai selera. Untuk saat ini tembakau yang disukai konsumen luar negeri adalah tembakau dengan warna cerah, ukuran yang panjang dan rasa yang ringan.
Melalui potensi tanaman tembakau ini, Kabupaten Jember telah lama terkenal dan melegenda sebagai “kota tembakau” sebagai salah satu daerah produsen dan penghasil tembakau terbesar dengan produk yag berkualitas. Tidak hanya di pasar nasional, bahkan telah lama Kota Jember dikenal di beberapa negara Eropa seperti Bremen. Jerman.
Produk tembakau Jember diantaranya adalah tembakau jenis Na Oogst (NO) dan tembakau kasturi / Tembakau naungan (TBN/FIN). Dan pada musim tanam 2003 telah diuji coba tembakau jenis white burley pada lahan seluas 374 hektare bekerja sama dengan PT. Phillip Moros Indonesia. Sedang Tembakau jenis Na Oogst dan Kasturi pada musim tanam 2003 luas tanamnya masing-masing sekitar 11.958 hektare dan 6.414 hektare, dengan kapasitas produksi masing-masing mencapai 14.269 ton/tahun (1,19 ton/hektare) dan 4.673 ton/tahun (0,73 ton/hektare).
Untuk pengusahaan dan pengelolaan perkebunan tembakau di Jember, dari luas area tanam sekitar 18.327 hektare, 16.575 hektare (90%) diantaranya dikelola oleh perkebunan rakyat, sedang sisanya yaitu 942 hektare dikelola BUMN / PTPN X dan 855 hektare dikelola oleh perkebunan swasta.
Guna melindungi kepentingan para petani tembakau Jember dan untuk meningkatkan pangsa pasar tembakau ke beberapa pasar mancanegara, Bupati Jember telah menjajaki kerjasama dengan perwakilan pemasaran tembakau di beberapa negara Eropa seperti Belanda. Agar produk tembakau tidak hanya memenuhi pasar Bremen, Jerman tetapi juga dapat memenuhi pasar negara-negara Eropa lainnya. Pada tahun 2002, volume ekspor produk tembakau asal Jember mencapai 17.932 ton / tahun dengan nilai ekspor sebesar US$ 43,7 juta.
Bahkan pekan lalu, untuk mengatasi masalah tembakau secara serius, Bupati Jember mengajak beberapa daerah penghasil tembakau di Jawa Timur untuk bekerjasama dan bersama-sama menerapkan pola manajemen pengawasan (permintaan dan penawaran) tembakau dan juga pola kemitraan antara pengusaha dan petani tembakau, seperti PT. Phillip Moris Indonesia dimana resiko produk dan pasarnya dijamin oleh petani dan perusahaan.
Peluang pasar tembakau baik jenis NA Oogst, Kasturi dan White berkualitas baik masih terbuka peluang dan prospektif. Terbukti dari tahun ke tahun jumlah permintaan dari buyer dan konsumen luar negeri yang diwujudkan dalam LoI (Letter of Intent) terus mengalami peningkatan.
2. Industri Bobbin
Satu-satunya BUMN yang mengelola tembakau di Jember adalah PT. Perkebunan Nusantara X (PTPNX) yang berlokasi di Kecamatan Arjasa. Dalam upaya mengantisipasi persaingan pasar utamanya di Luar negeri, selain memasarkan produk tembakau secara langsung, PTPN X juga mengembangkan melalui unit Industri BOBIN dan Koperasi Karyawan Kartanegara.
Produk tembakau yang dipasarkan secara langsung selain di pasar lokal juga ekspor diantaranya jenis Na Oogst dan Kasutri (TBN / FIN). Jenis tembakau musim tanam 2003 yang telah dipasok ke pasar ekspor untuk jenis Na Oogst mencapai 7.505 bal/carton (705.310) dan 14.912 bal/carton (1.134.951) kg ke berbagai negara-negara Eropa seperti Swiss, Denmark, Belanda, Belgia, Jerman, Prancis, dan Amerika Serikat (USA).
Industri Bobbin membawa manfaat yang sangat besar, diantaranya menyerap tenaga kerja / membuka lapangan kerja baru, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatnya jumlah uang yang beredar dan sebagai salah satu contoh keberhasilan kerjasama dengan pihak asing. Pada tahun 2003, industri Bobbin PTPN X telah memproduksi sebanyak 700 juta potong (bungkus) dengan tenaga kerja sebanyak 931 orang yang mayoritas adalah wanita.
Koperasi karyawan kartanegara (kopkar Kartanegara) PTPN X juga turut memproduksi sekaligus memasarkan produk tembakau baik jenis Na Oogst dan TBN / FIN yang dikemas menjadi cerutu yang berkualitas dan sesuai standart / keinginan konsumen. Pembuatan cerutu kopkar Kartanegara dilakukan secara manual atau “hand made”.
Produk cerutunya sangat beragam baik dari segi ukuran maupun merk. Diantaranya adalah cerutu dengan tembakau isi terpotong atau “Soft filter” (Argopuro, Bali), cerutu dengan tembakau utuh atau “Long Filter” (MD, LA) dan cerutu kecil atau “Small Cigar” (Al Capone, Maco/Mcho Filter, Mcho Jepang). Untuk tahun 2003, hasil penjualan cerutu oleh kopkar kartanegara PTPN X telah mencapai sekitar 2.721.040 batang. Dan sekitar 2.337.600 batang untuk jenis Small Cigar merk macho Jepang dikonsumsi/dipasok ke Jepang dan sisanya sekitar 383.440 batang untuk konsumsi dalam negeri.
3. Kopi dan Kakao
Tanaman kopi dan kakao (cokelat) juga potensial ditanam di areal di Kabuaten Jember. Karena potensi tersebut, pengelolaannya tidak hanya dikelola oleh rakyat tetapi juga dikelola oleh pihak BUMN (PT. Perkebunan Nusantara XII), perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) dan swasta. Total area perkebunan kopi di Jember 16.882 hektar dengan penguasaan kopi rakyat seluas 4.911 hektare yang tersebar di 27 kecamatan dengan luas areal terluas berada di kecamatan Silo. Selanjutnya sebanyak 14 kebun dengan luas areal 6.009 hektar dikelola oleh PT. Perkebunan Nusantara XII (PTPN XII), 7 kebun seluas 2.267 hektar dikelola oleh Perusahaan DAERAH Perkebunan (PDP) dan 10 kebun dikelola swasta dengan luas areal 3.695 hektar dikelola oleh pihak swasta.
Produktifitas tanaman kopi dalam setiap hektarnya untuk kopi rakyat mencapai 6,40 ton, perusahaan melalui PTPN XII mencapai 4,09 ton, pengusahaan kopi melalui PDP mencapai 5,99 ton dan pengusaaan oleh swasta mencapai 5,24 ton. Sehingga, nilai dan volume ekspor tanaman kopi Jember pada tahun 2002 mencapai 2.419 ton dengan nilai sebesar US$ 2,3 juta.
Sementara itu untuk komoditi tanaman perkebunan Kakao di Jember dari total luar areal 4.641 hektar semua diusahakan oleh perusahaan perkebunan seperti PTPN XII mengelola 4 kebun dengan luas 3.914 hektar, 3 kebun seluas 216 hektar dikelola oleh PDP dan sebanyak 5 kebun dikelola oleh pihak swasta dengan luas areal 511 hektar.
Dalam setiap hektar, produktifitas tanaman perkebunan kakao yang dikelola oleh PTPN XII mencapai 3,27 ton. Sedangkan yang dikelola oleh PDP dan swasta masing-masing mencapai 4,93 ton dan 7,67 ton. Pada tahun 2002 untuk tanaman kakao Jember volume ekspornya mencapai 1.433 ton atau senilai US$ 2,16. Selain kopi dan kakao juga komoditi lain yang banyak ditanam antara lain : tebu, cengkeh, panili, lada, kelapa dan tanaman perkebunan lain.
Berikut data tentang potensi Kabupaten Jember yang dikeluarkan Oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Jember:
Luas Wilayah:
Hutan
:
121.039,61 ha
Perkampungan
:
31.877 ha
Sawah
:
86.568,18 ha
Tegal
:
43.522,84 ha
Perkebunan
:
34.590,46 ha
Tambak
:
368,66 ha
Rawa
:
35,62 ha
Semak/padang rumput
:
289,06 ha
Tanah rusak/tandus
:
1.469,26 ha
Lain-lain
:
9.583,26 ha
Sumber: http://pemkabjember.go.id/v2/selayangpandang/kondisi_umum.php

2.1.4. Sosial Politik dan Pemerintahan
Dalam mewujudkan pembangunan di era otonomi daerah, khususnya sejak diimplementasikan UU Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, Pemerintah Kabupaten Jember di bawah kepemimpinan MZA. DJALAL sebagai Bupati dan KUSEN ANDALAS sebagai Wakil Bupati mengusung slogan “Membangun Desa Menata Kota Untuk Kemakmuran Bersama” serta memiliki visi yaitu “Terciptanya pelayanan aparatur pemerintahan yang kreatif, bersih, dan berwibawa untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, religius, dan bermartabat.
Untuk mewujukan visi ini, Pemerintah Kabupaten Jember merumuskan 5 (lima) misi yang akan diemban dalam mewujudkan visi secara operasional yaitu:
1.Menyelenggarakan pemerintahan yang kreatif dan berkualitas
2.Memberdayakan pendidikan formal dan informal
3.mengembangkan potensi daerah secara optimal
4.menekan angka kemiskinan dan pengangguran
5.memperkuat sarana dan prasarana pembangunan.

Dalam konteks sosio-politik Jember sering dianggap sebagai wilayah yang rawan konflik. Beberapa peristiwa yang menjadikan pembenar justifikasi tersebut antara lain: (a) Peristiwa Jenggawah, konflik antara petani dan pihak PTPN X di Jember, (B) Kasus perebutan tanah antara penduduk dan militer di Sukorejo Jember, dan beberapa kasus konflik agrarian lainnya yang melibatkan militer, pemerintah dengan petani dan buruh tani.
Komposisi masyarakat Jember terdiri-dari perpaduan berbagai macam etnis seperti Madura dan Jawa yang dominan, Osing, Tionghoa dan kelompok suku lainnya. Hal ini menyebabkan ragam kesenian dan budaya daerah yang muncul juga merupakan perpaduan berbagai macam cirri budaya yang berbeda-beda tersebut. Menurut Rahardjo (2007) dalam hal kebudayaan, masyarakat di wilayah Jember dan juga Bondowoso, Situbondo, Lumajang, dan Probolinggo mempunyai keunikan dan karakteristik yang menjadikan wilayah ini dinamakan Pendhalungan. Selanjutnya ia mengatakan:
Pola interaksi dan adaptasi antarbudaya sebagai konsekuensi proses komunikasi antaretnis, tidak bisa dipungkiri, telah melahirkan sebuah varian budaya baru bernuansa hibrid yang kemudian disebut Pendhalungan. Memang sebagai dua etnis mayoritas, Pendhalungan kemudian lebih bernuansa perpaduan Jawa dan Madura. Tetapi kalau mau bicara dalam konteks yang luas, maka bisa dimunculkan tesis baru. Pendhalungan merupakan proses interaksi dan komunikasi di antara beragam etnis yang berakar dari peran sosial dan atraksi kultural masing-masing yang kemudian menghasilkan budaya hibrid. Hibridasi dalam konteks ini tidak hanya membicarakan proses perpaduan antara bermacam budaya yang menghasilkan budaya baru. Hibridasi yang terjadi di wilayah Pendhalungan merupakan hibridasi struktural dabn hibridasi kultural.

Akibatnya, muncul bahasa Jawa yang berdialek Madura, di daerah Ambulu terdapat bahasa Jawa bercampur dialek Arab karena di daera tersebut ada perkampungan Arab.

BAB III
KABUPATEN JEMBER DAN RAGAM KESENIAN TRADISIONAL

3.1. Keberadaan Kesenian Tradisional di Kabupaten Jember

Kabupaten Jember masih relatif “muda” di Jawa Timur. Meskipun masih ada perbedaan pendapat di antara para ahli mengenai hari jadi Jember yang sebenarnya. Sementara ini untuk menentukan hari jadi, Kabupaten Jember berpedoman pada sejarah pemerintahan kolonial Belanda, yaitu berdasarkan pada Staatsblad nomor 322 tanggal 9 Agustus 1928 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1929 sebagai dasar hukumnya. Dalam Staatsblad 322 tersebut, dijelaskan bahwa Pemerintah Hindia Belanda telah mengeluarkan ketentuan tentang penataan kembali pemerintahan desentralisasi di Wilayah Propinsi Jawa Timur, antara lain dengan REGENSCHAP DJEMBER sebagai masyarakat kesatuan hukum yang berdiri sendiri.
Adapun kesenian daerah Jember yang masih hidup dan berkembang hingga kini adalah sebagai berikut:
Reyog
Musik Patrol
Gambus
Hadrah
Orkes Melayu
Karawitan
Can-macanan Kadhuk
Ta-Butaan
Jidor

3.2. Deskripsi Kesenian Daerah Jember
Di bawah ini akan dideskripsikan grup kesenian tradisional yang ada di Jember. Secara sengaja hanya satu jenis kesenian yang dijadikan bahan untuk proses pendeskripsian ini yaitu Can-Macanan Kadhuk. Hal ini disebabkan karena penulis menganggap kesenian ini memiliki ciri khas yang berbeda dengan kesenian lain yang ada di Kabupaten Jember dan di luar Jember. Berbeda dengan jenis kesenian lain, misalnya Reyog yang sudah sangat terkenal dan identik dengan Kota Ponorogo dan juga kesenian lain seperti Hadrah, Gambus, dan Karawitan yang sudah tidak asing bagi masyarakat Jawa. Setidaknya ada beberapa pertanyaan dasar dalam proses pendeskripsian ini:
Makna filosofis kesenian,
Proses pementasan,
Peralatan yang dipakai saat pementasan,
Keanggotaan dari awal hingga saat ini,
Pengembangan proses kreatifitas,
Sistem keorganisasian kesenian tradisional,
Intensitas melakukan pementasan,
Sistem reorganisasi dan
Modifikasi dengan kesenian lain.

3.2.1. Kesenian Can-Macanan Kaduk
Menurut Rahardjo dan Sumar, Can-macanan kaduk merupakan kesenian yang diduga berasal dari tradisi pekerja kebun ketika mereka harus menjaga kebun dari serangan hewan liar ataupun pencuri. Kesenian ini kalau dilihat dari estetika pertunjukannya bisa dikatakan memadukan konsep kesenian Barongsai Tionghoa dan Barongan Osing serta instrumen musik Jawa. Meskipun berbeda latar historis penciptaan, Singo Ulung bisa dikatakan hampir mirip dengan Can-Macanan Kaduk, meskipun saat ini tampilan kostum dan gerakan-gerakan tarinya lebih terlihat bagus karena sudah mendapatkan sentuhan dari koreografer profesional. Sedangkan menurut Harry Krisna, Can-Macanan Kaduk merupakan variasi/tambahan dari pencak silat yang lebih menonjolkan sisi hiburannya. Dalam perkembangannya musik yang digunakan lebih rancak mengikuti selera penonton.
Di Kabupaten Jember terdapat banyak grup kesenian Can-Macanan Kadhuk. Salah satunya yang terkenal dan sering mewakili Kabupaten Jember dalam acara-acara kesenian di luar kota dan juga sering tampil untuk menyambut tamu-tamu kehormatan adalah grup Bintang Timur yang dipimpin oleh Sumar. Sumar mewarisi kesenian tersebut dari orangtuanya. Grup ini didirikan tahun 1974 dan berada di daerah Tegal Boto berdekatan dengan Kampus Universitas Jember.
Proses pementasan kesenian Can-Macanan Kaduk ini biasanya dimulai dengan burung Garuda, Can-Macanan, atraksi anak-anak, pertunjukan bela diri tangan kosong lalu penampilan atraksi berpasangan yang diakhiri dengan pertunjukan marlena. Namun, urutan-urutan ini bisa saja berubah tergantung permintaan yang “nanggap” kata pak Sumar.
Waktu pementasan biasanya malam hari dimulai sekitar pukul 21.00 WIB sampai dengan pukul 02.00 WIB.
Intensitas pementasan yang dilaksankan grup ini tergolong tinggi, meskipun tergantung pada hajatan masyarakat seperti pernikahan, khitanan atau syukuran. Dalam waktu setahun jumlah pementasan biasanya mencapai tigapuluhan lebih. Bahkan kadang harus ditolak karena tidak sanggup memnuhi banyaknya permintaan. Bulan-bulan besar biasanya menjadi puncak kesibukan grup ini. Di luar itu, menurut Pembina grup ini Drs. Harry Kresna Setiawan, untuk meningkatkan kualitas penampilan dan senantiasa melestarikan keberadaan kesenian ini, setiap dua minggu sekali diadakan latihan dengan sistem arisan. Arisan ini melibatkan beberapa grup dari berbagai tempat di Jember. Setiap grup yang mendapatkan giliran, maka pertunjukan akan diadakan di daerahnya. Daerah yang sering menjadi tempat pentas grup ini adalah daerah Kencong, Wuluhan, dan pernah juga ke luar daerah di antaranya Surabaya dan Jakarta.
Proses pengembangan kratifitas grup ini dengan cara belajar sendiri. Mereka belajar dari orang-orang yang sudah lebih dahulu berkecimpung dalam kesenian Can-Macanan Kadhuk.
Latar belakang anggota grup kesenian ini beragam mulai dari tukang becak, anak SD, SMP, SMA dan juga Mahasiswa. Jumlah personil sekali pementasan biasanya empatpuluh lima sampai dengan limapuluh orang tergantung permintaan.
Menurut Harry Kresna yang juga seorang dosen di Fakultas Sastra Universitas Jember itu, nama Can-Macanan Kadhuk itu artinya adalah Macan yang terbuat dari karung goni, karena pada awalnya dulu, macan-macanan ini memang dibuat dari karung goni.
Belakangan ini, masyarakat Jember yang berada di daerah kota umumnya tidak terlalu antusias menyambut pementasan Can-Macanan Kadhuk ini. Umumnya mereka lebih menyukai kesenian modern setiap kali melaksanakan hajatan, misalnya karaoke, dan dangdut. Hal ini berbeda dengan masyarakat desa yang sangat antusias menyambut setiap pementasan. Oleh sebab itu, pementasan lebih sering dilakukan di luar kota.
Keberadaan organisasi grup ini bersifat informal, karena dimiliki secara personal. sang pendiri grup adalah sekaligus pemilik dan pemimpin kelompok kesenian tersebut. Tidak ada struktur organisasi yang jelas. Manajemen organisasi juga personal, hampir semua urusan diurusi oleh pemilik tersebut. Sementara itu Pemerintah Daerah tidak pernah memberikan perhatian serius terhadap grup kesenian ini. Meskipun, beberapa kali Pembina grup ini mengajukan proposal kepa Pemerintah untuk mengadakan festival Can-Macanan Kadhuk se-Kabupaten Jember, mirip dengan grebek Suro di Kabupaten Ponorogo.
Proses pelestarian grup kesenian Can-Macanan Kadhuk menyangkut biaya juga bersifat pribadi. Sementara itu, usaha pelestarian lain seperti yang sudah disebutkan di atas adalah dengan sistem arisan yang juga bertujuan menarik minat generasi muda untuk mempelajari kesenian ini.
Pendokumentasian grup ini baru dilakukan sebatas dokumentasi pribadi penanggap dan pemilik grup. Dalam dokumentasi resmi ataupun komersial belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, keberadaan grup ini juga sering timbul tenggelam. Pada tahun 1974 muncul, tahun 1985 sempat tenggelam dan baru pada tahun 1997 mulai muncul kembali, kata Harry Kresna.




BAB IV
ANALISIS POTENSI


Penulis melakukan analisis berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh Tim Peneliti Lembaga Penelitian (LEMLIT) Universitas Jember (2006) yaitu:
potensi ekstrinsik yaitu sebuah nilai yang berkaitan dengan analisis akademik mengenai kesenian yang menjadi objek penelitian ini, yang dapat dimanfaatkan dalam berbagai kepentingan dalam arti lebih luas. Untuk analisis ekstrinsik ini, setidaknya terdapt 4 variabel nilai yang terkandung di dalamnya. Kedua, anlisis nilai intrinsik, sebuah nilai yang terkandung dalam suatu kesenian tradisional sebagai subjeknya. Setidaknya terdapat tiga variable nilai yang terkandung di dalam nilai intrinsik. Kedua aspek analisis potensi tersebut sangat penting untuk dilakukan dan masing-masing tidak terpisahkan.

4.1. Analisis Nilai Ekstrinsik
Sebagaimana disebutkan di atas, nilai ekstrinsik dalam konteks ini berkaitan dengan analisis akademik mengenai potensi kesenian yang menjadi objek. Terdapat 4 variabel nilai yang terkandung di dalam analisis nilai ekstrinsikini, yaitu:
Aspek Kebudayaan: membahas tentang peran penting kesenian Can-Macanan Kadhuk di Kabupaten Jember dalam kaitannya dengan upaya pelestarian dan pengembangan tradisi lokal sebagai landasan terwujudnya identitas budaya lokal dan memantapkan budaya identitas bangsa.
Aspek sosial ekonomi: membahas tentang peran penting kesenian Can-Macanan Kadhuk yang ada di Kabupaten Jember bagi aspek-aspek sosial ekonomi masyarakat berupa nilai komersial suatu kesenian bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat baik yang terlibat langsung dalam kegiatan kesenian tradisional maupun masyarakat di sekitarnya.
Aspek pendidikan: membahas tentang peran pentingnya kesenian Can-Macanan Kadhuk sebagai sarana pendidikan, misalnya sebagai sarana penanaman nilai-nilai etika dan moral.
Aspek ilmu pengetahuan: membahas tentang peran pentingnya kesenian Can-Macanan Kadhuk bagi pengembangan ilmu pengetahuan, misalnya untuk kepentingan studi ilmu seni musik, seni suara, tetater, dan lain-lain.

4.1.1. Can-Macanan Kadhuk
4.1.1.1. Aspek Kebudayaan
Can-Macanan Kadhuk merupakan salah satu kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang di Kabupaten Jember sampai sekarang. Menurut kesejarahannya, kesenian Can-Macanan Kaduk merupakan bagian dari kesenian bela diri Pencak Silat. Seperti yang sudah disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa Can-Macanan kadhuk lahir dari rahim budaya Pendhalungan yang multikultur. Jadi, kesenian ini juga merupakan hasil persilangan dari berbagai latar belakang budaya yang berbeda-beda. Kalau kita perhatikan dalam keseninan Can-Macanan Kadhuk ada unsur dari budaya Tionghoa, Jawa, Osing, dan Madura yaitu Barongsai, silat, dan alat musik tabuh seperti ketempong, gendang dan seruling. Hal ini merupakan keunikan tersendiri dari kesenian ini yang tidak ditemui di daerah lain.
4.1.1.2. Aspek Sosial- Ekonomi
Grup kesenian Bintang Timur termasuk sering menerima pesanan pementasan. Dalam sekali pertunjukan penuh dengan menyertakan seluruh anggota dan jenis variasi hiburan yang dimilikinya, tarif mereka bisa menjapai Rp. 2 juta. Namun, jika dalam pertunjukan yang diminta hanya Can-Macanan saja biaya yang mereka minta cukup Rp. 500 ribu dengan catatan konsumsi dan transportasi ditanggung oleh pihak penyelenggara. Bisa dikatakan dalam bulan-bulan besar yang menjadi puncak tertinggi dari intensitas pementasannya hasilnya cukup membantu secata ekonomis.
4.1.1.3. Aspek Pendidikan
Kesenian Can-Macanan Kadhuk ini juga mengandung nilai pendidikan seperti jenis kesenian tradisional lainnya. Kesenian ini dapat menjadi cermin kekayaan budaya bangsa yang berbeda di Kabupaten Jember. Selain itu, karena anggotanya juga mengikutsertakan anak-anak kecil setingkat SD, mereka dapat belajar lebih disiplin yang dimulai pada saat latihan.
4.1.1.4. Aspek Ilmu Pengetahuan
Untuk kepentingan Ilmu pengetahuan, kesenian Can-Macanan Kadhuk dapat dijadikan sebagai ajang pembelajaran dan pengenalan alat-alat musik tradisional seperti ketepong, gendang dan seruling. Sehingga, generasi muda tidak serta-merta larut dalam euforia kebudayaan modern dan menjadi asing seni dan budaya daerahnya sendiri.

4.2. Analisis Nilai Intrinsik
Ada tiga aspek yang dinilai berkaitan dengan nilai intrinsik yakni:
1. Aspek Performance Art: membahas bagaimana secara detail dan mendalam suatu kesenian tradisional tampil di depan publik. Hal ini berkaitan dengan unsur-unsur apa yang ditonjolkan, baik gerak tarinya, lantunan syair dan lagunya serta iringan musiknya dan tentu saja tingkat kesatupaduan semua unsur-unsur tadi dalam setiap pementasan.
2. Aspek Kekhususan: membahas keunikan kesenian daerah tertentu yang membedakannya dengan kesenian di daerah lain.
3. Aspek Respon Masyarakat: membahas tanggapan masyarakat atas keberadaaan kesenian tersebut. Hal ini penting demi kelangsungan kesenian tersebut. Melalui tanggapan masyarakat kita bisa mengetahui unsur mana yang kurang atau perlu ditambahi dari kesenian tersebut, hal ini perlu dipertimbangkan agar suatu kesian tidak semakin ditinggalkan oleh masyarakat.

4.2.1. Can-Macanan Kadhuk
4.2.1.1. Aspek Performance Art
Kesenian Can-Macanan Kadhuk seperti yang disebutkan dalam analisis kebudayaan merupakan hasil persilangan dari berbagai budaya yang berbeda-beda. Meskipun berasal dari pengembangan pencak silat, kesenian ini lebih menonjolkan unsur hiburannya. Kalau dari segi penampilan, kesenian ini terasa lebih kaya dibandingkan dengan pertunjukan barongsai, sebab ia menggabungkan antara kemampuan bela diri, dengan tarian yang diiringi alat musik yang sudah tidak asing bagi masyarakat sekitar. Titik yang sangat berpengaruh terhadap daya tarik kesenian ini adalah kemampuan pemainnya dalam menampilkan atraksi yang beragam seperti.: salto, Can-Macanan dalam adegan menelan seorang anak kecil dan variasi lagu yang dimainkan. Umumnya penonton lebih menyukai musik dengan irama rancak.
Salah satu kelemahan kesenian Can-Macanan Kadhuk ini adalah tidak adanya pakem yang menjadi batasan atau koridor variasi gerakan seperti halnya kesenian Reyog. Akibatnya, kita sulit menilai grup manakah yang lebih bagus dibandingkan dengan yang lain kecuali penilaian terhadap hal-hal fisik seperti keindahan Can-Macana atau keselarasan musik
4.2.1.2. Aspek Kekhususan
Karena lahir dari budaya Pendhalungan, Can-Macanan Kadhuk memiliki kekhususan yang tidak ditemukan di daerah lain. Persilangan berbagai seni dan budaya yang berbeda kemudian menghasilkan jenis kesenian baru yang berbeda yang memperlihatkan keselarasan berbagai macam unsur di dalmnya. Ia juga mewakili nilai filosofis masyarakat setempat yaitu kewaspadaan terhadap datangnya bahaya seperti pencuri atau bencana alam.
4.2.1.3. Aspek Respon Masyarakat
Dari pengamatan yang dilakukan penulis, minat masyarakat terhadap kesenian ini tergolong tinggi terutama para orangtua dan anak-anak. Sedangkan para remaja dan pemuda kurang antusias. Menurut Sumar, sang ketua grup, hal ini disebabkan oleh booming musik dangdut beberapa tahun belakangan ini. Tapi untuk di desa-desa peminatnya masih sangat banyak, katanya menambahkan.


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat penulis ambil dari analisis tentang kesenian Can-Macanan Kadhuk, sekaligus saran yang diberikan adalah sebagai berikut.
Kesenian Can-Macanan Kadhuk merupakan kesenian yang diduga berasal dari tradisi pekerja kebun ketika mereka harus menjaga kebun dari serangan hewan liar ataupun pencuri. Kesenian ini kalau dilihat dari estetika pertunjukannya bisa dikatakan memadukan konsep kesenian Barongsai Tionghoa dan Barongan Osing serta instrumen musik Jawa. Meskipun berbeda latar historis penciptaan, Singo Ulung bisa dikatakan hampir mirip dengan Can-Macanan Kaduk, meskipun saat ini tampilan kostum dan gerakan-gerakan tarinya lebih terlihat bagus karena sudah mendapatkan sentuhan dari koreografer profesional. Sedangkan menurut Harry Krisna, Can-Macanan Kadhuk merupakan variasi/tambahan dari pencak silat yang lebih menonjolkan sisi hiburannya. Dalam perkembangannya musik yang digunakan lebih rancak mengikuti selera penonton.
Kesenian tradisional ini masih dikelola secara informal dimana pemilik juga sekaligus meupakan ketua grup. Organisasi ini tidak memiliki sistem reorganisasi yang baik seperti halnya grup yang dikelola secara formal. Sistem pergantian ketua bersifat turun-temurun. Oleh karena itu, beban berat pelestarian dan biaya pemeliharaan alat-alat kesenian ini berada di pundak pemilik. Hal ini berakibat juga terhadap kelanjutan kesenian ini di masa yang akan datang. Seandainya sang pemilik meninggal dan tidak ada keturunan yang bisa mewarisi kesenian tersebut maka dapat dipastikan bahwa grup ini akan vakum.
Kesenian Can-Macanan kadhuk, pada umumnya masih mendapat respon yang positif dari masyarakat. Kesenian ini juga memiliki nilai kebudayaan yang khas Pendhalungan, nilai pendidikan dan ilmu pengetahuan. Dari analisis potensi intrinsik, Can-Macanan Kadhuk memiliki nilai Performance Art yang menarik meskipun masih perlu pembenahan di beberapa bagian yang selanjutnya akan penulis sampaikan dalam saran.
Sampai saat ini belum ada campur tangan atau upaya Pemerintah Daerah untuk mengembangkan dan melestarikan keberadaan kesenian Can-Macanan Kadhuk ini.
5.2. Saran
Setelah menganalisis dan melakukan pengamatan langsung serta interview dengan pelaku kesenian Can-Macanan Kadhuk, penulis menyampaikan saran sebagai berikut.
1. Pemerintah Daerah Kabupaten Jember turut campur dalam proses pengembangan dan pelestarian kesenian Can-Macanan Kadhuk ini, misalnya dengan mengadakan festival Can-Macanan Kadhuk se-Kabupaten Jember sekali dalam setahun, memberikan pembinaan tentang tata cara mengelola organisasi yang baik, memperkuat citra Can-Macanan Kadhuk sebagai kesenian khas rakyat Jember dengan mementaskannya dalam menyambut tamu-tamu kehormatan atau wisatawan asing dan domestik atau membuat souvenir yang bertema Can-macanan Kadhuk,
2. Grup kesenian Can-Macanan Kadhuk melakukan inovasi dan menampilkan kreatifitas baru yang dapat menarik minat masyarakat untuk mengundang dan menonton pementasannya. Gerak-gerak harus atraktif dan tidak monoton. Musik juga menyesuaikan dengan selera penonton. Pada titik inilah sebuah pakem juga sangat perlu untuk dibuat agar pengembangan-pengembangan yang dilakukan tidak meninggalkan pakem “aslinya”. Sehingga dengan demikian, kreatifitas yang ditampilkan tersebut tidak terseret jauh dan menjadi berbeda sama sekali mengikuti selera konsumen dan arus uang. Hal lain yang tidak kalah penting adalah menambah unsur keindahan pada unsur utama yaitu Can-Macanan. Hendaknya Can-Macanan ini dibuat dengan warna yang lebih terang dan menjaga kebersihan “bulu”nya. Sebab, terlalu sering dipakai menyebabkan bulu tersebut kotor dan tidak enak dipandang. Tata panggung juga di setting sedemikian rupa agar lebih menarik. Seragam para pemain hendaknya disesuaikan dengan warna keseluruhan unsur perlengkapan yang dipakai. Demikian juga dengan gerak silat dan tari dibuat lebih spesifik. Lagi-lagi pakem sangat diperlukan disini.

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal

Budhisantoso, S. 1980. “Pariwisata dan Pengaruhnya Terhadap Nilai-nilai Budaya”, dalam Jurnal Analisis Kebudayaan, Tahun II, No.1, hlm 13.

. 1981/1982. “Kesenian dan Nilai-Nilai Budaya”, dalam Jurnal Analisis Kebudayaan, Tahun II, No. 2, hlm. 24-25.

Coplin, William D dan Mersedes Marbun. 1992. Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis. Bandung: Sinar Baru.

Friedman, Thomas L. 2006. The World Is Flat. Jakarta: Dian Rakyat.

Kayam, Umar. 1981/1982. “Kreativitas dalam Seni dan Masyarakat Suatu Dimensi dalam Proses Pembentukan Nilai Budaya dalam Masyarakat”, dalam Jurnal Analisis Kebudayaan, Tahun II, No. 2.

Kleden, Ignas. 2001. Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia. Jakarta: Kompas

Lubis, Akhyar Yusuf. 2004. “Memahami “Cultural Studies” dan Multikulturalisme dari Perspektif Pascamodern”, dalam Jurnal Wacana, Vol.6 No.2, Oktober 2004, hlm.104

Mohamad, Goenawan. 2005. Setelah Revolusi Tak Ada Lagi. Jakarta: Alvabet

Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Bandung: Jalasutra.

Sedyawati, Edi. 2006. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: Rajawali Pers.

Tim Lembaga Penelitian Universitas Jember. 2006. Studi Pengembangan Seni Budaya Daerah Di Kabupaten Mojokerto. Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember

Internet
http://www.bksnt-jogja.com/bksnt/download/PENDHALUNGAN.pdf
http://pemkabjember.go.id/v2/selayangpandang/riwayat_singkat.php

Koran
Kompas, Jumat, 16 Juni 2006

Wawancara
Wawancara dengan Pak Sumar, Jumat, 30 Maret 2007 Pukul 15.15. WIB
Wawancara dengan Pak Drs.Harry Kresna Setiawan, MM, Jumat, 30 Maret 2007 Pukul 19.00 WIB

Baca Selengkapnya..