Sunday, July 13, 2008

Autisme Partai Politik

Hasil survei yang dirilis oleh Lembaga Survei Indonsi(LSI) yang menunjukkan penurunan kepercayaan masyarakat terhadap partai politik (parpol) sebenarnya tak terlalu mengejutkan. Gejala ini sebenarnya sudah mulai terbaca dalam pemilihan kepala daerah beberapa bulan terakhir. Ambil contoh kemenangan pasangan Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf yang diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN) dalam pilkada Jawa Barat dan pasangan Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho di Sumatera Utara yang juga diusung PKS.

Kemenangan calon kepala daerah di dua provonsi tersebut menunjukkan bahwa masyarakat sudah mulai kritis dan tidak percaya kepada parpol besar dan mapan seperti Golkar dan PDI-P. Sebab, kemenangan kedua calon tersebut terutama lebih diakibatkan oleh figur baru dan muda ketimbang kinerja parpol sebagai mesin politik pengusung pasangan calon. Tingginya angka golput kian menajamkan argumen ini. Rakyat memilih untuk tidak memilih karena tak percaya dengan politisi parpol serta calon pemimpin yang mereka usung.

Dalam surveinya yang terbaru, LSI mengungkapkan sumber penolakan ini terutama karena rendahnya kepercayaan publik terhadap partai politik sebagai akibat dari kinerjanya selama ini yang dianggap buruk. Publik umumnya tidak percaya bahwa partai politik mampu merepresntasikan, mengintermediasi, dan mengartikulasikan kepentingan pemilih mereka. Parpol, meminjam istilah analis politik dari The Lead’s Intitute Universitas Paramadina, Bima Arya Sugiarto, mengidap autisme sosial. Mereka asik dengan dirinya sendiri, berjuang demi kepentingannya sendiri dan sibuk mengurusi konflik internal. Akibatnya, parpol mengabaikan kepentingan rakyat yang semestinya mereka usung dan tak peka terhadap kesulitan yang melilit rakyat seperti kenaikan harga bahan BBM, sembako, pupuk, kelangkaan gas dan lain-lain.

Autisme sosial parpol juga tampak dalam pertikaian yang belum juga usai di Maluku Utara. Terlepas dari siapa yang benar dalam penetapan Thaib Armayn dan Gani Kasuba sebagai pemenang, kita melihat besarnya peran parpol dalam menciptakan destabilitas di provinsi tersebut. Partai Golkar yang mengusung pasangan Abdul Gafur – Abdurahim Fabanyo ngotot dan bahkan mengancam meminta kepada Presiden agar Mendagri Mardiyanto dicopot. Lebih jauh mereka sampai mengancam akan meninjau ulang dukungan terhadap pemerintah. Akibatnya, konflik horizontal terus terjadi di Maluku Utara.

Melihat hasil survei ini, sudah saatnya parpol berbenah diri secara radikal. Kita tak bisa mengharapkan agar mereka secara sukarela memperbaiki diri. Untuk itu, diperlukan sebuah terobosan dalam memperbaiki sistem politik agar parpol tak semakin digdaya dalam demokrasi di Indonesia. Sebab, seharusnya posisi rakyatlah yang kian kuat dan menjadi pertimbangan utama pemerintah merumuskan kebijakan. Bukan seperti sekarang, parpol seperti menyandera pemerintah di DPR sehingga tak bisa menjalankan kebijakan secara efektif.

Yang tak kalah penting adalah perubahan paradigma elit parpol dalam menempatkan diri dan kader muda yang potensial. Sudah bukan jamannya mempertahankan budaya feodal dan menanggap yang muda sebagai ancaman. Elit harus peka terhadap perubahan situasi di masyarakat yang merindukan perubahan. Dengan kata lain, elit parpol harus responsive terhadap tuntutan rakyat, aspiratif terhadap keinginan mereka dan dinamis dalam menyikapi situasi. Walhasil, kepercayaan masyarakat terhadap parpol yang kian tergerus dapat ditingkatkan kembali.

*Artikel ini dimuat di Koran Sindo (Selasa,8/7/2008)

Baca Selengkapnya..