Saturday, November 01, 2008

A Long….Long Journey (Part 1)

Bising. Sesak. Macet. Itulah tiga kata pertama yang muncul di kepalaku ketika baru saja kaki ini mendarat di Stasiun Gambir, Jakarta. Tidak terlalu capek meskipun ternyata aku sudah menempuh perjalanan sekitar 16jam dari Jember-Jakarta, karena kereta api yang aku tumpangi berkelas eksekutif (untuk itu, aku harus membobol tabungan sebesar 290ribu).

Sewaktu berangkat, aku dibarengi oleh 3 orang teman laki-laki: Mas Yusuf (seorang staf mahasiswa Perkantas Jember), Milhan (Ketua Persekutuan Mahasiswa Kristen di Fak. Psikologi Ubaya), dan Graal (Ketua Permaker Malang). Kami berempat hendak menghadiri Pelatihan Menulis Opini Perkantas-Kompas. Kabarnya sih, se-Indonesia hanya 15 orang yang diundang. Pembicaranya Bapak Irwan Julianto (Wakil Desk Opini Kompas). So, i’m lucky..!!

Kami sampai di Gambir pukul 07.00, dijemput oleh seorang kakak dari Perkantas, diantarnyalah kami ke kantor Perkantas di kawasan Pintu Air. Rehat sejenak, mandi, minum teh, sarapan bubur ayam, hhhmmmm.....yuummmyyy....

Siangnya kami baru diantar ke tempat pelatihan yaitu OMF, di daerah Cempaka Putih JakPus. Dari luarnya si biasa aja, tapi dalamnya keren banget! Terasa bukan di Jakarta. Get it? Banyak pepohonan rindang yang menyejukkan udara dan meneduhkan mata. Aku pun masih bisa mendengar kicauan burung yang sepertinya mereka bernyanyi syukur karena ternyata masih ada ranting pohon dan dahan untuk bersarang dan meletakkan telur-telurnya. Kami pun bergegas ke kamar masing-masing. Kamarku ada di lantai 3, satu kamar dengan Kak Elis (Panitia, staf Perkantas) dan Kak Grace (peserta, staf literatur Perkantas). Nyaman sekali kasurnya...

Baru saja ku rebahkan tubuhku, kak Elis masuk dan berkata bahwa sudah waktunya makan siang. Aku harus segera makan karena bila telat resikonya makanan akan diberesi sehingga kita tidak mendapatkan apa-apa. Oke..aku ganti baju dan turun ke lantai 1.

Saat makan itulah, aku mulai berkenalan dengan para peserta yang lain. Ada Bang Gurgur Manurung (belakangan kami semua sepakat memanggilnya Bang Ben, karena wajah dan perawakannya yang mirip sekali dengan Benyamin Sueb. Maap ya, Bang..), Bang Reza dari Makasar, kak Julius (aku pernah bertemu dengannya 2 tahun yang lalu saat acara pelatihan di Kaliurang Jogjakarta), Kak Theo Harefa, Bang Paul, Pak Peter Jacobs, dan kakak-kakak yang lain. Setelah makan, kami disilahkan msuk ke suatu ruangan, acara akan segera dimulai. Ruangannya tidak terlalu luas. Kursi dan meja ditata seperti konferensi, memutar, sehingga masing-masing orang bisa melihat satu sama lain tanpa terhalangi. Peserta yang ikut sekitar 15 orang. Dibukalah acara itu dengan doa.

Haah?? Ini sudah dibuka? Ya ampun, semula aku pikir ini adalah acara khusus mahasiswa Perkantas se-Indonesia, kok mahasiswanya cuma 3 orang (aku, Milhan, Graal)? Waduuh,,benar-benar yang ada disini semuanya sudah senior, kira-kira umur mereka akhir 20-an dan di atas 30-an. Hhhmmm....moga aja dengan stok pengetahuan yang aku miliki, gak malu-maluin deh jadinya, hehe....

Okay, kita mulai acaranya...

Baca Selengkapnya..

I’ve been there, A!

”Kenapa si, Yas, harus ada kematian??”

Aku terhenyak mendengar pertanyaan itu. Bagaimana tidak, baru saja bangun tidur dan ketika hendak ke kamar mandi, aku mampir ke kamar seorang kawan kostku (sebutlah A), dia langsung menyerudukku dengan pertanyaan seperti itu.

Aku diam saja, ingin mendengar apa kata-kata selanjutnya.

”Iya, kenapa Tuhan itu seolah-olah punya senjata yang bernama kematian? Dan aku yang tak pernah berpikir mengenai surga-neraka, jadi takut...takut tak bisa bertemu kekasih, teman2, kalau-kalau kematian itu datang menjemput tiba-tiba. Aku juga sudah jarang bersembahyang, kamu tau kan!!”, ucapannya menyembur bagai lumpur Lapindo di Sidoarjo.

Ya..kawanku yang satu ini memang unik, aneh. Kadang A bersikap sok dewasa dengan menasihati kawanku yang lain dengan sejuta kemungkinan yang ia kemukakan, kadang dia bertingkah seperti anak kecil yang menyaru sebagai seorang superhero dan memukul-mukulkan guling ke kawanku yang lain yang ia tetapkan sebagai monster (musuh si superhero), kadang A menangis tersedu karena mengaku kangen dengan sang kekasih di belahan lintang dan bujur dunia yang lain. Nah, apa lagi yang kali ini terjadi padanya? (Selanjutnya, A (kawanku), T (aku))

A=”Seakan-akan ketika aku tidak bersembahyang, si Tuhan berkata ”Hei..aku punya kematian, kalau kamu tidak menuruti aku, kamu akan masuk neraka atau kamu tidak akan bisa bertemu kekasihmu dan teman-temanmu.”

T=”Memang kenapa kalau kamu mulai sembahyang lagi?” A, aku sadar aku manusia lemah, oleh karena itu aku membutuhkan kekuatan yang lebih besar, lebih agung dari aku yang kepadanya aku bisa bersandar.”

A=”Iya, aku juga sepakat. Tapi, kan kalau aku sembahyang lagi, berarti aku kalah dong sama Tuhan?” (sambil menunjukkan mimik memberengut)

T=”Kenapa kamu mikirnya seperti itu, A? Kamu tau gak, ada yang bilang pengetahuan tertinggi seseorang itu adalah berupa keyakinan? ”

A=”Masa? Siapa yang berkata seperti itu? Aku sepertinya pernah dengar sebelumnya.” (ia berkata seolah-olah seperti terkagetkan atau tersadarkan?)

T=”Udahlah, kamu mikir aja dulu. Aku mau mandi.. ”

I’ve been there, A. I know you can solve it...with your own way!

Baca Selengkapnya..

Wednesday, October 29, 2008

Perempuan dan Sekitarnya

Ada satu keanehan yang terjadi di ruangan ini. Sekian lama tempat ini terselimuti oleh pola patriarki. Hari ini, akhirnya pola itu mulai runtuh, begitu juga pola patriarki yang telah lama aku pegang teguh. Aroma kekuatan perempuan mulai tercium.

Pengakuan itulah yang aku baca di buku curhat organisasi kampus yang aku ikuti, ditulis oleh seorang kawan laki-laki, saat kami tengah mengadakan rapat organisasi. Aku terhenyak membacanya, aku sangka dia adalah seorang yang ‘moderat’ atau ‘liberal’. Ternyata aku salah besar, dengan jelas ia mengakui patriarkinya. Ooh..kasian sekali, rupanya ia masih terkubur dalam kubangan feodalisme milik jaman penjajahan yang pada akhirnya berdampak pada cara berpikirnya, pikirku dalam hati.

Pengakuan itu muncul karena masalah sepele. Dalam rapat tersebut, aku dan beberapa kawan perempuan mengajukan keberatan terhadap mereka yang merokok—yang mayoritas adalah kaum laki-laki. Kami (aku dan beberapa kawan perempuan) beranggapan bahwa kami juga memiliki hak untuk menghirup udara segar. Mereka pun bersikeras untuk mempertahankan argumennya bahwa merokok juga adalah hak mereka sebebas-bebasnya. Setelah melalui ‘pergulatan’ yang panjang, akhirnya kami semua sepakat bahwa selama rapat haram hukumnya bagi moncong mulut yang mengepulkan asap rokok. Deal!!

“Aku ga suka di dalam organisasi kita ini ada pola seperti itu!! Udah ga relevan lagi untuk zaman sekarang. Sebagai seorang mahasiswa, harusnya mereka mampu berpikir ‘lebih’ dari itu. Iya kan??”, kataku pada seorang kawan perempuan di saat senggang. “That’s right, sister! Kalo ga ada makhluk yang namanya perempuan, kamu ga bakal nongol disini, tau!!”, sahutnya seolah-olah ia sedang berbicara pada seorang laki-laki.

Aku tak ingat persis kapan terjadinya perdebatan itu, yang pasti kejadian itu berlangsung beberapa hari menjelang hari Kartini—di mana diperingati sebagai hari bangkitnya kekuatan yang dimiliki oleh seorang hawa. Kasian sekali si Kartini, hanyalah tinggal peringatan saja tanggal 21 April itu karena ternyata pola patriarki masih banyak terjadi di masyarakat Indonesia.

Dalam karyanya A Discourse on Political Economy (1755), filsuf Jean Jacques Rousseau secara konsisten memandang perempuan sebagai makhluk inferior dan tersubordinasi. Tujuan hidup mereka hanya untuk melayani laki-laki. Karena itu, mereka tidak mungkin atau tidak dapat menjadi pemimpin. Rupanya sistem nilai dan budaya yang ada kini turut berkontribusi terhadap langgengnya pola seperti ini sehingga melekat dari generasi ke generasi, yang makin mensubordinatkan perempuan di bawah superioritas laki-laki.

Perempuan masih diposisikan sebagai kelompok lemah dan perlu diajari, dibimbing, dan diamankan. Semua itu menjadi pembenaran perempuan tidak bisa berperan di ruang publik, diharuskan tinggal di rumah demi keamanannya, dan berkonsentrasi di wilayah domestik.
Peristiwa malam itu masih membayangiku tatkala aku hampir terlelap di kasurku. Aku teringat, jauh sebelum Rousseau sebenarnya sudah ada seorang filsuf kelahiran Macedonia yang hidup pada masa 384-322 SM yang berbicara tentang keberadaan perempuan yaitu Aristoteles.

Ia percaya bahwa kaum perempuan adalah “pria yang belum lengkap”. Perempuan, dalam hal reproduksi, hanya bersikap pasif dan reseptif. Bagaimana bisa filsuf sepintar itu salah dalam mempersepsikan korelasi antara laki-laki dan perempuan?! Hal itu disebabkan, dalam menjalani kehidupannya, Aristoteles kurang memiliki pengalaman dan interaksi yang bermakna dengan perempuan. Aaa…itulah akibatnya, bila segala sesuatunya yang memegang kendali adalah kaum laki-laki, rutukku dalam hati. Aku pun terlelap dengan pikiran yang masih terus berputar.

Sebenarnya gerakan perempuan telah muncul mulai tahun 1787 yang ditandai dengan terbitnya Pencerahan Concordet di Perancis. Pada masa itu, perempuan sangat aktif dalam pertempuran melawan rezim feodal yang ada. Salah seorang aktivis perempuan yang gigih dalam membela hak asasi kaumnya yaitu Olympe de Gouges tahun 1791. tapi, malang benar nasibnya, kepalanya dipenggal tahun 1793 dan seluruh aktivitas politik bagi kaum perempuan dilarang. Pada abad 19 barulah terjadi gelombang feminisme di seluruh Eropa dan menjalar hingga ke seluruh penjuru dunia hingga detik ini.

Memang pada waktu tertentu, perempuan memiliki lebih banyak keterbatasan dibanding laki-laki. Misalnya saja, dalam jangka satu bulan perempuan harus ‘rehat’ beberapa hari sebab haid. Selain itu, sistem sosial yang mensyaratkan tabunya bagi seorang perempuan untuk keluyuran melewati pukul 9 atau 10 malam. Ora ilok (tidak pantas, red), kata orang Jawa! Tapi, janganlah kiranya itu nantinya dijadikan alasan oleh kaum laki-laki untuk mendiskreditkan perempuan.

Lalu, apa yang bisa perempuan lakukan supaya mereka tidak dianggap sebagai subordinat saja? Unjuk gigi dong!! Alias berkarya, berkarya, dan terus berkarya!! Perempuan bisa menjadi presiden, politisi, bergiat di DPR, partai, LSM, menjadi dosen, rektor, peneliti, supir taksi, supir busway, montir, manajer, wartawan, membuka lapangan kerja sendiri, de el el. Romo Magnis-Suseno, dalam sebuah tulisannya di media cetak pernah berkata bahwa filsafat laki-laki cenderung bersifat logosentris, phalocentris sehingga perempuan perlu berfilsafat untuk menyelamatkan keberatsebelahan pemikiran laki-laki filsuf.

"Perempuan berfilsafat dari posisi ketertindasan sehingga menjadi lebih peka terhadap realitas yang lain dibandingkan laki-laki. Laki-laki berfilsafat dari kedudukannya yang dominan sehingga kalau pun ada pendekatan-pendekatan yang khas perempuan, tetapi karena pengalaman kolektif mereka berbeda, mereka menjadi kurang peka," katanya.

Tulisan ini hanyalah ‘alarm’ supaya sebagai makhluk yang waras, kita saling menghargai apapun jenis kelamin yang kita miliki dan dengan jenis kelamin apa kita berinteraksi. Bagi kaum laki-laki, jangan sekali-kali berani beranggapan bahwa kau lebih hebat dari perempuan. Laki-laki dan perempuan diciptakan untuk saling melengkapi. Bagaimana pun kuatnya seorang laki-laki pasti membutuhkan seorang perempuan. Yah….untuk sekedar reminder saja laki-laki itu dilahirkan dari liang vagina, bukan lewat penis!! Iya kan?! That’s right, sister!!

Baca Selengkapnya..

Friday, October 24, 2008

Gak apa-apa, Ada Tuhan….

9 September 2008, Pukul 11.00 WIB

Momen itu pasti akan membekas di otakku. Karena hari dan waktu itulah aku menjalani ujian atau sidang skripsi. Berarti sudah 3 semester aku memprogramkan skripsi. Yaah..memang sih, di semester 7 awal memprogram skripsi aku masih bingung ambil tema apa. Ketika sudah tahu pun ternyata tak segera ku kerjakan, hehehe...

Semester 8 baru agak serius ku garap itu semua. Sekali niat mampir, ku kebut mengetik di komputer tuaku hingga pukul 2.00-3.00 dini hari. Masalahnya, ketika rasa malas menghinggapiku, 1-2 bulan komputer pun tak aku hidupkan. Butuh tenaga dan semangat yang tinggi, hanya untuk menghidupkan komputer, hehe..ada-ada saja. Tapi memang seperti itu nyatanya.

Dalam mengerjakan skripsi, sebenarnya data bukan menjadi masalah bagiku. Oiya, aku mengambil judul Feminisme dan Tingginya Tingkat Keterwakilan Perempuan Dalam Parlemen Swedia. Yang pertama karena aku perempuan, so i wanna do something good for my sisters...dan juga untuk menyeimbangkan kajian yang ada di Jurusan Hubungan Internasional Univesitas Jember ini.

Dengan Dosen Pembimbing Pak Eby dan Pak Heri, aku berupaya menjaga semangat untuk menyelesaikan karya masterpiece-ku. Kurangkai kata demi kata, sub bab demi sub bab, membaca data yang serba Inggris-an, hingga saban hari nge-cek email dan yahoomessenger, berharap Pak Eby sedang online atau ada balasannya di inbox emailku.
Memang berat...putus asa, bosan, jengkel kepada Dosen Pembimbing, gak dapat data, komputer didiagnosa menjadi peternakan virus, semua itu pernah aku alami.

Percaya atau tidak, aku pernah menangis gara-gara ulah kedua pembimbingku itu. Ceritanya, ada info kalau Pak Eby pada suatu waktu akan datang. Karena peristiwa itu langka, aku segera merampungkan tulisanku hingga jam 02.00-an. Keesokan harinya dengan semangat membara, aku melangkahkan kaki dengan mantap berharap bertemu dengannya. Ketika masuk ke ruang dosen, seorang dosen berkata, ”Tyas, pak Eby sudah meninggalkan Jember, kembali ke Malaysia, mungkin sekarang sudah di Surabaya. Semalam beliau berpamitan ke rumah saya.” Kaget, terpukul, kecewa, jengkel, smeua perasaan itu bergulat menjadi satu dan membuatku tidak betah berlama-lama di kampus. Tapi, sebelum itu kupastikan keberadaan Pak Eby dengan cara mengirim SMS, dan ternyata benar dia sudah ada di Surabaya. Aku pulang dengan lemah..letih...lesu...tidak bersemangat,,pengen nangis. Dan sesampai di Kost, aku curhat ke seorang teman, dan aku menangis,,hhuaa....hhuuuaa....Aku berkata padanya, ini rasanya menyakitkan seperti dikhianati oleh seorang kekasih...(duuh...berlebihan gak si,,hehe...)

Tangisan selanjutnya gara-gara dosen pembimbing keduaku, Pak Heri Potter, eh salah, Pak Heri Alfian maksudnya. Malam itu aku bertandang ke rumahnya memberikan 1 bendel skripsi karena 3 hari lagi aku akan sidang. Rencananya ingin konsultasi dan minta tips mengahdapi sidang. Bukannya tips yang ku dapat, malah jengkel. Pasalnya, dia bilang kemungkinan tidak bisa mendampingi ujianku karena akan mudik ke Lombok. Sesudah dia berkata seperti itu, aku hanya diam dam mengiyakan saja apa yang dikatakannya. ”Yaah..Tyas jangan sedih gitu dunk, iya aku usahakan, tenang aja.”, katanya sebelum aku meninggalkan pelataran rumahnya. ”Oke, kita lihat saja nanti, buktikan!!”, sahutku dengan sinis.

Sesampai di kostan, kembali aku mengadu dan menangis di hadapan temanku dan diam di kamar. Malamnya, aku curhat ke seorang kawan mengadu itu semua. Aku berkata bahwa kemungkinan besar aku ujian sendirian karena Pak Eby pasti tidak datang, dan kemungkinan Si Heri Potter itu juga tidak ada. Tau apa jawabannya?? Dengan lugas dan menyentil, kawanku itu berkata, ”Gak apa-apa, ad Tuhan!!”. YYYeeeaaaahhhh......aku merasa seperti sebuah HP yang baru diCharge, aku merasa ada kekuatan yang masuk ke seluruh tubuhku. Aku menangis lagi. Tapi bukan lagi menangisi Pak Heri atau manusia mana pun, aku memohon ampun pada Yesus-ku karena aku luput dan sejenak mengandalkan manusia. Dan juga bersyukur, Dia masih mau memberiku maaf dan memberiku semangat baru. Sekarang aku tidak takut lagi. Aku siap maju ujian..

Itulah rahasiaku mengapa ku nyantai-nyantai aja menghadapi ujian. Aku berpikir bahwa aku sudah berusaha semampu aku bisa, sisanya kan biar Tuhan yang mengambil alih.
Tuhanku memang huueebatt, salah satu buktinya ya tanggal 9 September 2008 itu..

Dan keesokan harinya, tanggal 10 September, Tuhan kembali memberikan kebahagiaan padaku. Aku berangkat ke Jakarta.....Hhooorrraaaiiiiii...........

Baca Selengkapnya..

Sunday, October 19, 2008

Lumajang dan Tante Sari

Kamis, 16 Okt 08
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 16.10 WIB. Ah, sebentar lagi aku akan dijemput, lebih baik aku menunggu di teras, pikirku. Benar saja, tak lama setelah itu Mas Elia rekan sepelayananku menelpon dan berkata bahwa dia sudah sampai di satu blok sebelum blok rumah kostku. Sore itu, kami akan ke Lumajang apa pun yang terjadi. Aku berkata demikian karena sore itu hujan deras tengah mengguyur Jember. Aku selalu meyakinkan diri, ah..ini kan baru hujan air, masa gitu aja mundur, hehe..

Mas Elia memberiku dua pilihan: naik motor atau bis. Aku pilih naik motor saja karena lebih hemat dan tentu saja cepat. Kami berdua memakai mantel dan berangkatlah kami. Dingin tidak terlalu kurasakan karena di balik mantel ini masih ada jaket yang melekat, tapi ternyata yang lebih perih terasa adalah kerikil-kerikil halus dari jalan raya beraspal yang terpental mengenai kakiku yang hanya beralaskan sandal. Sekali waktu kulirik spedometer sepeda motor yang membawaku ini, pandom bergetar di antata angka 70-80 km/jam. Tapi aku tak merasa kuatir, aku percaya saja pada mas Elia, hehe...dia kan pembalap. Yang paling pasti, aku percaya kepada Tuhan yang menugaskan aku berangkat dan pelayanan di Lumajang.

Aku lebih menikmati naik motor karena lebih bebas menelanjangi alam yang dilewati. Hamparan sawah dan pepohonan terbentang di sisi kanan kiri jalan. Yang paling menyeramkan adalah ketika kami menyusuri sepanjang sungai di sisi kiri daerah Jatiroto. Entah kenapa petang itu sepi sekali, hanya bebrapa bis antar kota dan truk-truk saja sekali waktu melintas dengan kecepatan tinggi. Ternyata keadaan sepi itu dimanfaatkan oleh Mas Elia untuk memacu kendaraan lebih cepat. Nah, di daerah Jatiroto itu, ada beberapa rel lori tebu yang melintang di jalan raya yang membuat jalan sedikit tidak rata. Hehehe...dasar pembalap, hal itu tidak membuat mas Elia untuk menurunkan kecepatan motornya. Alhasil, ketika melewati rel lori itu, aku merasakan sepersekian detik bokongku melayang sejenak alias tidak menyentuh jok dan kemudian kembali mendarat di jok dengan selamat. Aku tertawa geli dalam hati, hihihi... sempat kubayangkan andai kecepatan melayang bokongku yang tidak sama dengan kecepatan motor. Yaah...seperti efek yang ada di film Matrix itulah!! Jadi, kecepatan bokongku lebih lambat sehingga fase melayangku lebih lama dan terlihat seperti slow motion, tapi kecepatan motor Mas Elia bergerak tetap. Apa yang akan terjadi?? Hehe....tidak usah dibayangkan, karena itu pasti akan menyakitkan dan akan merusak aset berhargaku?!!^-^

Okay,,kami sampai di Rumah Persekutuan pukul 17.25. Tempat persekutuan siswa-siswa Kristen Lumajang disediakan oleh sebuah keluarga pasangan dokter gigi. Namanya Pak Kus Harianto dan Tante Sari. Setelah membasuh kaki yang kotor, aku masuh ke ruangan ber-AC itu. Ruangannya tidak cukup luas, tapi cukup untuk menampung 25 orang. Tak lama kemudian Tante Sari muncul. Perawakannya tak seberapa tinggi, kira-kira 157an cm, rambutnya berwarna keperakan tak sampai menyentuh bahu. ”Haii...sudah lama tidak ketemu ya, Tyas.”, sapanya sambil menjabat tanganku dan mengecup pipi kanan kiriku. Dia bertanya tentang kuliahku, rencana masa depanku, tentang anak perempuannya. Perempuan ini halus sekali saat berujar, pikirku. Jauh sekali dengan aku, hehehe...

Tante Sari tak jarang memanggil salah satu siswa dengan sebutan ’sayang’. Aiih..aiih...benar-benar laiknya seorang ibu yang sangat menyayangi anaknya. ”Mbak Tyas kapan nginap disini? Mumpung masih ada di Jember kan? Nanti tidur sama Dek Dea kan bisa to?”, tanyanya padaku. Aku hanya mengiyakan saja. Perempuan ini meskipun sudah berumur, tapi tetap saja bekas-bekas kecantikan masa mudanya masih nampak jelas. Ia bertanya apakah aku sudah ada rencana untuk menikah. Dan aku menjawab belum dan itu mungkin baru terjadi 5 tahun lagi. Ia tersenyum dan berkata bahwa ia dulu menikah saat usianya 27 tahun. Masih banyak lagi yang kami obrolkan, sering ia menyelipkan nasihat-nasihat di sela-sela pembicaraan.

Sayang sekali pembicaran ini harus terhenti karena acara persekutuan akan dimulai. Setelah menyanyikan beberapa buah lagu, kami berdoa bersama-sama untuk memulai acara ini. Setelah itu, barulah waktuku untuk menyampaikan bahasan mengenai ’kepemimpinan’ tiba.
”Oke, adik-adik.. apa sih arti pemimpin atau kepemimpinan menurut kalian?”

Baca Selengkapnya..

Monday, September 01, 2008

Perempuan Cantik itu Mamaku

Pagi tadi aku bertemu mamaku, seorang perempuan setengah baya yang dua puluh satu tahun yang lalu telah mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkanku. Aku bertemu dengannya di stasiun Jember. Dia akan pergi ke Madiun, kota asalnya, untuk ziarah ke makam kakek nenekku dan bertemu dengan tante omku di sana.

Aku melangkah memasuki bangunan stasiun itu, agak asing bagiku, mengingat sudah dua bulan lebih aku tidak pulang ke Banyuwangi—kota terujung sebelah timur Pulau Jawa. Setelah menunggu sekitar 20 menit, akhirnya kereta Sritanjung jurusan Surabaya-Jogjakarta merayapi rel di stasiun Jember ini..

Aku bangkit berdiri dan mengamati gerbong demi gerbong, lorong pintu demi lorong pintu, jendela demi jendela untuk menemukan perempuan yang sangat mencintaiku tanpa syarat itu. Akhirnya ku lihat dia, mencoba keluar dari desakan penumpang di sekitarnya pada gerbong nomor 3. Mamaku, berkaos kuning dengan celana denim di bawah lutut dan tas coklat tersampir di lengan kirinya. Sama sekali jauh dari kesan glamor ataupun mewah. Rambut lurus dan tebalnya tidak sampai menyentuh bahu—membuatnya terlihat selalu segar dan muda walaupun bunga-bunga keriput mulai menjejak di wajahnya, menandakan umurnya yang beranjak mendekati pertengahan abad. Ia masih terlihat cantik. Jujur, aku ingin terlihat sepertinya ketika usiaku sama dengannya.
Ia turun dari gerbong, senyumnya mengembang..

Aku menyerahkan sebungkus nasi untuk sarapan di kereta nanti. Sebagai gantinya, ia menyerahkan sekantong kresek hitam besar padaku yang berisikan sekotak bihun dan keripik. Ooh...mamaku, betapa engkau telah rela bangun di subuh hari dan menyiapkan ini semua untukku. Dalam hati aku berpikir, bisakah dan pantaskah aku membalas kebaikanmu? Dan dengan apa kiranya aku bisa membalasnya? Seumur hidup aku yakin tak akan bisa ku tebus semuanya itu..

Kami sempat ngobrol, tentang keadaan bapakku dan adik laki-lakiku di rumah. Mamaku memang sangat terbiasa untuk bepergian sendirian. Ia adalah orang yang supel dan mudah akrab dengan siapa pun. Tak heran bila kawan-kawanku semasa SD selalu menanyakan mamaku ketika mereka bertemu denganku, dan mamaku adalah orang yang tak segan untuk menyapa kawanku terlebih dulu. Yaah...tak jarang mamaku ngobrol dengan kawanku yang penjaga toko atau sekedar bertemu di pasar. Mamaku jarang sekali lupa nama kawan-kawanku.

Tak sampai 15 menit kami berbincang. Walaupun begitu, aku menikmatinya. Sebelum ia kembali ke keretanya, ku raih dan ku cium punggung tangannya, lalu ku cium pipi kanan dan kirinya. ”Ati-ati ya, Ma..”, ujarku. Lalu naiklah ia ke balok besi yang akan membawanya ke Madiun itu. Ternyata ia masih berdiri di lorong pintu, ia berpesan, ”Skripsinya cepat dirampungkan ya?!”. Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
Lalu kereta pun perlahan bergetar dan pergi dengan membawa senyum perempuan terindah yang mampu menenangkan hatiku itu..mamaku.
Yaah...perempuan cantik itu adalah mamaku.

Baca Selengkapnya..

Monday, August 25, 2008

Perempuan, Vagina dan Menstruasi

My vagina is a shell, a round pink tender shell,
opening and closing, closing and opening.
My vagina is a flower, an eccentric tulip, the center acute and deep,
the scent delicate, the petals gentle but sturdy.
-The Vagina Monologues-

Di tiap penghujung bulan, kali ini bulan Agustus, seperti biasanya, aku merasakan siklus itu lagi, menstruasi. Yaah...dan seperti biasanya juga, rasa sakit ini menderaku, menyiksaku, dan membuatku tak punya pilihan lain selain menikmatinya.

Siang itu aku sedang ber-SMS dengan seorang kawan. Aku mengatakan bahwa aku sedang nyeri haid dan menceritakan padanya segala apa yang aku rasakan kala itu. Memang tak semua perempuan merasakan nyeri ketika sedang datang bulan. Dan mungkin aku tergolong yang lumayan parah sakitnya...

Kawanku itu bersimpati padaku dengan mengatakan, ”Kasihan kamu..Mending kamu istirahat aj sekarang.” Aku tersenyum melihat kata-kata itu terpampang di HP-ku. Lalu, dengan lincah tanganku menulis, ”Meski sakit, ya aku coba nikmati aja..justru si saat seperti ini aku merasa bangga menjadi seorang perempuan.” lalu sending message.

Menstruasi adalah sebuah siklus yang dialami perempuan paling tidak sebulan sekali. Memang, dalam beberapa kasus ada yang terlambat dan berubah-ubah periodenya.
Mengapa aku merasa bangga dan serasa ’lengkap’ ketika sedang meringkuk kesakitan akibat nyeri haid seperti itu?

Seorang kawanku mengatakan perempuan adalah kalender alam. Artinya, dalam waktu pertama menstruasi ke masa berikutnya itu adalah periode tertentu yang hanya tubuh perempuan dapat mengerti dan lakukan. Jadi, berbanggalah menjadi seorang perempuan! Kita memiliki struktur tubuh yang unik...

Beberapa waktu lalu, aku ngobrol dengan kawanku. Dia berkata bahwa bagian tubuh yang paling dia sukai dan banggakan adalah VAGINA. I was surprised with her words. Tapi ketika ia mengemukakan argumentasinya, aku setuju dengan apa yang ia katakan karena memang kami memiliki kesepakatan dan pendirian yang sama mengenai perempuan. Aku tersadar kemudian...saat itulah aku benar-benar mulai menyukai vaginaku dan bersahabat dengannya.
Kenapa vagina?

Jarang sekali orang membicarakan vagina, seolah-olah yang satu itu adalah sesuatu yang tabu dan bukan sesuatu yang pantas untuk dibicarakan. Seburuk itukah?
The Vagina Monologues karya Eve Ensler memberiku pencerahan tentang arti pentingnya vagina bagi seorang perempuan. Vagina bukan hanya sekedar pemuas laki-laki, dan terlebih-lebih ia bukanlah diperuntukkan bagi laki-laki. Vagina adalah bagian tubuh perempuan yang memiliki 8000 sel saraf. Percaya atau tidak, jumlah itu bahkan 2 kali lebih banyak daripada sel saraf penis laki-laki. Vagina is beautiful, unique, fabulous. Layaknya tata surya, vagina adalah pusat dari seluruh kehidupan planet-planet yang ada di sekitarnya. Perempuan tak akan hadir kalau tak ada vagina. Ia membuat perempuan mampu merayakan ke-perempuan-annya tersebut!

Nah, kembali ke persoalan menstruasi yang aku alami…
Seruan yang sering terlontar ketika mengomentari perempuan yang sedang mendapat menstruasi adalah ”dia sedang kotor”. Apa artinya? Darah menstruasi ini identik dengan kotor—kotoran, dan secara tidak langsung juga menandai perempuan sebagai kotor. Darah menstruasi adalah abjek yang seharusnya tidak boleh ditampilkan di ranah publik. Padahal sebagai seorang perempuan, akan sangat terasa nikmat dan melegakan ketika darah hangat itu keluar dari vagina, dan mengapa harus malu dan jijik atau bahkan merasa kotor? Bahkan Aquarini mengatakan ”darah itu mengalir hangat keluar dari tubuh saya, saya menikmatinya, saya tidak malu, saya tidak jijik karena darah itu adalah saya”.

Kadang aku berpikir, mengapa orang yang sedang terluka dan mengeluarkan darah—mengapa mereka tidak disebut kotor? ? Kan sama-sama darah...
Dan seandainya...sekali lagi seandainya laki-laki juga ditakdirkan untuk mendapat anugerah menstruasi, akankah ’cap kotor’ itu tetap tercipta??

Baca Selengkapnya..

Monday, August 18, 2008

Aku dan Utusan Tuhan (Part 1)

Ini adalah ke sekian kalinya aku pergi ke SMAN 1 Kalisat untuk bertemu adik-adik siswa Kristen yang aku layani. Hampir dua tahun aku melayani di sana. Di sebuah kelas kami biasa bertemu dan saling menguatkan kerohanian kami. Aku bersyukur dan merasa terhormat bisa bertemu mereka.

Saat ini jumlah mereka 7 anak. Yaah...itulah jumlahnya, 2 anak kelas 1, 1 anak kelas 2, dan 4 anak kelas 3. Jumlah tak jadi masalah buatku. Mereka adalah Indra, Jefta, Ivan, Andriyas, Gresia, Bagus, Rio. Aku sangat menikmati tiap menit bersama mereka. Parcaya atau tidak, mereka adalah anak yang baik. Mereka seperti utusan dari Tuhan.

Seperti waktu itu, kami ber-8 sedang KTB (Kelompok Tumbuh Bersama). Di tiap kesempatan, aku selalu mengingatkan mereka supaya tetap sehati dan saling menguatkan satu sama lain, dan tidak gentar walaupun jumlah mereka hanya 7. Dalam KTB itu, kami sedang membahas sebuah tema ’manusia yang baru atau manusia yang lahir baru’. Walaupun jumlah ini terlalu besar bagi idealnya sebuah KTB, tapi aku merasa tidak ada masalah karena mereka bisa diajak bekerjasama dalam forum ini sehingga tak ada satu pun yang tidak menghargai yang lain. Pertengahan, aku meminta mereka men-sharing-kan pengalaman atau apa yang terjadi dalam kehidupan mereka ketika mereka sadar bahwa otoritas tertinggi yang ada di dalam dirinya adalah Tuhan.

Satu per satu berbicara....hingga tibalah pada seorang anak kelas 1. Dia terlihat susah berbicara karena airmata terlebih dahulu mengalir di sudut matanya.. Butuh beberapa menit untuk dia kembali melanjutkan ceritanya. Aku mengerti. Ketika dia selesai bercerita, barulah aku menyadari betapa besar kasih Allah nyata dalam kehidupannya dan keluarganya. Yaah..Tuhan kami memang dahsyat!!

Mereka adalah adik-adikku. Aku sangat menyayangi mereka.

Aku jadi tersenyum-senyum sendiri bila mengingat kejadian itu. Suatu hari seorang adik SMS, dan bilang kalau dia ingin curhat. Lalu dia bercerita bahwa dia sedang naksir seorang cewek yang ditemuinya sewaktu retreat di Malang. Sebisanya, aku memberi nasihat padanya. Aku senang mereka jujur dan terbuka padaku, artinya mereka tidak menganggapku orang lain. Bersyukur, Tuhan menempatkan aku di Kalisat.

Aku selalu mendoakan supaya kami tetap kuat di dalam Tuhan, sehingga tak ada yang lebih mengharukan dan membahagiakan bila 10 tahun lagi aku bertemu mereka dan mereka masih setia pada Tuhan. Aku menyayangi mereka, dengan segala tingkah polah dan keunikan mereka..

Baca Selengkapnya..

AWG

10-13/08/08:Sarfat…

Beberapa hari yang lalu aku menikmati sebuah retreat kerohanian di mana pesertanya berjumlah 100an orang yang berasal dari Sulawesi, NTT, NTB, Semarang, Denpasar, Papua, dll. Yaah…sangat menyenangkan bertemu dengan orang-orang seperti mereka. Yang kami lakukan tak banyak, intinya mempererat hubungan pribadi dengan Tuhan dan sesama…

Sungguh sebuah momen yang indah.

Lokasi itu terletak di dataran tinggi Batu-Malang. Ketika malam tiba, kami bisa melihat kerlap-kerlip kota Malang. Ketika pagi tiba, dengan jelas sederetan tanaman apel membentang di bawah kami. Sungguh menakjubkan...seperti surga (padahal aku tak pernah se Surga, yaah...sesuatu yang indah-indah orang selalu mengaitkan dengan surga bukan?!).

Yang paling ku sukai dari acara itu adalah aku bisa bertemu dengan saudara-saudara dari berbagai daerah, khusyuk menyembah Tuhan, dan bebas menelanjangi alam dengan mataku.

Secara garis besar, tak ada yang terlampau istimewa dalam acara itu, hanya saja satu mata acara yang sangat ku nikmati yaitu AWG (Alone With God). Siang itu, kami masing-masing peserta boleh menyendiri dan mengambil tempat di mana pun kita suka, dan di situlah kami bisa ’berbicara’ dengan Tuhan apa adanya, lebih jujur, lebih dalam dan lebih bermakna...

Ada beberapa pokok masalah yang saat itu aku ungkapkan pada Tuhan, aku meletakkan bebanku pada-Nya. Saat itu, aku sedang bergumul masalah skripsi. Karena beberapa jam yang lalu, mamaku telpon dan bilang aku tidak boleh berangkat ke Jakarta bila aku belum merampungkan ujianku. Dadaku terasa sesak dan pecah dalam isak tangis. Aku merasa tak sanggup, aku takut, aku ragu... untuk itulah aku benar-benar merengek seperti anak kecil kepada Bapanya untuk minta diberi pertolongan dan diraih. Aku merasa sendiri.

Yang ku ingat, saat itu aku benar-benar lepas dan bebas jadi diriku...

Lalu, Tuhan berkata melalui Firman-Nya: ”Hai anakku, jika hatimu bijak, hatiku juga bersukacita. Jiwaku bersukaria, kalau bibirmu mengatakan yang jujur. Janganlah hatimu iri kepada orang-orang yang berdosa, tatapi takutlah akan Tuhan senantiasa. Karena masa depan sungguh ada dan harapanmu tidak akan hilang. Hai anakku, dengarlah dan jadilah bijak, tujukanlah hatimu ke jalan yang benar.”

Perlahan pulihlah harapanku. Aku percaya pada Tuhan. Aku sadar selama ini terlalu menuntut tanpa melaksanakan apa yang sebenarnya menjadi kewajibanku. Aku yakin bahwa Tuhan akan selalu besertaku, apa pun menimpaku...

Baca Selengkapnya..

Tuesday, August 05, 2008

Akal-akalan Penetapan Kuota Perempuan

“Kuota adalah pedang bermata dua. Di satu pihak, kuota mengharuskan laki-laki berpikir tentang keterlibatan perempuan dalam pembuatan keputusan, karenanya laki-laki harus menciptakan ruang untuk perempuan. Di pihak lain, karena laki-laki yang membuka ruang ini, maka mereka akan mencari perempuan yang dapat diatur—perempuan yang lebih mudah menerima hegemoni laki-laki. Anna Balletbo- ”

Pasal 57 dan 58 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum secara tegas menyebutkan bahwa partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) harus memenuhi sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan dalam mengajukan calon anggota legislatif (caleg) kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di sana tertulis apabila parpol tidak memnuhi kuota tersebut maka KPU mengembalikan berkas dokumen admnistrasi caleg kepada parpol yang berswangkutan. Demikian juga dengan turunannya yaitu peraturan KPU no.18 tahun 2008 tentang pencalonan anggota legislatif. Dalam pasal 10 disebutkan caleg parpol harus memuat 30 persen keterwakilan perempuan.

Hal ini pada dasarnya adalah hal yang baik mengingat jumlah perempuan yang duduk di dewan legislatif sejak tahun 1950-2004 tak pernah lebih dari 15 persen. Betapa ironisnya keadaan itu mengingat separuh lebih penduduk Indonesia adalah perempuan. Hal yang tak bisa dilepaskan adalah banyaknya masalah yang menimpa perempuan mulai kekerasan rumah tangga hingga perdagangan manusia yang tak becus ditangani oleh legislator laki-laki karena minimnya sensitifitas jender.

Penerapan kuota 30 persen ini bukannya tak menimbulkan pro dan kontra. Ada yang berkata itu baik bagi perempuan, sebaliknya ada pula yang menaggap kuota sebagai bentuk pembatasan bagi perempuan. Padahal, jika dicermati secara kritis, penerapan kuota itu senduri,-sebagai affirmative action- juga masih setengah hati. Undang-undang pemilu sengaja dibuat cacat dengan mewajibkan parpol menyertakan representasi 30 persen perempuan dalam kepengurusannya tapi tidak ada sanksi tegas jika mereka tidak melaksanakan pasal tersebut.

Akibatnya, KPU sebagai lembaga teknis penyelenggara pemilu juga tak dapat berbuat banyak dalam membuat kebijakan yang lebih adil bagi perempuan. Anggota KPU, Endang Sulastri dan Andi Nurpati yang banyak berkecimpung dalam gerakan perempuan pun secara terbuka mengaku tak bisa mengakomodir tuntutan berbagai aktivis perempuan dalam menyusun peraturan KPU no.18 tahun 2008 tentang calon legislatif.

Bahkan, Koordinator Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Revisi UU Politik (Ansipol) Yuda Irlang, menilai peraturan tersebut adalah kemunduran dibandingkan dengan UU pemilu. Pasalnya, dalam peraturan tersebut, KPU hanya mengharuskan partai membuat alasan tertulis apabila tidak memenuhi kuota 30 persen perempuan dalam pendaftaran calegnya.

Satu-satunya hukuman bagi parpol yang tak memenuhi kuota adalah KPU akan mengumumkan kepada masyarakat melalui media massa bahwa parpol yang bersangkutan tak memenuhi kuota perempuan dan melanggar pasal 27 UU pemilu. Dengan kata lain, tak ada sanksi tegas bagi parpol yang melanggar ketentuan dalam UU. Seharusnya kewajiban dalam UU tersebut diikuti sanksi berupa dibatalkannya keikut sertaan parpol sebagai peserta pemilu 2009. Hilangnya sanksi ini agaknya memang disengaja oleh legislator demi kepentingan mereka sendiri.

Dalam hal penerapan kuota perempuan, elit parpol di negeri ini kiranya perlu ”studi banding” ke Swedia untuk merubah mindset mereka. Parpol di negara skandinavia itu secara sadar menerapkan kuota meskipun hal itu tak diatur secara tegas oleh undang-undang pemilihan umum. Sebagian besar partai politik di Swedia telah memberi ruang bagi perempuan setidaknya 30 persen, bahkan beberapa partai di Swedia seperti Partai Liberal (The Liberal Party), Partai Hijau (The Green Party), dan Partai Sosial Demokrat (The Social Democratic Party) telah menerapkan gender-neutral (jumlah yang sama bagi laki-laki dan perempuan). Berbagai strategi diterapkan oleh partai politik di Swedia, mulai dari penerapan goal (komitmen untuk merekrut perempuan), target (penerapan jumlah persentase minimal bagi perempuan), kuota dan zipping system dalam penyusunan caleg.

Sistem politik Indonesia dan Swedia memang berbeda. Namun, bukan berarti hal yang diterapkan di sana sama sekali tak cocok dilaksanakan di sini. Bukan jamannya lagi elit parpol memandang perempuan sekedar sebagai lumbung suara dan vote getter. Lebih dari itu, kaum perempuan harus senantiasa berjuang keras untuk mewujudkan sistem politik yang lebih adil bagi semua.

Baca Selengkapnya..

Aku Mencintaimu Perempuanku...

Saat itu kantuk telah merayapi tubuhku, dan sedikit pun aku tak berusaha untuk melawannya, maka terlelaplah raga ini….

Tak lama setelah itu, dering telpon menyentakku… ternyata suara seorang kawan perempuan di seberang sana. Dan terdengar jelas bahwa suara itu bergetar tanda menangis...

Lalu aku berkata padanya kalau aku akan segera datang ke tempatnya.

10 menit kemudian aku sudah di tempat kawanku itu..

Saat itu kawanku dan kekasihnya masih berada di beranda rumah kostnya. Aku langsung menghampiri dan merangkulnya.

Ia menangis terisak....seolah-olah air mata itu hidup dan ingin membuat jejak-jejak kepedihan di pipinya yang kemerahan.

Hatiku hancur melihat kawanku seperti itu, dan aku juga tak sanggup membendung air mataku.

Aku usap air matanya dan menggenggam tangannya..

Kawanku itu...seorang perempuan yang tegar, tapi mengapa sekarang ia seperti ini? aku tak habis pikir..

Masih dengan mengangis, ia menjelaskan dengan suara lantang dan mengarahkan telunjuknya kepada sang kekasih, seraya berkata:”Ayoo..kamu cepat bilang kalau kamu habis memukuli aku, menendang perutku, mencekik leherku, memukuli mulutku dengan sandal!!”.

Sang kekasih hanya tersenyum sinis dan menimpali,” Yaahh...memang aku telah memukuli kamu, dan aku tahu itu salah..tapi aku berbuat itu karena aku merasa benar!!”

Ya Tuhan....ini terulang lagi, pikirku.. Hatiku semakin hancur mendengar semua kata-kata yang muncul dari kedua anak manusia yang 24 jam yang lalu masih terlihat mesra dan baik-baik saja itu.

Sedikit pun aku tak berani bicara karena aku memang tak mau ikut campur dalam hubungan mereka berdua...mereka toh sudah akil baliq. Dan aku berprinsip, aku hanya mau berbicara atau memberi nasehat pada kawanku perempuan itu, karena ia adalah kawan dan saudaraku.

Karena sudah tak tahan lagi, aku mengajak kawanku itu masuk ke kamarnya. Ia merebahkan tubuhnya yang aku sangka semakin hari semakin tipis itu di atas ranjang sepon berukuran single bed. Ia lalu bercerita detil apa yang sebenarnya telah terjadi antara ia dan kekasihnya.

Aku tak mau tahu apa yang telah terjadi antara ia dan kekasihnya. Yang hanya aku ingin tahu, kenapa kekerasan ini sampai terjadi? Sebagai seorang perempuan, aku tidak bisa menerima semua ini.

Lalu, aku berkata,”Kawan, ini bukan yang pertama kali terjadi, kau tau itu. Dan aku terus bertanya-tanya, kapan ini semua akan berakhir? Aku tahu persis pengorbananmu sudah terlampau besar untuknya, kau lakukan itu dengan harapan kekasihmu pun akan melakukan setimpal, tapi apa yang kau dapat? Lihat dirimu sekarang...! masih pacaran saja sudah begini, apalagi kalau kau nanti sudah nikah?? Dan aku yakin perlakuan kasar itu akan semakin menjadi ketika kalian sudah menikah, dan suamimu berpikir ia sudah memiliki hak atas jiwa dan tubuhmu.”

Ia masih terus tersedu dan menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya....lalu berkata kalau ia tak bisa berpisah dengan kekasihnya karena masih sangat mencintai sang kekasih..

Hatiku protes keras dan ingin berteriak,”Bodoh!! Laki-laki itu sama sekali tak pantas mendapatkanmu.. dan aku yakin kau masih bisa memperoleh laki-laki yang lebih mencintai dan menghargaimu sebagai seorang pasangan yang sejajar dan tidak subordinatif.”

Ya sudahlah kalau memang begitu keputusanmu, kawan, aku tetap ada di belakangmu dan terus mendukungmu...kapan pun kau butuhkan, akan selalu aku usahakan ada di sampingmu.

Sejak saat itu, hatiku selalu galau dan terus mengutuki tindakan kekerasan yang dilakukan oleh siapa pun kepada perempuan....apalagi dengan alasan dominatif.

Jarang sekali aku menjumpai posisi yang seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah hubungan—entah pacaran atau bahkan pernikahan sekalipun.

Tak jarang aku memikirkan sekaligus mengkhawatirkan keadaan kawanku tadi apabila ia benar-benar memutuskan untuk membina bahtera rumahtangga dengan laki-laki biadab itu.

Kate Millet dalam tulisannya Sexual Politics mengatakan bahwa perkawinan atau keluarga adalah instrumen utama patriarki yang mengatur sikap dan tingkah laku anggotanya sedemikian sehingga terjadi pelanggengan ideologi patriarki. Memang benar kalau sekarang ini sudah banyak perempuan yang telah berkarier di ranah publik, tapi seiring dengan itu diciptakanlah aturan-aturan sehingga tatanan kekuasaan itu tetap sesuai dengan ideologi yang mendasari keseluruhan struktur dalam masyarakat itu. Ideologi apa? Ya pastilah ideologi patriarki, yang cenderung meninggikan nilai-nilai maskulin dan mulai menomersekiankan kepentingan perempuan dan merendahkan nilai-nilai feminin. Peran perempuan di sektor publik dianggap hanya bersifat tambahan, sedangkan beban domestik seolah-olah itu merupakan area khusus perempuan yang seharusnya tidak dimasuki laki-laki.

Perempuan boleh memasuki sektor publik karena ada konsep lebih tingginya nilai-nilai maskulin. Dan tak jarang perempuan harus menyesuaikan diri dengan iklim kerjanya sehingga ia terkondisikan untuk memaskulinkan dirinya.

Perempuan boleh-boleh saja bekerja di luar tapi tetap melaksanakan pekerjaan domestiknya, tetapi laki-laki tidak boleh mengerjakan pekerjaan domestik karena itu merendahkan dirinya. Alhasil, perempuan akan memiliki setumpuk beban yang harus dikerjakan sendiri.

Tidak ada habisnya membicarakan makhluk indah bernama perempuan, sejuta label melekat padanya, sejuta pujian dialamatkan padanya, tapi sejuta kecaman tak jarang diarahkan padanya, sejuta kekerasan kerap mendarat di tubuh moleknya, dan tak banyak yang menyadari itu semua.

Yang ada hanya pemakluman karena memang kondisi atau sistem yang memang berbicara bahwa perempuan seyogyanya berada di’bawah’ laki-laki. Agama, adat istiadat, hukum pun turut menyuburkan pendiskreditan terhadap perempuan.

Ooh..perempuanku....

Aku yakin bahwa kita bisa berjuang untukmendapatkan hak-hak yang seharusnya kita peroleh... yang kita butuhkan hanyalah kesadaran bahwa konsep perempuan adalah the second sex itu tidak benar.

Aku percaya bahwa masing-masing laki-laki dan perempuan itu memiliki potensi yang berbeda dan secara biologis memang berbeda. Oleh karena itu, bila kita terlalu memaksakan untuk ’menyamakan’ perempuan dan laki-laki pasti akan merugikan perempuan itu sendiri.

Perempuan yang merdeka adalah bila perempuan itu memiliki kebebasan untuk memilih jalan terbaik bagi kehidupannya tanpa dominasi atau interveni dari mana pun. Jadi, jangan pula lantas menyalahkan perempuan yang memilih untuk bekerja di sektor domestik, karena itu memang pilihannya....pilihannya sebagai perempuan yang merdeka.

Kembali teringat dengan peristiwa yang menimpa kawanku, aku sangat menyayangkan karena ia lebih memilih melanjutkan hubungannya dengan sang kekasih.

Tapi itu tidak menjadi soal sebab ia yang memilih itu, dan tentu saja ia telah siap dengan segala resiko yang akan menghadang.

Aku hanya bisa mendoakan supaya kau berbahagia hidup dengan kekasihmu itu.

Sebenar-benarnya aku tidak sanggup melihat tangis perih dan lebam itu menjejak di tubuhmu karena aku mencintaimu, perempuan......

Baca Selengkapnya..

Sunday, July 13, 2008

Autisme Partai Politik

Hasil survei yang dirilis oleh Lembaga Survei Indonsi(LSI) yang menunjukkan penurunan kepercayaan masyarakat terhadap partai politik (parpol) sebenarnya tak terlalu mengejutkan. Gejala ini sebenarnya sudah mulai terbaca dalam pemilihan kepala daerah beberapa bulan terakhir. Ambil contoh kemenangan pasangan Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf yang diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN) dalam pilkada Jawa Barat dan pasangan Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho di Sumatera Utara yang juga diusung PKS.

Kemenangan calon kepala daerah di dua provonsi tersebut menunjukkan bahwa masyarakat sudah mulai kritis dan tidak percaya kepada parpol besar dan mapan seperti Golkar dan PDI-P. Sebab, kemenangan kedua calon tersebut terutama lebih diakibatkan oleh figur baru dan muda ketimbang kinerja parpol sebagai mesin politik pengusung pasangan calon. Tingginya angka golput kian menajamkan argumen ini. Rakyat memilih untuk tidak memilih karena tak percaya dengan politisi parpol serta calon pemimpin yang mereka usung.

Dalam surveinya yang terbaru, LSI mengungkapkan sumber penolakan ini terutama karena rendahnya kepercayaan publik terhadap partai politik sebagai akibat dari kinerjanya selama ini yang dianggap buruk. Publik umumnya tidak percaya bahwa partai politik mampu merepresntasikan, mengintermediasi, dan mengartikulasikan kepentingan pemilih mereka. Parpol, meminjam istilah analis politik dari The Lead’s Intitute Universitas Paramadina, Bima Arya Sugiarto, mengidap autisme sosial. Mereka asik dengan dirinya sendiri, berjuang demi kepentingannya sendiri dan sibuk mengurusi konflik internal. Akibatnya, parpol mengabaikan kepentingan rakyat yang semestinya mereka usung dan tak peka terhadap kesulitan yang melilit rakyat seperti kenaikan harga bahan BBM, sembako, pupuk, kelangkaan gas dan lain-lain.

Autisme sosial parpol juga tampak dalam pertikaian yang belum juga usai di Maluku Utara. Terlepas dari siapa yang benar dalam penetapan Thaib Armayn dan Gani Kasuba sebagai pemenang, kita melihat besarnya peran parpol dalam menciptakan destabilitas di provinsi tersebut. Partai Golkar yang mengusung pasangan Abdul Gafur – Abdurahim Fabanyo ngotot dan bahkan mengancam meminta kepada Presiden agar Mendagri Mardiyanto dicopot. Lebih jauh mereka sampai mengancam akan meninjau ulang dukungan terhadap pemerintah. Akibatnya, konflik horizontal terus terjadi di Maluku Utara.

Melihat hasil survei ini, sudah saatnya parpol berbenah diri secara radikal. Kita tak bisa mengharapkan agar mereka secara sukarela memperbaiki diri. Untuk itu, diperlukan sebuah terobosan dalam memperbaiki sistem politik agar parpol tak semakin digdaya dalam demokrasi di Indonesia. Sebab, seharusnya posisi rakyatlah yang kian kuat dan menjadi pertimbangan utama pemerintah merumuskan kebijakan. Bukan seperti sekarang, parpol seperti menyandera pemerintah di DPR sehingga tak bisa menjalankan kebijakan secara efektif.

Yang tak kalah penting adalah perubahan paradigma elit parpol dalam menempatkan diri dan kader muda yang potensial. Sudah bukan jamannya mempertahankan budaya feodal dan menanggap yang muda sebagai ancaman. Elit harus peka terhadap perubahan situasi di masyarakat yang merindukan perubahan. Dengan kata lain, elit parpol harus responsive terhadap tuntutan rakyat, aspiratif terhadap keinginan mereka dan dinamis dalam menyikapi situasi. Walhasil, kepercayaan masyarakat terhadap parpol yang kian tergerus dapat ditingkatkan kembali.

*Artikel ini dimuat di Koran Sindo (Selasa,8/7/2008)

Baca Selengkapnya..

Saturday, March 22, 2008

Andang C.Y: Menggugah Semangat Lewat Lirik Lagu

Dia bukan seorang seniman papan atas dengan karya yang terkenal seantero jagad. Dia juga bukan selebritis yang mampu menjual album hingga jutaan copy. Dia lahir dalam kesederhanaan, penampilan alakadarnya dan rendah hati. Uniknya, dari kesederhanaan itulah muncul ratusan karya lirik lagu daerah Using Banyuwangi. Namun, siapa sangka, namanya bahkan tidak dikenal oleh mayoritas masyarakat Banyuwangi, meskipun telinga mereka akrab dengan lagu-lagunya. Bukan jalan mulus yang dia tapaki ketika awal berkarier menjadi seorang seniman. Dia mengaku pernah merasakan derita di balik terali besi penjara akibat salah satu lagu yang diciptakan. Tapi ia tak berhenti di situ. Ratusan lagu daerah yang menghentak dan membangkitkan semangat masyarakat Banyuwangi tetap lahir dari ujung penanya.

Banyuwangi, sebuah kota kecil di ujung Timur pulau Jawa. Sebenarnya tidak ada yang begitu istimewa dari tempat ini. Sama seperti kabupaten-kebupaten di sekitarnya—misalnya Jember—beberapa mall atau supermarket dan ruko-ruko berdiri di sana. Dan satu lagi yang hampir selalu ada di setiap kota yaitu baliho. Tak sedikit baliho menjulang di Banyuwangi yang menampilkan mulai iklan rokok, operator telepon seluler, hingga iklan layanan masyarakat yang dihiasi wajah pejabat setempat. Jalanan tampak nyaman untuk dilalui, jauh dari kesan kemacetan. Bahkan beberapa ruas jalan terlihat lengang, hanya beberapa kendaraan saja yang melintas. Banyuwangi juga kerap menjadi perlintasan orang dari berbagai daerah di pulau Jawa menuju ke pulau Bali yang keindahan alamnya terkenal ke seluruh dunia. Daerah ini sempat menjadi pusat perhatian secara nasional, saat dinamika politik yang sering berujung kepada konflik terbuka terjadi di sana, sebut saja kasus dukun santet pada tahun 1998 dan kasus Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada tahun 2006 silam.

Jauh sebelumnya, yaitu pada tahun 1965, tak lama setelah peristiwa tragedi berdarah yang kemudian dikenal dengan nama Gerakan Tigapuluh September (G30 S), Banyuwangi kembali jadi berita. Penyebabnya adalah sebuah lagu daerah tersebut diciptakan oleh seniman setempat bernama M.Arif yang berjudul ”Gendjer-Gendjer” dilarang diperdengarkan oleh pemerintah orde baru. Lagu itu dianggap menyebarkan dan identik dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Konon lagu tersebut terinspirasi keadaan rakyat yang melarat akibat pendudukan pasukan Jepang di Banyuwangi pada tahun 1942. Sebelum Jepang datang ke Banyuwangi, masyarakat Banyuwangi tak pernah makan sayur genjer (limnocharis flava) karena perekonomian yang maju. Tapi setelah Jepang datang dan menguras kekayaan alam Banyuwangi, rakyat menderita kelaparan dan terpaksa memakan sayur mayur tersebut. Sekitar tahun 1960-1965an, lagu tersebut pernah dinyanyikan oleh Bing Slamet dan Lilis Suryani di RRI Jakarta dan tenar hingga beberapa waktu. Sekitar tahun 1965, lagu yang lirik aslinya memotret keadaan rakyat jelata tersebut diplesetkan oleh oknum-oknum yang tak bertanggungjawab sehingga maknanya berubah menjadi pembantaian jendral-jendral oleh Gerwani dan PKI. Isi lirik itu adalah sebagai berikut:

Jendral Jendral nyang ibukota pating keleler
Emake Gerwani, teko teko nyuliki jendral
Oleh sak truk, mungkir sedot sing toleh-toleh
Jendral Jendral saiki wes dicekeli
Jendral Jendral isuk-isuk pada disiksa
Dijejer ditaleni dan dipelosoro
Emake Gerwani, teko kabeh milu ngersoyo
Jendral Jendral maju terus dipateni

Padahal, tadinya lirik lagu itu adalah seperti ini:

Genjer-genjer nong kedokan pating keleler
Emake tholek teko-teko mbubuti genjer
Oleh sak tenong mungkur sedot sing toleh-toleh
Genjer-genjer saiki wis digowo mulih
Genjer-genjer esuk-esuk digowo neng pasar
Digedeng-gedeng diuntingi podo didasar
Emake jebeng tuku gowo welasan
Genjer-genjer saiki wis kudu diolah

Temenggungan: Awal Sebuah Cerita
Andang C.Y, seorang anak desa yang lahir di dusun kecil bernama Temenggungan Kabupaten Banyuwangi pada 19 September 1934. Di daerah ini berkembang beragam keseninan seperti Ketoprak, Wayang Orang, Ludruk, Angklung, Ande-Ande Lumut, Keroncong Mawar Merah dan Ramona. Tumbuh dan menjalani hidup di lingkungan seni, turut membentuk kepribadian Andang menjadi seorang seniman kampung. Pertemuan pertamanya dengan M.Arif adalah ketika ia masih kanak-kanak. Andang kecil melihat sosok M. Arif sebagai seorang seniman yang komplit. Baginya, M. Arif adalah seorang pejuang yang membela tanah air (pegang senjata), pencipta lagu (pegang pena), politikus yang berjuang di DPR pula (pegang palu).

Ketika beranjak dewasa, Andang pun bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebuah organisasi kesenian yang dianggap sebagai underbow PKI. Andang muda mulai tertarik mempelajari angklung dan gemar menulis syair-syair lagu. Lagu pertama yang dia ciptakan bersama M.F. Harianto berjudul “Perawan Sunthi” pada tahun 1967. Lagu itu bercerita tentang perempuan Banyuwangi yang telah matang dan akan memilih suami. Ternyata bukan apresiasi atau penghargaan yang pertama kali dia dapatkan ketika mencipta lagu perdananya, Andang muda malah ditahan 15 hari di Koramil setempat. Apa pasalnya? Ternyata lirik di dalam lagu tersebut yang menimbulkan kesalahpahaman. Ada bait di dalam lagu tersebut yang berbunyi “…kang disuwun wanci kinangan…1”. Lagu itu menceritakan tentang adat daerah Banyuwangi mengharuskan seorang perempuan yang akan mengakhiri masa lajangnya harus nginang daun sirih, sehingga dapat menghasilkan warna merah di bibirnya. Sama dengan Gendjer-gendjer, lagu itu dituduh beraroma PKI oleh Koramil setempat, sehingga Andang ”diamankan”.

Partai Komunis Indonesia (PKI), salah satu partai terbesar pada masa kepemimpinan Soekarno. Andang bertutur, ketika ia masih duduk di bangku Sekolah Rakyat (Setara Sekolah Dasar sekarang), PKI mulai masuk ke Banyuwangi termasuk di kelurahan Temenggungan. Partai itu mempunyai basis yang kuat dalam sejumlah organisasi massa, seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakyat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Himpunan Sarjana Indonesia (HSI). PKI pandai menarik simpati dari masyarakat di sekitarnya, sehingga banyak simpatisan yang bergabung di bawah payungnya. Mereka merangkul seniman-seniman handal Banyuwangi dan memfasilitasi kesenian-kesenian rakyat kala itu. Salah satu lembaga kesenian yang terkenal adalah Lekra.

Lekra memiliki visi yaitu ‘seni untuk rakyat’. Tiga prinsip yang dipegang dalam Lekra adalah, “sama-sama kerja, sama-sama tidur, sama-sama makan”. Saat itu, Lekra terbagi menjadi beberapa bidang, yaitu musik, sastra, teater, dan seni adat. Teater dibawah Lekra hidup subur dengan karya yang berkualitas, seperti Bahtiar Siagan, Kembang Merapi, dan lain-lain, yang disarikan dari karya-karya sastrawan ternama seperti Pramoedya Ananta Toer. Di bidang musik, muncul kelompok seni bernama Sri Muda dibawah pimpinan Muhammad Arif, yang mengembangkan lagu-lagu dan tarian Banyuwangi diiringi oleh angklung. Tahun 1940-an itulah M. Arif menciptakan lagu “Gendjer-Gendjer” yang kemudian dilarang dinyanyikan selama pemerintahan orde baru karena dianggap identik dengan PKI.

Berbincang Dengan Sang Maestro
Muncul setitik keinginan untuk bertemu dengan Andang C.Y. Lalu saya meluncur ke Banyuwangi. Saya memilih naik kereta api Pandanwangi, murah dan santai. Ongkos yang harus saya bayar hanya Rp.4500,-. Sore itu, kereta api yang saya tumpangi terlihat penuh oleh penumpang. Mereka datang dari berbagai kelas sosial, berjubel di dalam balok besi yang penuh sesak. Ada pedagang rokok, penjual krupuk rambak kulit sapi dan tahu pong keliling, penjaja koran dan tabloid bekas. Ada pula tukang copet dan tukang jarah barang yang berwajah innocent sedang merepet pada tas korbannya. Segala macam karakter manusia ada di sana. Bau yang menusuk hidung pun bercampur aduk, dari bau keringat hingga bau sayur mayur dan ikan asin menambah penyadaran dalam diri bahwa memang seperti inilah rupa kereta api ekonomi. Tak masalah, saya senang memperhatikan mereka satu per satu dan kadang tersenyum sendiri bila ada hal-hal lucu terjadi. Namun itu semua tak mampu membuyarkan konsentrasi saya pada sebuah nama: Andang C.Y.

Tiga jam kemudian, tibalah saya di Kabupaten Banyuwangi. Saat itu saya dijemput oleh seorang kawan dari Banyuwangi, Putri namanya. Kami berdua langsung menuju kelurahan tempat kelahiran Andang, Temenggungan.

Kini Temenggungan jauh berbeda dengan keadaan 70 tahun yang lalu. Tempat ini bukan lagi menjadi pusat kesenian Banyuwangi. Setelah bertanya-tanya kepada penduduk di Temenggungan, akhirnya saya dan Putri mendapat informasi bahwa Andang C.Y. kini bertempat tinggal di Jln. Musi no. 37 Kelurahan Penganjuran. Berangkatlah kami berdua ke sana. Tak sulit mencari rumahnya walaupun kami harus bertanya beberapa kali kepada tetangganya.

“Oohh..Rumah Pak Haji Andang, itu ada gang di depan Wartel, Mbak masuk aja, nanti ada gang kecil di sebelah kiri masuk, rumahnya bercat merah tepat di sebelah Mushola.”, ujar seorang pemuda sambil menunjukkan arah dengan jari telunjuknya. Kami pun meluncur menuju tempat yang ciri-cirinya tepat seperti pemuda tadi maksudkan. Rumahnya tak seberapa besar, jauh dari kesan mewah. Beberapa pot tanaman hias yang tertata apik di pekarangan rumahnya menambah kesan sejuk dan nyaman. Sore itu (19/02/2008), mushola di samping rumah Andang terlihat ramai, beberapa anak melafalkan ayat-ayat suci Al-Quran, beberapa yang lain berlarian bersenda gurau di lorong depan mushola. Mereka tampak riang.

Segera saya dan Putri membuka panel pagarnya, dan beruluk salam sambil mengetuk pintu rumahnya. Seorang laki-laki tua membuka pintu, senyum tulus meyembul dari sudut bibirnya. “Mari…Silahkan masuk, Nak.”, ujarnya. Yah…Dialah Andang C.Y. Perawakannya tak seberapa tinggi, tak lebih dari 170 cm. Rambutnya telah memutih, namun itu tak mengurangi kharismanya walau usianya akan beranjak ke 74 tahun. Raut mukanya ramah, jauh dari kesan arogan. Dibalut kaos berwarna hijau dan celana panjang hitam, dia mempersilakashkan kami masuk ke ruang tamu, luasnya kira-kira 6X5 meter. Kami duduk di sebuah kursi sofa empuk berwarna coklat. Di sebelah kiri kursi sofa tersebut, terpampang sebuah foto keluarga. Ketika ia berjalan, saya memandangi caranya melangkahkan kaki yang agak terpincang-pincang, lalu bertanya, “Apakah Bapak sedang sakit? Kok cara berjalannya agak…” Belum sempat saya menyelesaikan kalimat, ia langsung menjelaskan bahwa sejak beberapa hari yang lalu penyakit rematik menyerangnya dan membuatnya agak susah berjalan.

Beberapa saat kemudian, kami bertiga terlibat dalam perbincangan yang santai, dan terkadang diselingi dengan guyonan dan senandung nyanyian daerah Using. Dia bercerita bahwa seingatnya, tak kurang dari 200 lagu daerah Using telah diciptakan sejak tahun 1960-an. Andang saat ini hanya tinggal berdua dengan istrinya, Hj. Suleha. Kelima anaknya telah berumahtangga dan tinggal di luar kota sehingga hanya sesekali saja mengunjunginya.

Menurutnya, lagu-lagu daerah Using Banyuwangi itu memiliki keunikan tersendiri yang tak dipunyai oleh daerah lain. Misalnya, jenis nada yang pentatonik, irama dan dinamika yang rancak, lirik lagu yang mengandung unsur perjuangan. Mayoritas lagu daerah Banyuwangi diiringi oleh alat musik kendang. Jadi, ketika seseorang mendengar iramanya, rasa-rasanya irama tersebut mendorong tangan dan kaki bahkan seluruh tubuh untuk bergerak dan bergoyang menikmati irama lagu tersebut. Andang menambahkan, lirik-lirik lagu daerah Banyuwangi sangat kental dengan aroma perjuangan melawan ketidakadilan dan penjajahan sejak awal penciptaannya. “Misalnya saja lagu Podho Nonton2. Lagu itu mempunyai lirik …pudhak sempal ing lelurung…yo pandhite para putra kejala ing kedungliwung…jalane jala sutra tampange tampang kencono3. Lirik lagu ini tampak ”halus”, tapi bila dicermati, lirik ini menggambarkan anak bangsa yang terkena politik devide et impera (politik adu domba). ”Anak bangsa banyak yang termakan omongan politik halus yang menghasut supaya kita saling berperang, dan penjajah mengiming-imingi kita dengan berbagai macam kekayaan,” ujar Andang. Selanjutnya, lirik itu berbunyi, ..lare angon, gumuk iku paculono, tandurono kacang lanjaran, sak unting oleh perawan4…! Artinya, mengajak masyarakat untuk berpikir jernih dan berjuang untuk melawan penjajah sehingga nantinya kita bisa menikmati hidup yang lebih layak. ”Sungguh indah lirik-lirik ini bila kita mampu menelaah arti yang lebih mendalam daripada kata-kata yang tersurat.”, kata Andang dengan telaten menjelaskan kepada saya dan Putri.

Agaknya memang benar apa yang dikatakan oleh Andang, meskipun dibungkus oleh nuansa cinta dan pengalaman hidup sehari-hari, lagu-lagu daerah Using Banyuwangi sebagian besar menggambarkan semangat perjuangan dan nilai-nilai dalam masyarakat yang harus terus dikobarkan. Konsistensi itu tetap dapat terjaga hingga pencipta baru bermunculan. Lihat saja lagu yang bertajuk “Layangan” karya Catur Arum, seorang pencipta lagu yang baru muncul tahun 2000-an. Konon, lagu “Layangan” bermakna sindiran terhadap perilaku kelompok elit politik saat maraknya isu pemilihan umum. Lagu yang sangat sederhana itu mengisahkan pemandangan di musim bermain layang-layang, bermacam-macam warna, ada merah, hijau, kuning, dan lain-lain. Warna-warna itu menggambarkan masyarakat yang terkotak-kotak oleh warna sehingga tak jarang perseturuan muncul saat suasana pemilihan umum. Penutup dalam lagu tersebut berbunyi demikian, pedhote layangan sing dadi paran, tapi ojo sampek pedhot seduluran…, artinya tidak menjadi masalah bila benang layang-layang itu suatu saat akan putus, tetapi janganlah sampai terjadi putusnya tali persaudaraan. Sungguh sebuah pesan yang mendalam.

Selama perbincangan berlangsung, tak jarang matanya menerawang jauh seperti berusaha mengenang masa silam. Ketika bercerita saat ia ditangkap dan dipenjara, roman mukanya redup dan matanya berkaca-kaca. Andang mengaku pernah ditangkap dan harus mendekam di balik terali besi selama 2 tahun setelah peristiwa pembunuhan jenderal-jenderal yang dituduhkan didalangi oleh PKI, pada 30 September 1965. Dia pernah diculik dan diasingkan di Lowokwaru, Malang selama 19 bulan, lalu dipindah ke kamp konsentrasi wilayah Kalibaru-Banyuwangi, dan terakhir dipenjarakan di Lembaga Pemasyarakatan Banyuwangi hingga akhirnya memasuki tahap rehabilitasi tahun 1967. Semasa dalam tahanan, dia dibiarkan begitu saja tanpa pernah ada tindak lanjut dari penangkapan itu. Sebelum ditangkap, pada tahun 1953-1959, Andang menjabat sebagai Kepala Sekolah SD Pondoknongko, Rogojampi. Setelah peristiwa penangkapan, ia dipecat dengan tidak hormat sehingga tidak mendapat tunjangan atau gaji sepeser pun. Akhirnya tahun 1985 dia mendapat pengampunan dari pemerintah, sehingga walaupun dipecat masih mendapat hak gaji. Hingga sekarang, Andang dan istrinya hidup dari uang pensiunan tersebut, selain dari royalti mencipta lagu.

Saat ini, Andang juga aktif dalam organisasi Dewan Kesenian Banyuwangi (DKB) dan menjadi redaktur majalah budaya Seblang. Dalam kesederhanaan yang dijalani, dia mengaku tetap merasa ikhlas dan selalu mengucap alhamdullilah serta puas karena karyanya masih bisa bermanfaat bagi orang lain. Ditanya pendapatnya mengenai lagu-lagu yang banyak beredar di tanah air masa kini, Andang menjawab, “Lagu-lagu yang muncul sekarang ini saya rasa mengalami peningkatan karena diimbangi juga dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Tapi, saya pikir lagu-lagu klasik yang dulu pun tak kalah mutu baik melodi maupun liriknya dengan yang sekarang.”

Dua jam tak terasa kami telah berbincang dan bertukar pikiran. Sebelum kami pulang, saya menanyakan adakah pesan bagi generasi muda saat ini supaya dapat menghasilkan sesuatu yang lebih berguna dan bermanfaat. Dia menjawab dengan tegas, “Kepada yang muda hanya satu pesan saya: gumuk iku paculono, tandurono kacang lanjaran5! Artinya, segala sesuatu telah tersedia dan lebih canggih sekarang ini, sebagai generasi muda maka kalian harus berpikir jernih dan lebih bekerja keras supaya hasil yang diperoleh pun lebih maksimal.”

Saya dan Putri pun berpamitan, tak lupa kami bersalaman. Di tengah perjalanan, kami bersenandung lagu Umbul-Umbul Blambangan dengan penuh semangat, walaupun saat itu gerimis mulai membasahi bumi Blambangan…
Mbul Umbul Blambangan…Mbul Umbul Blambangan…Blambangan….Tanah Jawa pucuk wetan. Sing arep bosen isun nyebut-nyebut araniro Blambangan…Blambangan6




1 Yang dibawa di atas kepala adalah tempat kinangan sirih.
2 Sama-sama melihat
3 pundak terlihat lelah dan tidak tegap di jalan-jalan, barang bawaan para lelaki tersangkut jala di Kedungliwung (nama tempat di Banyuwangi), jalanya dari sutra dan rupawan.
4 Orang-orang, ayo galilah bukit itu, tanamilah kacang panjang, satu ikat dapat seorang gadis.
5 Galilah bukit itu, tanamilah kacang panjang.
6 Bendera Blambangan.....Bendera Blambangan......Blambangan..... terletak di Pulau Jawa paling timur. Tak akan bosan aku menyerukan namamu, Blambangan..

Baca Selengkapnya..

Tuesday, January 29, 2008

Oase di Tengah Padang Keputusasaan

“Aku anak Indonesia......
…….Aku bangga menjadi anak Indonesia.....”

Jauh dalam keterpurukan dan masa depan yang serba suram tak pasti, di tengah-tengah sekumpulan manusia dengan tatapan kosong hilang harapan dan semangat hidup, ternyata masih terpancar secercah harapan yang membangkitkan optimisme untuk merenda hari esok.

Paling tidak untuk sejenak, ketika kita mendengar potongan lirik lagu yang dinyanyikan dengan penuh canda tawa oleh anak-anak korban luapan lumpur panas Sidoarjo di SDN Ketapang I dalam peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli yang lalu. Lagu dan canda tawa itu ibarat sebuah tanda yang berseru bagi kita, ”Heii….di sini masih ada gairah hidup!”. Itulah yang saya lihat dan rasakan ketika mengikuti acara yang didalangi oleh Departemen Sosial dan sebuah LSM dengan tajuk “Aku Anak Pintar dan Sehat” itu. Mereka ibarat oase di tengah padang keputusasaan dan barangkali juga amarah yang setiap saat bisa meledak.

Acara ini adalah kali pertama Hari Anak Nasional diperingati di Sidoarjo setelah bencana lumpur melanda kawasan itu setahun lalu. Pagi itu telah berkumpul sekitar 600 siswa, gabungan dari SDN Ketapang I, SDN Ketapang II, SDN Kedungbendo I, dan SDN Kedungbendo III. Sejak bencana tersebut terjadi, seluruh siswa SDN Kedungbendo I dan III terpaksa melanjutkan aktivitas belajar di SDN Ketapang karena sekolahnya telah terendam lumpur.

Devintia, seorang siswa kelas 6 SDN Kedungbendo I mengaku sangat senang bisa merayakan Hari Anak Nasional di tengah musibah lumpur panas yang menimpa keluarganya. “Aku seneng masih bisa sekolah, Mbak. Ibu dan bapak sudah tidak punya pekerjaan. Mudah-mudahan pemerintah segera berbuat sesuatu untuk kami.”, tambahnya.

Adakah orang yang masih mau mendengar harapan serta turut merasakan derita anak-anak ini? Sementara sebuah ancaman lain tengah mengintai di belakang mereka. Seorang pekerja sosial bercerita bahwa perilaku anak-anak korban luapan lumpur panas Sidoarjo mulai tidak terkendali. Mereka mulai malas belajar, bertindak kasar dan membentak-bentak bila ada yang bertanya. Hal ini senada dengan penelitian dari Universitas Airlangga yang menemukan bahwa sebagian besar korban luapan lumpur panas Sidoarjo sedang menderita secara psikologis.

Saya tersentak ketika seorang anak perempuan bertampang kumal menarik-narik jaketku dan berkata, ”Mbak, rumahnya mana? Rumahnya gak kerendem lumpur juga kan? Aku udah gak punya rumah lagi, Mbak.” Ooh…seketika itu juga saya berlutut dan membelai-belai rambutnya dan berujar, ”Adik manis, sabar ya, jangan sedih, Tuhan pasti bantu kita.”

Lalu, saya memangkunya. “Mbak, Ibu bilang Yesus pasti bantu kita. Yesus akan buatin rumah yang lebih indah, kata Ibuku. Bener itu, Mbak?”, tanyanya polos. “Iya, sayang. Yesus pasti akan bantu asal kita percaya dan terus berdoa kepada Tuhan.”, jawab saya. Ia berkata lagi, “Mbak, yuk kita doa bareng!” .Lalu Ia berdoa dengan bersuara. “Ya Tuhan, bantulah ibu bapakku. Tolonglah kami, Bapa. Kami percaya Tuhan akan tolong kami………......”.

Sekilas saya membuka mata, kesungguhan adik kecil ini terpatri jelas di raut wajahnya. “Amin”, ucapnya mengakhiri doa. Ia tersenyum memandangku. “Makasih ya, Mbak.”, katanya. Saya mengangguk. Ia pun pamit untuk kembali ke teman-temannya.

Kenyataan hidup Devintia dan teman-temannya hanya sedikit contoh dari berjuta potret buram kondisi anak-anak Indonesia yang hak-haknya tak terpenuhi. Tindakan mengabaikan hak anak sungguh bertentangan dengan semangat Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (Convention of the Rights of the Child) yang mengedepankan “…anak hidup dalam lingkungan yang harmonis…”.

Indonesia adalah negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak. Ini berarti Indonesia harus mengupayakan pemenuhan prinsip-prinsip dasar hak anak, yaitu tidak diskriminatif, mengupayakan yang terbaik untuk anak, mengedepankan kelangsungan hidup dan perkembangan anak, dan penghargaan terhadap pendapat anak.

Hingga kini sudah lebih dari 22 undang-undang yang mengatur perlindungan anak misalnya, Undang-Undang (UU) No 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak, Keputusan Presiden No 36/1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak. Selain itu, UUD 1945 Amandemen juga mewajibkan negara memenuhi hak pendidikan anak serta mengalokasikan 20 persen anggaran belanja untuk pendidikan. Namun, kenyataannya masih banyak hak-hak anak yang belum terpenuhi bahkan terkesan diabaikan.

Saya tidak ingin sepenuhnya berbicara tentang sebuah pemerintah yang lalai karena sebenarnya masing-masing kita juga bisa berperan entah sekecil apapun. Tentu pertama-tama bukan soal materi tapi yang terpenting memberikan sebuah semangat dan harapan untuk hidup. Dengan itu kita berharap mudah-mudahan mereka bisa bertahan seraya mencari kreasi baru agar kehidupannya tidak lagi sekedar mengandalkan bantuan orang lain. Sebagai pengikut Kristus, hendaklah kita meneladani kebaikan dan kepedulianNya selama di dunia.

Sekali lagi, tidaklah melulu soal materi. Kita dapat berbagi cerita, mendengar keluhan lalu mendoakannya. Dengan begitu, nyatalah cahaya Kristus di tengah-tengah dunia ini, pun semangat yang ada di dalam hati mereka tak akan pernah padam. Melalui kita—umatNya—nyala cahaya Kristus akan semakin terang. Dan saat itu pula, kita pasti telah menyadari bahwa masih ada oase di tengah padang keputusasaan mereka.

Baca Selengkapnya..