Monday, August 25, 2008

Perempuan, Vagina dan Menstruasi

My vagina is a shell, a round pink tender shell,
opening and closing, closing and opening.
My vagina is a flower, an eccentric tulip, the center acute and deep,
the scent delicate, the petals gentle but sturdy.
-The Vagina Monologues-

Di tiap penghujung bulan, kali ini bulan Agustus, seperti biasanya, aku merasakan siklus itu lagi, menstruasi. Yaah...dan seperti biasanya juga, rasa sakit ini menderaku, menyiksaku, dan membuatku tak punya pilihan lain selain menikmatinya.

Siang itu aku sedang ber-SMS dengan seorang kawan. Aku mengatakan bahwa aku sedang nyeri haid dan menceritakan padanya segala apa yang aku rasakan kala itu. Memang tak semua perempuan merasakan nyeri ketika sedang datang bulan. Dan mungkin aku tergolong yang lumayan parah sakitnya...

Kawanku itu bersimpati padaku dengan mengatakan, ”Kasihan kamu..Mending kamu istirahat aj sekarang.” Aku tersenyum melihat kata-kata itu terpampang di HP-ku. Lalu, dengan lincah tanganku menulis, ”Meski sakit, ya aku coba nikmati aja..justru si saat seperti ini aku merasa bangga menjadi seorang perempuan.” lalu sending message.

Menstruasi adalah sebuah siklus yang dialami perempuan paling tidak sebulan sekali. Memang, dalam beberapa kasus ada yang terlambat dan berubah-ubah periodenya.
Mengapa aku merasa bangga dan serasa ’lengkap’ ketika sedang meringkuk kesakitan akibat nyeri haid seperti itu?

Seorang kawanku mengatakan perempuan adalah kalender alam. Artinya, dalam waktu pertama menstruasi ke masa berikutnya itu adalah periode tertentu yang hanya tubuh perempuan dapat mengerti dan lakukan. Jadi, berbanggalah menjadi seorang perempuan! Kita memiliki struktur tubuh yang unik...

Beberapa waktu lalu, aku ngobrol dengan kawanku. Dia berkata bahwa bagian tubuh yang paling dia sukai dan banggakan adalah VAGINA. I was surprised with her words. Tapi ketika ia mengemukakan argumentasinya, aku setuju dengan apa yang ia katakan karena memang kami memiliki kesepakatan dan pendirian yang sama mengenai perempuan. Aku tersadar kemudian...saat itulah aku benar-benar mulai menyukai vaginaku dan bersahabat dengannya.
Kenapa vagina?

Jarang sekali orang membicarakan vagina, seolah-olah yang satu itu adalah sesuatu yang tabu dan bukan sesuatu yang pantas untuk dibicarakan. Seburuk itukah?
The Vagina Monologues karya Eve Ensler memberiku pencerahan tentang arti pentingnya vagina bagi seorang perempuan. Vagina bukan hanya sekedar pemuas laki-laki, dan terlebih-lebih ia bukanlah diperuntukkan bagi laki-laki. Vagina adalah bagian tubuh perempuan yang memiliki 8000 sel saraf. Percaya atau tidak, jumlah itu bahkan 2 kali lebih banyak daripada sel saraf penis laki-laki. Vagina is beautiful, unique, fabulous. Layaknya tata surya, vagina adalah pusat dari seluruh kehidupan planet-planet yang ada di sekitarnya. Perempuan tak akan hadir kalau tak ada vagina. Ia membuat perempuan mampu merayakan ke-perempuan-annya tersebut!

Nah, kembali ke persoalan menstruasi yang aku alami…
Seruan yang sering terlontar ketika mengomentari perempuan yang sedang mendapat menstruasi adalah ”dia sedang kotor”. Apa artinya? Darah menstruasi ini identik dengan kotor—kotoran, dan secara tidak langsung juga menandai perempuan sebagai kotor. Darah menstruasi adalah abjek yang seharusnya tidak boleh ditampilkan di ranah publik. Padahal sebagai seorang perempuan, akan sangat terasa nikmat dan melegakan ketika darah hangat itu keluar dari vagina, dan mengapa harus malu dan jijik atau bahkan merasa kotor? Bahkan Aquarini mengatakan ”darah itu mengalir hangat keluar dari tubuh saya, saya menikmatinya, saya tidak malu, saya tidak jijik karena darah itu adalah saya”.

Kadang aku berpikir, mengapa orang yang sedang terluka dan mengeluarkan darah—mengapa mereka tidak disebut kotor? ? Kan sama-sama darah...
Dan seandainya...sekali lagi seandainya laki-laki juga ditakdirkan untuk mendapat anugerah menstruasi, akankah ’cap kotor’ itu tetap tercipta??

Baca Selengkapnya..

Monday, August 18, 2008

Aku dan Utusan Tuhan (Part 1)

Ini adalah ke sekian kalinya aku pergi ke SMAN 1 Kalisat untuk bertemu adik-adik siswa Kristen yang aku layani. Hampir dua tahun aku melayani di sana. Di sebuah kelas kami biasa bertemu dan saling menguatkan kerohanian kami. Aku bersyukur dan merasa terhormat bisa bertemu mereka.

Saat ini jumlah mereka 7 anak. Yaah...itulah jumlahnya, 2 anak kelas 1, 1 anak kelas 2, dan 4 anak kelas 3. Jumlah tak jadi masalah buatku. Mereka adalah Indra, Jefta, Ivan, Andriyas, Gresia, Bagus, Rio. Aku sangat menikmati tiap menit bersama mereka. Parcaya atau tidak, mereka adalah anak yang baik. Mereka seperti utusan dari Tuhan.

Seperti waktu itu, kami ber-8 sedang KTB (Kelompok Tumbuh Bersama). Di tiap kesempatan, aku selalu mengingatkan mereka supaya tetap sehati dan saling menguatkan satu sama lain, dan tidak gentar walaupun jumlah mereka hanya 7. Dalam KTB itu, kami sedang membahas sebuah tema ’manusia yang baru atau manusia yang lahir baru’. Walaupun jumlah ini terlalu besar bagi idealnya sebuah KTB, tapi aku merasa tidak ada masalah karena mereka bisa diajak bekerjasama dalam forum ini sehingga tak ada satu pun yang tidak menghargai yang lain. Pertengahan, aku meminta mereka men-sharing-kan pengalaman atau apa yang terjadi dalam kehidupan mereka ketika mereka sadar bahwa otoritas tertinggi yang ada di dalam dirinya adalah Tuhan.

Satu per satu berbicara....hingga tibalah pada seorang anak kelas 1. Dia terlihat susah berbicara karena airmata terlebih dahulu mengalir di sudut matanya.. Butuh beberapa menit untuk dia kembali melanjutkan ceritanya. Aku mengerti. Ketika dia selesai bercerita, barulah aku menyadari betapa besar kasih Allah nyata dalam kehidupannya dan keluarganya. Yaah..Tuhan kami memang dahsyat!!

Mereka adalah adik-adikku. Aku sangat menyayangi mereka.

Aku jadi tersenyum-senyum sendiri bila mengingat kejadian itu. Suatu hari seorang adik SMS, dan bilang kalau dia ingin curhat. Lalu dia bercerita bahwa dia sedang naksir seorang cewek yang ditemuinya sewaktu retreat di Malang. Sebisanya, aku memberi nasihat padanya. Aku senang mereka jujur dan terbuka padaku, artinya mereka tidak menganggapku orang lain. Bersyukur, Tuhan menempatkan aku di Kalisat.

Aku selalu mendoakan supaya kami tetap kuat di dalam Tuhan, sehingga tak ada yang lebih mengharukan dan membahagiakan bila 10 tahun lagi aku bertemu mereka dan mereka masih setia pada Tuhan. Aku menyayangi mereka, dengan segala tingkah polah dan keunikan mereka..

Baca Selengkapnya..

AWG

10-13/08/08:Sarfat…

Beberapa hari yang lalu aku menikmati sebuah retreat kerohanian di mana pesertanya berjumlah 100an orang yang berasal dari Sulawesi, NTT, NTB, Semarang, Denpasar, Papua, dll. Yaah…sangat menyenangkan bertemu dengan orang-orang seperti mereka. Yang kami lakukan tak banyak, intinya mempererat hubungan pribadi dengan Tuhan dan sesama…

Sungguh sebuah momen yang indah.

Lokasi itu terletak di dataran tinggi Batu-Malang. Ketika malam tiba, kami bisa melihat kerlap-kerlip kota Malang. Ketika pagi tiba, dengan jelas sederetan tanaman apel membentang di bawah kami. Sungguh menakjubkan...seperti surga (padahal aku tak pernah se Surga, yaah...sesuatu yang indah-indah orang selalu mengaitkan dengan surga bukan?!).

Yang paling ku sukai dari acara itu adalah aku bisa bertemu dengan saudara-saudara dari berbagai daerah, khusyuk menyembah Tuhan, dan bebas menelanjangi alam dengan mataku.

Secara garis besar, tak ada yang terlampau istimewa dalam acara itu, hanya saja satu mata acara yang sangat ku nikmati yaitu AWG (Alone With God). Siang itu, kami masing-masing peserta boleh menyendiri dan mengambil tempat di mana pun kita suka, dan di situlah kami bisa ’berbicara’ dengan Tuhan apa adanya, lebih jujur, lebih dalam dan lebih bermakna...

Ada beberapa pokok masalah yang saat itu aku ungkapkan pada Tuhan, aku meletakkan bebanku pada-Nya. Saat itu, aku sedang bergumul masalah skripsi. Karena beberapa jam yang lalu, mamaku telpon dan bilang aku tidak boleh berangkat ke Jakarta bila aku belum merampungkan ujianku. Dadaku terasa sesak dan pecah dalam isak tangis. Aku merasa tak sanggup, aku takut, aku ragu... untuk itulah aku benar-benar merengek seperti anak kecil kepada Bapanya untuk minta diberi pertolongan dan diraih. Aku merasa sendiri.

Yang ku ingat, saat itu aku benar-benar lepas dan bebas jadi diriku...

Lalu, Tuhan berkata melalui Firman-Nya: ”Hai anakku, jika hatimu bijak, hatiku juga bersukacita. Jiwaku bersukaria, kalau bibirmu mengatakan yang jujur. Janganlah hatimu iri kepada orang-orang yang berdosa, tatapi takutlah akan Tuhan senantiasa. Karena masa depan sungguh ada dan harapanmu tidak akan hilang. Hai anakku, dengarlah dan jadilah bijak, tujukanlah hatimu ke jalan yang benar.”

Perlahan pulihlah harapanku. Aku percaya pada Tuhan. Aku sadar selama ini terlalu menuntut tanpa melaksanakan apa yang sebenarnya menjadi kewajibanku. Aku yakin bahwa Tuhan akan selalu besertaku, apa pun menimpaku...

Baca Selengkapnya..

Tuesday, August 05, 2008

Akal-akalan Penetapan Kuota Perempuan

“Kuota adalah pedang bermata dua. Di satu pihak, kuota mengharuskan laki-laki berpikir tentang keterlibatan perempuan dalam pembuatan keputusan, karenanya laki-laki harus menciptakan ruang untuk perempuan. Di pihak lain, karena laki-laki yang membuka ruang ini, maka mereka akan mencari perempuan yang dapat diatur—perempuan yang lebih mudah menerima hegemoni laki-laki. Anna Balletbo- ”

Pasal 57 dan 58 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum secara tegas menyebutkan bahwa partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) harus memenuhi sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan dalam mengajukan calon anggota legislatif (caleg) kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di sana tertulis apabila parpol tidak memnuhi kuota tersebut maka KPU mengembalikan berkas dokumen admnistrasi caleg kepada parpol yang berswangkutan. Demikian juga dengan turunannya yaitu peraturan KPU no.18 tahun 2008 tentang pencalonan anggota legislatif. Dalam pasal 10 disebutkan caleg parpol harus memuat 30 persen keterwakilan perempuan.

Hal ini pada dasarnya adalah hal yang baik mengingat jumlah perempuan yang duduk di dewan legislatif sejak tahun 1950-2004 tak pernah lebih dari 15 persen. Betapa ironisnya keadaan itu mengingat separuh lebih penduduk Indonesia adalah perempuan. Hal yang tak bisa dilepaskan adalah banyaknya masalah yang menimpa perempuan mulai kekerasan rumah tangga hingga perdagangan manusia yang tak becus ditangani oleh legislator laki-laki karena minimnya sensitifitas jender.

Penerapan kuota 30 persen ini bukannya tak menimbulkan pro dan kontra. Ada yang berkata itu baik bagi perempuan, sebaliknya ada pula yang menaggap kuota sebagai bentuk pembatasan bagi perempuan. Padahal, jika dicermati secara kritis, penerapan kuota itu senduri,-sebagai affirmative action- juga masih setengah hati. Undang-undang pemilu sengaja dibuat cacat dengan mewajibkan parpol menyertakan representasi 30 persen perempuan dalam kepengurusannya tapi tidak ada sanksi tegas jika mereka tidak melaksanakan pasal tersebut.

Akibatnya, KPU sebagai lembaga teknis penyelenggara pemilu juga tak dapat berbuat banyak dalam membuat kebijakan yang lebih adil bagi perempuan. Anggota KPU, Endang Sulastri dan Andi Nurpati yang banyak berkecimpung dalam gerakan perempuan pun secara terbuka mengaku tak bisa mengakomodir tuntutan berbagai aktivis perempuan dalam menyusun peraturan KPU no.18 tahun 2008 tentang calon legislatif.

Bahkan, Koordinator Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Revisi UU Politik (Ansipol) Yuda Irlang, menilai peraturan tersebut adalah kemunduran dibandingkan dengan UU pemilu. Pasalnya, dalam peraturan tersebut, KPU hanya mengharuskan partai membuat alasan tertulis apabila tidak memenuhi kuota 30 persen perempuan dalam pendaftaran calegnya.

Satu-satunya hukuman bagi parpol yang tak memenuhi kuota adalah KPU akan mengumumkan kepada masyarakat melalui media massa bahwa parpol yang bersangkutan tak memenuhi kuota perempuan dan melanggar pasal 27 UU pemilu. Dengan kata lain, tak ada sanksi tegas bagi parpol yang melanggar ketentuan dalam UU. Seharusnya kewajiban dalam UU tersebut diikuti sanksi berupa dibatalkannya keikut sertaan parpol sebagai peserta pemilu 2009. Hilangnya sanksi ini agaknya memang disengaja oleh legislator demi kepentingan mereka sendiri.

Dalam hal penerapan kuota perempuan, elit parpol di negeri ini kiranya perlu ”studi banding” ke Swedia untuk merubah mindset mereka. Parpol di negara skandinavia itu secara sadar menerapkan kuota meskipun hal itu tak diatur secara tegas oleh undang-undang pemilihan umum. Sebagian besar partai politik di Swedia telah memberi ruang bagi perempuan setidaknya 30 persen, bahkan beberapa partai di Swedia seperti Partai Liberal (The Liberal Party), Partai Hijau (The Green Party), dan Partai Sosial Demokrat (The Social Democratic Party) telah menerapkan gender-neutral (jumlah yang sama bagi laki-laki dan perempuan). Berbagai strategi diterapkan oleh partai politik di Swedia, mulai dari penerapan goal (komitmen untuk merekrut perempuan), target (penerapan jumlah persentase minimal bagi perempuan), kuota dan zipping system dalam penyusunan caleg.

Sistem politik Indonesia dan Swedia memang berbeda. Namun, bukan berarti hal yang diterapkan di sana sama sekali tak cocok dilaksanakan di sini. Bukan jamannya lagi elit parpol memandang perempuan sekedar sebagai lumbung suara dan vote getter. Lebih dari itu, kaum perempuan harus senantiasa berjuang keras untuk mewujudkan sistem politik yang lebih adil bagi semua.

Baca Selengkapnya..

Aku Mencintaimu Perempuanku...

Saat itu kantuk telah merayapi tubuhku, dan sedikit pun aku tak berusaha untuk melawannya, maka terlelaplah raga ini….

Tak lama setelah itu, dering telpon menyentakku… ternyata suara seorang kawan perempuan di seberang sana. Dan terdengar jelas bahwa suara itu bergetar tanda menangis...

Lalu aku berkata padanya kalau aku akan segera datang ke tempatnya.

10 menit kemudian aku sudah di tempat kawanku itu..

Saat itu kawanku dan kekasihnya masih berada di beranda rumah kostnya. Aku langsung menghampiri dan merangkulnya.

Ia menangis terisak....seolah-olah air mata itu hidup dan ingin membuat jejak-jejak kepedihan di pipinya yang kemerahan.

Hatiku hancur melihat kawanku seperti itu, dan aku juga tak sanggup membendung air mataku.

Aku usap air matanya dan menggenggam tangannya..

Kawanku itu...seorang perempuan yang tegar, tapi mengapa sekarang ia seperti ini? aku tak habis pikir..

Masih dengan mengangis, ia menjelaskan dengan suara lantang dan mengarahkan telunjuknya kepada sang kekasih, seraya berkata:”Ayoo..kamu cepat bilang kalau kamu habis memukuli aku, menendang perutku, mencekik leherku, memukuli mulutku dengan sandal!!”.

Sang kekasih hanya tersenyum sinis dan menimpali,” Yaahh...memang aku telah memukuli kamu, dan aku tahu itu salah..tapi aku berbuat itu karena aku merasa benar!!”

Ya Tuhan....ini terulang lagi, pikirku.. Hatiku semakin hancur mendengar semua kata-kata yang muncul dari kedua anak manusia yang 24 jam yang lalu masih terlihat mesra dan baik-baik saja itu.

Sedikit pun aku tak berani bicara karena aku memang tak mau ikut campur dalam hubungan mereka berdua...mereka toh sudah akil baliq. Dan aku berprinsip, aku hanya mau berbicara atau memberi nasehat pada kawanku perempuan itu, karena ia adalah kawan dan saudaraku.

Karena sudah tak tahan lagi, aku mengajak kawanku itu masuk ke kamarnya. Ia merebahkan tubuhnya yang aku sangka semakin hari semakin tipis itu di atas ranjang sepon berukuran single bed. Ia lalu bercerita detil apa yang sebenarnya telah terjadi antara ia dan kekasihnya.

Aku tak mau tahu apa yang telah terjadi antara ia dan kekasihnya. Yang hanya aku ingin tahu, kenapa kekerasan ini sampai terjadi? Sebagai seorang perempuan, aku tidak bisa menerima semua ini.

Lalu, aku berkata,”Kawan, ini bukan yang pertama kali terjadi, kau tau itu. Dan aku terus bertanya-tanya, kapan ini semua akan berakhir? Aku tahu persis pengorbananmu sudah terlampau besar untuknya, kau lakukan itu dengan harapan kekasihmu pun akan melakukan setimpal, tapi apa yang kau dapat? Lihat dirimu sekarang...! masih pacaran saja sudah begini, apalagi kalau kau nanti sudah nikah?? Dan aku yakin perlakuan kasar itu akan semakin menjadi ketika kalian sudah menikah, dan suamimu berpikir ia sudah memiliki hak atas jiwa dan tubuhmu.”

Ia masih terus tersedu dan menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya....lalu berkata kalau ia tak bisa berpisah dengan kekasihnya karena masih sangat mencintai sang kekasih..

Hatiku protes keras dan ingin berteriak,”Bodoh!! Laki-laki itu sama sekali tak pantas mendapatkanmu.. dan aku yakin kau masih bisa memperoleh laki-laki yang lebih mencintai dan menghargaimu sebagai seorang pasangan yang sejajar dan tidak subordinatif.”

Ya sudahlah kalau memang begitu keputusanmu, kawan, aku tetap ada di belakangmu dan terus mendukungmu...kapan pun kau butuhkan, akan selalu aku usahakan ada di sampingmu.

Sejak saat itu, hatiku selalu galau dan terus mengutuki tindakan kekerasan yang dilakukan oleh siapa pun kepada perempuan....apalagi dengan alasan dominatif.

Jarang sekali aku menjumpai posisi yang seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah hubungan—entah pacaran atau bahkan pernikahan sekalipun.

Tak jarang aku memikirkan sekaligus mengkhawatirkan keadaan kawanku tadi apabila ia benar-benar memutuskan untuk membina bahtera rumahtangga dengan laki-laki biadab itu.

Kate Millet dalam tulisannya Sexual Politics mengatakan bahwa perkawinan atau keluarga adalah instrumen utama patriarki yang mengatur sikap dan tingkah laku anggotanya sedemikian sehingga terjadi pelanggengan ideologi patriarki. Memang benar kalau sekarang ini sudah banyak perempuan yang telah berkarier di ranah publik, tapi seiring dengan itu diciptakanlah aturan-aturan sehingga tatanan kekuasaan itu tetap sesuai dengan ideologi yang mendasari keseluruhan struktur dalam masyarakat itu. Ideologi apa? Ya pastilah ideologi patriarki, yang cenderung meninggikan nilai-nilai maskulin dan mulai menomersekiankan kepentingan perempuan dan merendahkan nilai-nilai feminin. Peran perempuan di sektor publik dianggap hanya bersifat tambahan, sedangkan beban domestik seolah-olah itu merupakan area khusus perempuan yang seharusnya tidak dimasuki laki-laki.

Perempuan boleh memasuki sektor publik karena ada konsep lebih tingginya nilai-nilai maskulin. Dan tak jarang perempuan harus menyesuaikan diri dengan iklim kerjanya sehingga ia terkondisikan untuk memaskulinkan dirinya.

Perempuan boleh-boleh saja bekerja di luar tapi tetap melaksanakan pekerjaan domestiknya, tetapi laki-laki tidak boleh mengerjakan pekerjaan domestik karena itu merendahkan dirinya. Alhasil, perempuan akan memiliki setumpuk beban yang harus dikerjakan sendiri.

Tidak ada habisnya membicarakan makhluk indah bernama perempuan, sejuta label melekat padanya, sejuta pujian dialamatkan padanya, tapi sejuta kecaman tak jarang diarahkan padanya, sejuta kekerasan kerap mendarat di tubuh moleknya, dan tak banyak yang menyadari itu semua.

Yang ada hanya pemakluman karena memang kondisi atau sistem yang memang berbicara bahwa perempuan seyogyanya berada di’bawah’ laki-laki. Agama, adat istiadat, hukum pun turut menyuburkan pendiskreditan terhadap perempuan.

Ooh..perempuanku....

Aku yakin bahwa kita bisa berjuang untukmendapatkan hak-hak yang seharusnya kita peroleh... yang kita butuhkan hanyalah kesadaran bahwa konsep perempuan adalah the second sex itu tidak benar.

Aku percaya bahwa masing-masing laki-laki dan perempuan itu memiliki potensi yang berbeda dan secara biologis memang berbeda. Oleh karena itu, bila kita terlalu memaksakan untuk ’menyamakan’ perempuan dan laki-laki pasti akan merugikan perempuan itu sendiri.

Perempuan yang merdeka adalah bila perempuan itu memiliki kebebasan untuk memilih jalan terbaik bagi kehidupannya tanpa dominasi atau interveni dari mana pun. Jadi, jangan pula lantas menyalahkan perempuan yang memilih untuk bekerja di sektor domestik, karena itu memang pilihannya....pilihannya sebagai perempuan yang merdeka.

Kembali teringat dengan peristiwa yang menimpa kawanku, aku sangat menyayangkan karena ia lebih memilih melanjutkan hubungannya dengan sang kekasih.

Tapi itu tidak menjadi soal sebab ia yang memilih itu, dan tentu saja ia telah siap dengan segala resiko yang akan menghadang.

Aku hanya bisa mendoakan supaya kau berbahagia hidup dengan kekasihmu itu.

Sebenar-benarnya aku tidak sanggup melihat tangis perih dan lebam itu menjejak di tubuhmu karena aku mencintaimu, perempuan......

Baca Selengkapnya..