Sunday, April 08, 2007

MEMANTAPKAN IDENTITAS BANGSA MELALUI PENGEMBANGAN SENI BUDAYA DAERAH
















STUDI KASUS CAN-MACANAN KADHUK DI KABUPATEN JEMBER



BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah berpengaruh terhadap hampir setiap sudut kehidupan kita. Manusia telah mampu melampaui kendala geografis dan mempersingkat waktu dalam melakukan komunikasi dengan sesamanya. Kendala jarak seperti yang dialami nenek moyang kita dulu kini teratasi dengan ditemukannya telepon, dan yang paling dahsyat adalah jaringan internet. Internet sudah menciptakan sebuah, meminjam istilah Friedman (2006: ) “kampung global” bagi generasi sekarang ini. Fenomena ini juga menandai lahirnya abad baru yang sering kita sebut sebagai modernisasi dan globalisasi. Namun, aneka “kegaduhan” yang diciptakan oleh globalisasi selain disambut dengan penuh optimisme dan suka cita oleh beberapa pihak juga menjadi ancaman baru bagi pihak lain. Pasalnya, globalisasi dianggap telah menyingkirkan budaya lokal (local genius) yang telah dipertahankan ribuan tahun. Globalisasi mendikte dan menaklukkan budaya lain untuk diseragamkan sesuai dengan kepentingan ideologis dibaliknya. Horkheimer dan Adorno (dalam Lubis, 2004:110) mengemukakan istilah industri kebudayaan. Industri kebudayaan memiliki fungsi melegitimasi ideologi masyarakat kapitalis yang ada dan mengintegrasikan individu ke dalam kerangka kerja formasi sosial. Geertz (Dalam Mohamad, 2005:259) menyebut gejala ini sebagai “pembukuan ganda dalam hal moral” . Selanjutnya Mohamad menuliskan:
Dengan itu Geertz berbicara tentang suatu simptom, sebuah tendensi yang umum terjadi di masyarakat-masyarakat yang sedang berkonfrontasi dengan “kebudayaan modern” dan berubah. Di santu sisi orang menyimpan rencana dan impiannya untuk ikut larut ke dalam apa yang dibawa oleh modernisasi, namun di sisi lain ia memperlihatkan lambang-lambang dari segala yang justru terancam lenyap oleh proses larut itu. Di satu sisi orang asyik dengan teknologi dan gairah kepada kekayaan yang memiliki benda mutakhir - dengan semacam ketakutan kalau-kalau modernisasi semesta meninggalkannya - tapi serentak dengan itu, ada kegandrungan untuk mengukuhkan kembali sesuatu yang khas dalam diri, dengan semacam rasa takut akan sebuah keterasingan dari dunia yang ia kenal.

Friedman (2006: 595-597) memiliki pendapat yang berbeda dengan Horkheimer dan Adorno. Ia menggambarkannya sebagai berikut:
Globalisasi bukanlah suatu fenomena yang eksklusif pada bidang ekonomi dan pengaruhnya pun juga tidak eksklusif ekonomis…Khawatir akan akibat globalisasi yang menghancurkan adalah penting dan sah-sah saja; tapi, mengacuhkan kemampuannya dalam memperkuat individu maupun sumber budaya tentu juga akan menghilangkan efek positifnya yang potensial bagi kebebasan dan keragaman manusia…Inti pendapat saya bukanlah bahwa pendataran dunia akan selalu memperkaya dan melestarikan kebudayaan. Inti pendapat saya sebaliknya, bahwa pendataran dunia tidak akan selalu menghancurkan kebudayaan seperti halnya pesan-pesan yang anda dapat jika hanya mendengarkan kritik atas globalisasi saja.

Hal ini merupakan jawaban Friedman atas kritik berbagai pihak atas globalisasi yang cenderung menyeragamkan. Selanjutnya ia menulis tentang globalisasi yang ternyata juga bisa mendukung keanekaragaman dan dalam kasus tertentu justru anti penyeragaman. Ia mengatakan:
Dalam soal budaya, globalisasi atas hal-hal “lokal” adalah mengijinkan kelompok para pendukung hak asasi maupun kelestarian lingkungan hidup lokal untuk ikut ambil bagian dan merasakan solidaritas dalam komunitas internasional…Kenyataannya internet telah memperbesar kemampuan individu untuk mencipta dan menuliskan kisahnya sendiri pada dunia, baik secara individu maupun sebagai bagian dari komunitas.

Kabupaten Jember sebagai bagian dari komunitas global juga terkena dampak globalisasi. Sebagaimana diketahui bahwa kesenian daerah selalu mengalami kemunduran. Seperti yang telah disebutkan di atas, hal tersebut dipengaruhi oleh perkembangan aneka ragam bentuk seni masa kini yang lebih menjanjikan dari sisi nilai hiburan. Artinya, cenderung mengikuti arus dan selera dari penikmatnya yang kebanyakan bersifat hedonis. Oleh karena itu, tidak heran apabila banyak ragam seni tradisi yang terancam punah. Bahkan, kelompok-kelompok seni yang mencoba mempertahankan eksistensi kesenian tradisional tertentu dan berusaha hidup dari kesenian tersebut, seringkali terancam gulung tikar. Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa upaya korporasi-korporasi global yang menciptakan budaya popular atau budaya massa melalui propaganda iklan telah turut meneggelamkan keberadaan kesenian daerah. Labelisasi tradisional, kuno, ketinggalan jaman dan “gak gaul” pada seni budaya daerah telah mendorong generasi muda untuk mengikuti seni budaya yang dianggap modern. Kapitalisme global berhasil membangun meminjam istilah Barthes, mitos di sekitar budaya-budaya yang diciptakannya. Mitos itu misalnya tentang perempuan cantik yang dicitrakan berambut lurus, hitam, berkulit putih, langsing dan bergigi putih, serta sering menonton MTV. Tahapan menuju idealisasi itu “memaksa” seseorang untuk menggunakan produk-produk kosmetik tertentu. Adorno (dalam Piliang, 2003:89) menggambarkan hal ini bahwa:
Setiap orang harus bertingkah laku…sesuai dengan kondisi yang sebelumnya telah direncanakan dan ditentukan baginya, dan memilih kategori produk massa yang dibuat khusus sesuai tipologi mereka, dan mereka dikelompokkan berdasarkan pendapatan ke dalam daerah merah, hijau, dan biru.

Menghadapi realitas di atas, layak dan realistis untuk kita renungkan ungkapan yang menyatakan bahwa kita tidak perlu menangisi tradisi. Apalagi, mengorganisir dan menyatukan seluruh seniman dan budayawan untuk menabuh genderang “perang” terhadap budaya modern. Seni dan budaya daerah bukanlah suatu yang bersifat absolut, statis dan selesai (taken for granted). Ia akan terus berkembang sesuai dengan kebutuhan manusia. Sebagaimana menurut Kleden (2001:18-20):
kebudayaan tidak cukup hanya dipandang sebagai nilai dan norma, tetapi dapat dan harus juga dipandang sebagai wacana, yaitu sebagai hasil bentukan dan hasil konstruksi sosial dari sekelompok orang dalam mencari orientasi kepada lingkungan hidupnya…kebudayaan bukan soal kebenaran, melainkan soal praktek dan kebiasaan.

Demikian juga dengan perilaku generasi muda yang cenderung lebih menyukai hal-hal yang diangap modern daripada seni dan budaya daerahnya masing-masing tidak serta merta dikatakan ia murtad dan melenceng dari budaya timur. Kleden menambahkan:
Anggapan bahwa ada nilai-nilai yang tak tersentuh, dan ada tingkah laku budaya yang menyimpang, yang tidak kena-mengena dengan nilai-nilai luhur tersebut, adalah suatu jalan pikiran esensialis yang melihat kebudayaan sebagai dunia platonis yang berada di luar sejarah. Secara ilmiah, hal ini jelas merupakan pengaruh positivisme yang bisa diteliti secara empiris gejala dan polanya. Positivisme hanya sanggup menangkap kehadiran sebuah kebudayaan dengan pola-polanya sebagaimana sudah terbentuk. Namun, dia gagal menangkap proses pembentukan budaya itu. Dalam proses pembentukan tersebut (yaitu dalam konstruksi sosial kebudayaan) akan terlihat kekuatan, kepentingan, dan berbagai ide yang membentuk suatu kebudayaan dalam suatu konteks sejarah yang konkret. Setiap kebudayaan ada riwayat hidupnya, dan konstruksi sosial adalam semacam biografi tentang kebudayaan bersangkutan.

Dengan fenomena tersebut, semangat pelestarian dan pengembangan aneka ragam seni budaya tradisional tidak harus dimaknai sebagai budaya tandingan (culture counter) atas pengaruh budaya luar. Bukan pula “mengamankan” kesucian dan kesakralan budaya daerah dari arus perubahan dengan pandangan yang sempit dan fanatisme yang berlebihan. Melalui upaya penanganan yang serius dan strategi pengembangan yang profesional diharapkan aneka ragam seni budaya tradisional di Kabupaten Jember dan Juga daerah lainnya mampu menjadi penanda yang memantapkan identitas bangsa sekaligus mampu mendatangkan keuntungan ekonomis, baik bagi pemerintah maupun bagi kelompok seniman dan budayawan. Oleh sebab itu, upaya pengembangan seni budaya tradisional harus melibatkan berbagai pihak, baik instansional, peneliti, budayawan, maupun kelompok seniman yang terlibat langsung dalam pementasan-pementasan, sehingga upaya pengembangan berlangsung semaksimal mungkin.

1.2. Rumusan Masalah
Uraian pada latar belakang masalah tersebut memunculkan tiga masalah utama yang dibahas. Tiga masalah utama tersebut adalah:
1. Bagaimana potensi seni budaya daerah di Kabupaten Jember meliputi nilai ekstrinsik yang mencakup aspek kebudayaan, sosial ekonomi, pendidikan, dan ilmu pengetahuan dalam memantapkan identitas bangsa?
2. Bagaimana potensi aneka ragam seni budaya daerah Kabupaten Jember meliputi nilai intrinsik yang mencakup aspek performance art, dan kekhususan, dan repon masyarakat.
3. Bagaimana konsep pembinaan dan pengembangan terhadap aneka ragam seni budaya daerah di Kabupaten Jember sebagai upaya memantapkan identitas bangsa?



1.3. Tujuan
Penulisan ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan potensi kesenian Can-Macanan Kadhuk di Kabupaten Jember ditinjau dari aspek nilai ekstrinsik yang meliputi aspek kebudayaan, sosial ekonomi, pendidikan dan pengetahuan yang dapat memantapkan identitas bangsa.
2. Mendeskripsikan potensi kesenian Can-Macanan Kadhuk di Kabupaten Jember dari aspek intrinsik yang meliputi aspek performance art, kekhususan , dan respon masyarakat.
3. Membuat rekomendasi konsep pembinaan dan pengembangan kesenian Can-Macanan Kadhuk di Kabupaten Jember sebagi upaya memantapkan identitas bangsa.

1.4. Manfaat
Penulisan ini diharapkan bermanfaat bagi berbagai kalangan.
1. Bagi Pemerintah Kabupaten Jember, penulisan ini dapat dijadikan sebagai masukan dalam menentukan kebijakan pembangunan, khususnya dalam kaitannya dengan pengembangan kesenian Can-Macanan Kadhuk dan budaya daerah khas Jember lainnya.
2. Bagi kelompok masyarakat terkait, seperti budayawan, pekerja seni, penulisan ini dapat dijadikan referensi dalam mengelola dan mengembangkan secara professional aneka ragam seni budaya daerah di Kabupaten Jember
3. Bagi masyarakat Kabupaten Jember, aktivis mahasiswa dan kelompok masyarakat lainnya, hasil penulisan ini diharapkan mampu meningkatkan kesadaran akan arti penting seni budaya daerah dalam upaya memantapkan identitas bangsa serta mampu memberi kritik dan masukan yang membangun.
4. Mempromosikan Kabupaten Jember secara umum.


1.5. Tinjauan Pustaka
1.5.1 Kesenian
Sebelum membahas lebih lanjut kita perlu menjawab pertanyaan apakah yang dimaksud dengan kesenian itu? Boss dan Herkovits (dalam Budhisantoso, 1981/1982: 24-25) memberi batasan kesenian sebagai berikut:
…kesenian itu sebagai suatu yang dapat membangkitkan perasaan menyenangkan (pleasurable sensations). Suatu kegiatan akan membangkitkan perasaan keindahan apabila ia dilakukan dengan memenuhi persyaratan teknis tertentu dalam prosesnya sehingga mencapai standard of excellence.
Pertanyan berikutnya ialah mengenai standard excellence itu sendiri. Dengan kata lain, kesenian dapat diartikan sebagai penghias kehidupan sehari-hari yang dicapai dengan kemampuan tertentu dan mempunyai bentuk-bentuk yang dapat dilukiskan oleh pendukungnya dan dapat dianggap sebagai manifestasi segala dorongan yang mengejar keindahan dan karenanya dapat meningkatkan kesenangan dalam segala tahap kehidupan.
Oleh sebab itu, sekurang-kurangnya ada dua aspek kesenian yang perlu diperhatikan, yaitu konteks estetika atau penyajiannya yang mencakup bentuk dan keahlian yang melahirkan gaya. Dan konteks arti (meaning) yang mencakup pesan dan kaitan lambang lambangnya [sic]

Kesenian tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat. Sebagian [sic] salah satu bagian yang penting dari kebudayaan, kesenian adalah ungkapan kreativitas dari kebudayaan itu sendiri ( Kayam, 1981/1982: 52).
Pada bagian sebelumnya penulis sudah menyinggung perihal kian tergusurnya kesenian tradisional oleh kesenian modern yang lebih menghibur. Namun, perlu dicatat bahwa kesenian dan hiburan tidak identik. Sedyawati (2006: 130-131) memberi kriteria dasar yang dapat digunakan untuk membedakan keduanya:
“seni” yang sering juga disebut sebagai “seni adiluhung: adalah jenis ungkapan seni yang mempunyai implikasi kepada perenungan; didukung oleh teknik yang cukup rumit; ada perangkat konsep yang mendasarinya.
“hiburan” sifatnya langsung merangsang panca-indra atau juga tubuh untuk mengikuti dengan gerak; mementingkan sifat glamur dan sensasional.

Melalui pembedaan seperti di atas dapat dikatakan bahwa seni mengandung nilai-nilai luhur suatu masyarakat tertentu, berbeda dengan hiburan yang yang hanya mengandung unsur glamour. Namun, bukan berarti seni dan hiburan selalu saling bertentangan karena dalam beberapa hal keduanya juga saling melengkapi. Bahkan, seperti yang diutarakan sebelumnya seni yang mampu bertahan adalah seni yang dapat mempertahanan nilai hiburannya yang cenderung berubah dari waktu ke waktu.

1.5.2. Kebudayaan

Menurut Lubis, Istilah kebudayaan, yang dalam bahasa inggris culture, secara umum memiliki dua pengertian berbeda. Pertama adalah pengertian kebudayaan sebagai belles letters, yang membedakan antara kebudayaan rendah (popular, massa). Kedua adalah kebudayaan yang diartikan sebagai kebiasaan-kebiasaan khusus, adat-istiadat, dan pandangan dunia satu komunitas manusia. Dalam hal ini saya lebih cenderung memilih konsep kebudayaan yang kedua karena lebih cocok dengan tema pembahasan ini, yaitu kebudayaan selalu diklasifikasikan sepanjang garis geopolitik, kontinen, dan bangsa tertentu.
Seperti yang sudah penulis sebutkan pada latar belakang, perkembangan kebudayaan manusia dewasaini sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian memudahkan manusia dalam berinteraksi. Oleh sebab itu, menurut Budhisantoso (1980: 13).
kebudayaan manusia di dunia ini, cepat atau lambat, mengalami perkembangan sesuai dengan bertambahnya kebutuhan serta perkembangan kemampuan masyarakat yang mendukungnya. Dengan kata lain kebudayaan itu mengadaptasikan dirinya dengan lingkungan. Perkembangan kebudayaan itu bisa terjadi karena kekuatan dari dalam seperti penemuan-penemuan (inventions) dan pengolahan (discoveries) yang mampu memenuhi berbagai macam kebutuhan baru yang dirasakan oleh masyarakat bersangkutan, ataupun karena kekuatan dari luar seperti persebaran unsur kebudayaan (diffusion) baik yang diterima sebagaimana adanya maupun yang merangsang perkembangan lebih lanjut (stimulus diffusion). Perkembangan kebudayaan dapat pula terjadi karena pengaruh kedua belah pihak, yaitu pengaruh kekuatan dari dalam dan kekuatan dari luar secara bersama.
Kebanyakan kebudayaan manusia di dunia, lebih-lebih di masa kini, hampir tidak mungkin berkembang dengan mengandalkan kekuatan dari dalam dan menunggu penemuan maupun pegolahan setempat. Pengaruh dari luar sangat penting artinya dalam perkembangan kebudayaan umat manusia baik sebagai unsur baru maupun sebagai perangsang (stimulus).

Dari penjelasan di atas kita dapat mengatakan bahwa tumbuh, hilang dan berubahnya suatu kebudayaan tidak terlepas dari perkembangan material masyarakat. Artinya, kebudayaan bukan suatu yang ajeg dan mandeg tetapi berubah sesuai situasi dan kondisi masyarakat yang menciptakannya. Barangkali itu yang melatarbelakangi ungkapan seperti penulis sebutkan pada bab sebelumnya. Sehingga, menurut Buhisantoso boleh dikatakan bahwa:
kebudayaan-kebudayaan yang ada kini berkembang tidak mempunyai keaslian lagi. Kalaupun ada unsur-unsurnya yang asli, maka “keaslian”nya, yang berasal dari penemuan-penemuan ataupun pengolahan-pengolahan setempat itu, tidak akan melebihi 15% dari keseluruhan unsur-unsur kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Sejarah kebudayaan manusia di dunia ini dipenuhi kontak-kontak antarbangsa yang dilanjutkan dengan tukar-menukar kebudayaan. Selanjutnya, persebaran unsur-unsur kebudayaan dari berbagai kebudayaan itu mengalami proses lebih lanjut, sesuai dengan kebutuhan serta kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk menyerap secara aktif dalam lingkungannya.

Kalau dirujuk akar sejarahnya akan sulit bagi kita untuk berbicara mengenai ke”murni”an suatu kebudayaan bahkan agama. Bisakah kita menyangkal bahwa agama kita—Hindu, Budha, Islam, Kristen dan Katolik—adalah agama “asing” alias agama impor juga dari Arab, Belanda, Portugis dan India? Lalu apakah dengan kenyataan itu kita harus menolak dan melepaskan semua agama itu sekarang juga? Jadi sangat konyol apabila ada ungkapan yang bernada anti budaya “asing” tanpa melihat unsur-unsurnya secara menyeluruh apalagi dengan mengabaikan proses sejarah budaya yang dikatakan lokal atau asli itu sendiri. Dahana dalam Kompas (16/7/06, hlm.52) mengatakan:
Jika Mangkunegara IV mengidentifikasi diri dan ontologi Jawa dari penanggalan dan kedatangan seorang pangeran India, Ajisaka, pada 76 Masehi; bila orang-orang minang memandang nenek-moyangnya pada Bundo Kanduang yang dibangun dan didirikan oleh Adityawarman keturunan Majapahit…Maka sesungguhnya tak ada satu pun etnik, bahkan subetnik yang dapat mengklaim dirinya sebagai satu entitas yang unik, genuine atau asli. Tak satu pun. Yang ternyata bisa kita sadari dan akui: aku atau kita adalah sesutau [sic] yang tersusun dari pecahan-pecahan identitas orang lain; sebuah mosaik yang kemudian kita sebut sebagai tradisi….

1.6. Metode Penulisan
Sehubungan dengan tujuan utama dari penulisan ini adalah untuk mendeskripsikan kesenian Can-Macanan Kadhuk di Kabupaten Jember yang dapat memantapkan identitas bangsa dan membuat rekomendasi konsep pembinaan dan pengembangan seni budaya daerah sebagi upaya memantapkan identitas bangsa, maka penulisan akan menggabungkan metode analisis deskriptif. Menurut Coplin (1992):
… analisis deskriptif tujuannya untuk mendeskripsikan apa yang ada atau apa yang sudah ada. Proses analisis deskriptif meliputi berbagai macam teknik dan gaya. Analisis mungkin saja menggunakan intuisi atau metode-metode yang lebih sistematis untuk membangun ide. Dia bisa membangun suatu deskripsi dengan menyusun sekumpulan deduksi yang saling berkaitan dari satu atau lebih penggalan informasi, atau dia bisa saja mengambil sejumlah informasi kemudian berupaya membuat beberapa generalisasi. Pemaknaan deskriptif sebenarnya bisa menggunakan bentuk verbal murni, yaitu suatu eksplanasi yang didasarkan atas beberapa data statistik, atau kombinasi antara kedua bentuk tadi.

Sedangkan sistematika penulisan, pada Bab I akan menguraikan tentang latar belakang penulisan, Bab II membahas gambaran umum Kabupaten Jember, Bab III Menguraikan ragam kesenian dan budaya daerah Kabupaten Jember, Bab IV mengenai analisis potensi kesenian Can-Macanan Kadhuk di Kabupaten Jember untuk memantapkan identitas bangsa, Bab V berisi kesimpulan dan saran.

1.7. Metode Pengumpulan Data
Adapun metode pengumpulan data yang penulis lakukan adalah dengan menggali sumber-sumber primer dan sekunder. Sumber primer yaitu data yang diperoleh langsung dari si pelaku, dalam hal ini penulis akan menggunakan metode wawancara, sedangkan sumber sekunder yaitu data yang tidak diperoleh langsung dari lapangan melainkan dalam bentuk buku, karya ilmiah atau hasil-hasil peneliti sebelumnya yang diperoleh dari berbagai sumber, antara lain:
1.Perpustakaan Pusat Universitas Jember
2.Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember
3.Koran dan Majalah
4.Internet
5.Perpustakaan pribadi
6.Sumber-sumber lainnya




1.7.1. Metode Analisa Data
Data yang telah terkumpulkan selanjutnya dilakukan klasifikasi, yakni memilah-milah data yang mendukung tema dan maksud penulisan serta layak dan tidak layak untuk dianalisis. Data yang layak dan mendukung selanjutnya dianalisis untuk menghasilkan deskripsi profil seni budaya daerah di Kabupaten Jember.

BAB II
GAMBARAN UMUM KABUPATEN JEMBER


2.1. Profil Potensi Daerah Kabupaten Jember
Secara geografis Kabupaten Jember terletak pada posisi 6027’29” - 7014’35” Bujur Timur dan 7059’6” - 8033’56” Lintang Selatan. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bondowoso dan sedikit Kabupaten Probolinggo, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Banyuwangi, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia dan Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lumajang.
Jember, kabupaten Terbesar ketiga di Jawa Timur ini terletak kurang lebih 190 Km di sebelah timur ibu kota Jawa Timur Surabaya. Dari Surabaya, perjalanan ke kabupaten Jember memakan waktu sekitar empat jam melalui jalan darat dengan transportasi umum Bus dan kereta api.
Kabupaten Jember terbagi dalam 31 kecamatan yang terdiri dari 225 desa dan 22 keluarahan dengan luas wilayah 3.293 km2, yang meliputi pegunungan di sebelah utara dan timur, daerah lembah yang subur di bagian tengah dan selatan serta berbatasan dengan Samudera Indonesia yang kaya akan potensi kelautan maupun perikanan serta daya tarik pariwisata yang eksotik.
Tanahnya yang subur menjadikan kabupaten ini dapat ditanami berbagai tanaman, buah-buahan, sayur-mayur, komoditi perkebunan seperti tembakau, kopi, cokelat, karet dan lain sebagainya. Hal ini juga didukung dengan curah hujan yang relatif cukup, yaitu rata-rata 234,25 mm pertahun, kelembaban 70-90 % dan suhu udara 25˚C-33˚C.
Kabupaten yang berpenduduk 2.239.575 jiwa—yang umumnya adalah imigran—ini memiliki kepadatan penduduk 648 jiwa/km2.
Kabupaten Jember juga dikenal dengan agroindustrinya. Selain komoditi andalan Tembakau, karet, kopi dan kakao, Jember juga dikenal sebagai sentra produksi jeruk siam di Jawa Timur-bahkan terbesar di Jawa Timur. Selain sebagai salah satu lumbung padi di Jawa Timur, Jember juga mengembangkan budidaya tanaman alternatif lainnya seperti kedelai jepang “Edamame” dan ”Mukimame”, Serta Buah Naga atau Dragon Fruit yang memiliki nilai ekspor tinggi.
Komoditas perkebunan Jember lainnya yang telah dikenal di seantero dunia adalah Tembakau. Jenis tanaman yang daunnya digunakan sebagai logo pemerintah Kabupaten Jember ini sangat dikenal di pasar Tembakau dunia di Bremen. Kabupaten Jember dikenal dengan Tembakau Na-Oogst dan Vor Oogst sebagai bahan cerutu dan rokok kretek yang nilai ekspornya mencapai kurang lebih Rp.350 Milyar per tahun.
Komoditas perkebunan yang tidak kalah penting di Kabupaten Jember adalah buah-buahan. Kabupaten Jember terkenal dengan buah durian yang manis, buah rambutan yang renyah dan manis serta buah jeruk siam yang berhasil meraih predikat paling manis dalam kontes jeruk nasional yang diadakan beberapa tahun lalu. Sebagai sentra produksi jeruk terbesar di Jawa Timur, luas lahan yang ditanami komoditas ini sekitar 11.800 Hektare atau 5.894.322 pohon jeruk produktif dengan produksi mencapai 238.377 ton/tahun dengan nilai Rp.288.500,-per kwintal.
Sektor perkebunan lain yang dikenal di Jember yaitu, karet, kopi dan kakao/cokelat yang pengelolaanya dibawah PTPN XII. BUMN ini saat ini juga sedang mencoba untuk mengembangkan tanaman keras seperti Sengon Laut dan Jati Pusaka. Di samping itu, Kabupaten Jember juga dikenal sebagai salah satu sentra tanaman tebu di Jawa Timur yang pengolahannya dilakukan oleh pabrik gula/PG Semboro.

2.1.1. Pariwisata
Kabupaten Jember dikenal memiliki beragam potensi wisata alam, wana wisata, dan wisata pantai yang indah dan eksotik.
Untuk wisata pegunungan, terdapat pesona alam Rembangan dan air terjun Tancak. Kawasan wisata Rembangan yang terletak 10 km arah utara kota Jember dikenal berhawa sejuk karena terletak di lereng pegunungan Argopuro. Obyek wisata yang terdiri dari bangunan hotel dan pemandian ini dibangun oleh Mr. Hofstide pada tahun 1937. Sebagai satu-satunya alam pegunungan yang berlokasi di Desa Kemuninglor Kecamatan Arjasa, Rembangan memang membuat orang yang berkunjung betah berlama-lama. Karena selain berhawa sejuk dan segar rembangan juga cocok dijadikan sebagai area berkemah keluarga dan wisata bersepeda gunung atau kegiatan lain yang bisa menyegarkan badan dan melepaskan stress kerja.
Potensi wisata alam yang lain adalah Wanawisata. Wanawisata ini terletak di hamparan hutan alam di kawawsan Taman Nasional Meru Betiri di kecamatan Ambulu, Tempurejo dan Silo yang dikenal dengan kekayaan alamya berupa berbagai jenis tanaman dan berbagai spesies binatang serta beraneka ragam burung. Masih di kawasan Taman Nasional Meru Betiri juga terdapat obyek wisata pantai yaitu Bande Alit. Obyek wisata ini terletak di kecamatan Tempurejo yang berjarak sekitar 35 Km dari kota Jember.
Bagi anda yang menyukai suasana pantai, Jember juga bisa dijadikan sebagai alternatif untuk berwisata. Pantai-pantai di Jember dikenal memiliki keindahan yang menawan dan saat ini terus dikelola secara professional oleh Pemerintah Kabupaten Jember. Salah satunya adalah Pantai Watu Ulo. Pantai ini sangat terkenal di Jember dan menjadi salah satu tujuan utama turis lokal, nasional, maupun manca negara. Pantai ini dikenal dengan ombaknya yang besar dan panorama alam yang indah. Jaraknya sekitar 33 km ke arah selatan kota Jember, terletak di Desa Sumberejo Kecamatan Ambulu. Yang membuat pantai ini terasa istimewa dan khas adalah panorama alamnya yang memadukan keindahan pantai dengan gugusan karang di tengah laut. Watu Ulo atau batu ular diambil dari nama gugusan batu bersisik yang menjorok ke laut yang mirip seeokor ular di pantai ini.
Obyek wisata pantai yang lain adalah Pantai Bande Alit. Obyek wisata ini berada dalam kawasan Taman Nasional Meru Betiri, tepatnya berada di desa Andongrejo Kecamatan Tempurejo sebagai pintu gerbang dari Jember, kurang lebih berjarak 60 Km Ke arah Barat Daya dari kota Jember.
Dari segi topografi, sebagian Kabupaten Jember di wilayah selatan merupakan dataran rendah yang relatif subur untuk pertanian. Sedangkan di bagian utara merupakan daerah perbukitan dan pegunungan yang relatif baik bagi pengembangan tanaman keras dan tanaman perkebunan.

2.1.2. Pertambangan
Dari topografi alam tersebut, Kabupaten Jember juga memiliki potensi beberapa jenis tambang atau galian seperti; batu piring, batu kapur/gamping, batu kali dan sebagainya. Batu kapur terdapat di kecamatan Puger dan Wuluhan dengan luas areal mencapai 67.408 Ha. Hasil tambang dari daerah ini memberi kontribusi yang cukup besar terhadap pendapatan asli daerah.
Disamping batu kapur, Kabupaten Jember juga memiliki tambang batu piring (lava andesit) seluas kurang lebih 2 Ha yang terdapat di Kecamatan Paku sari dan Kalisat. Sebagai bahan banngunan, batu piring selain untuk memenuhi permintaan pasar lokal juga banyak diekspor ke Jepang, karena konstruksi dan arsitektur bangunan negeri sakura itu banyak menggunakan batu piring sebagai ornamen bangunan tempat tinggal.

2.1.3. Perkebunan
Kabupaten Jember terkenal sebagai penghasil salah satu Tembakau terbaik di dunia. Namun sebetulnya, selain tembakau masih banyak komoditi perkebunan andalan yang terdapat di Jember seperti karet, kopi, teh dan kakao.
Berikut beberapa produk perkebunan Kabupaten Jember:
1. Tembakau
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah Kabupaten Jember untuk mengatasi permasalah pertembakauan di Jember. Meskipun permasalah itu tergolong klasik, dimana harga jualnya di pasaran sangat bergantung pada pihak pabrikan (pabrik rokok). Maka agar para petani khusunya petani tembakau Jember tidak selalu berada di pihak yang dirugikan, berbagai upaya dan terobosan terus ditingkatkan dari tahun ke tahun. Salah satunya adalah Pemerintah Kabupaten Jember berusaha menjembatani dua kepentingan antara petani dengan pengusaha melalui pola kemitraan.
Tembakau merupakan salah satu mata dagangan yang bersifat fancy product yang dikonsumsi untuk dinikmati, sehingga mengutamakan kualitas. Konsumen luar negeri menginginkan agar produk tembakau sering berubah sesuai selera. Untuk saat ini tembakau yang disukai konsumen luar negeri adalah tembakau dengan warna cerah, ukuran yang panjang dan rasa yang ringan.
Melalui potensi tanaman tembakau ini, Kabupaten Jember telah lama terkenal dan melegenda sebagai “kota tembakau” sebagai salah satu daerah produsen dan penghasil tembakau terbesar dengan produk yag berkualitas. Tidak hanya di pasar nasional, bahkan telah lama Kota Jember dikenal di beberapa negara Eropa seperti Bremen. Jerman.
Produk tembakau Jember diantaranya adalah tembakau jenis Na Oogst (NO) dan tembakau kasturi / Tembakau naungan (TBN/FIN). Dan pada musim tanam 2003 telah diuji coba tembakau jenis white burley pada lahan seluas 374 hektare bekerja sama dengan PT. Phillip Moros Indonesia. Sedang Tembakau jenis Na Oogst dan Kasturi pada musim tanam 2003 luas tanamnya masing-masing sekitar 11.958 hektare dan 6.414 hektare, dengan kapasitas produksi masing-masing mencapai 14.269 ton/tahun (1,19 ton/hektare) dan 4.673 ton/tahun (0,73 ton/hektare).
Untuk pengusahaan dan pengelolaan perkebunan tembakau di Jember, dari luas area tanam sekitar 18.327 hektare, 16.575 hektare (90%) diantaranya dikelola oleh perkebunan rakyat, sedang sisanya yaitu 942 hektare dikelola BUMN / PTPN X dan 855 hektare dikelola oleh perkebunan swasta.
Guna melindungi kepentingan para petani tembakau Jember dan untuk meningkatkan pangsa pasar tembakau ke beberapa pasar mancanegara, Bupati Jember telah menjajaki kerjasama dengan perwakilan pemasaran tembakau di beberapa negara Eropa seperti Belanda. Agar produk tembakau tidak hanya memenuhi pasar Bremen, Jerman tetapi juga dapat memenuhi pasar negara-negara Eropa lainnya. Pada tahun 2002, volume ekspor produk tembakau asal Jember mencapai 17.932 ton / tahun dengan nilai ekspor sebesar US$ 43,7 juta.
Bahkan pekan lalu, untuk mengatasi masalah tembakau secara serius, Bupati Jember mengajak beberapa daerah penghasil tembakau di Jawa Timur untuk bekerjasama dan bersama-sama menerapkan pola manajemen pengawasan (permintaan dan penawaran) tembakau dan juga pola kemitraan antara pengusaha dan petani tembakau, seperti PT. Phillip Moris Indonesia dimana resiko produk dan pasarnya dijamin oleh petani dan perusahaan.
Peluang pasar tembakau baik jenis NA Oogst, Kasturi dan White berkualitas baik masih terbuka peluang dan prospektif. Terbukti dari tahun ke tahun jumlah permintaan dari buyer dan konsumen luar negeri yang diwujudkan dalam LoI (Letter of Intent) terus mengalami peningkatan.
2. Industri Bobbin
Satu-satunya BUMN yang mengelola tembakau di Jember adalah PT. Perkebunan Nusantara X (PTPNX) yang berlokasi di Kecamatan Arjasa. Dalam upaya mengantisipasi persaingan pasar utamanya di Luar negeri, selain memasarkan produk tembakau secara langsung, PTPN X juga mengembangkan melalui unit Industri BOBIN dan Koperasi Karyawan Kartanegara.
Produk tembakau yang dipasarkan secara langsung selain di pasar lokal juga ekspor diantaranya jenis Na Oogst dan Kasutri (TBN / FIN). Jenis tembakau musim tanam 2003 yang telah dipasok ke pasar ekspor untuk jenis Na Oogst mencapai 7.505 bal/carton (705.310) dan 14.912 bal/carton (1.134.951) kg ke berbagai negara-negara Eropa seperti Swiss, Denmark, Belanda, Belgia, Jerman, Prancis, dan Amerika Serikat (USA).
Industri Bobbin membawa manfaat yang sangat besar, diantaranya menyerap tenaga kerja / membuka lapangan kerja baru, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatnya jumlah uang yang beredar dan sebagai salah satu contoh keberhasilan kerjasama dengan pihak asing. Pada tahun 2003, industri Bobbin PTPN X telah memproduksi sebanyak 700 juta potong (bungkus) dengan tenaga kerja sebanyak 931 orang yang mayoritas adalah wanita.
Koperasi karyawan kartanegara (kopkar Kartanegara) PTPN X juga turut memproduksi sekaligus memasarkan produk tembakau baik jenis Na Oogst dan TBN / FIN yang dikemas menjadi cerutu yang berkualitas dan sesuai standart / keinginan konsumen. Pembuatan cerutu kopkar Kartanegara dilakukan secara manual atau “hand made”.
Produk cerutunya sangat beragam baik dari segi ukuran maupun merk. Diantaranya adalah cerutu dengan tembakau isi terpotong atau “Soft filter” (Argopuro, Bali), cerutu dengan tembakau utuh atau “Long Filter” (MD, LA) dan cerutu kecil atau “Small Cigar” (Al Capone, Maco/Mcho Filter, Mcho Jepang). Untuk tahun 2003, hasil penjualan cerutu oleh kopkar kartanegara PTPN X telah mencapai sekitar 2.721.040 batang. Dan sekitar 2.337.600 batang untuk jenis Small Cigar merk macho Jepang dikonsumsi/dipasok ke Jepang dan sisanya sekitar 383.440 batang untuk konsumsi dalam negeri.
3. Kopi dan Kakao
Tanaman kopi dan kakao (cokelat) juga potensial ditanam di areal di Kabuaten Jember. Karena potensi tersebut, pengelolaannya tidak hanya dikelola oleh rakyat tetapi juga dikelola oleh pihak BUMN (PT. Perkebunan Nusantara XII), perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) dan swasta. Total area perkebunan kopi di Jember 16.882 hektar dengan penguasaan kopi rakyat seluas 4.911 hektare yang tersebar di 27 kecamatan dengan luas areal terluas berada di kecamatan Silo. Selanjutnya sebanyak 14 kebun dengan luas areal 6.009 hektar dikelola oleh PT. Perkebunan Nusantara XII (PTPN XII), 7 kebun seluas 2.267 hektar dikelola oleh Perusahaan DAERAH Perkebunan (PDP) dan 10 kebun dikelola swasta dengan luas areal 3.695 hektar dikelola oleh pihak swasta.
Produktifitas tanaman kopi dalam setiap hektarnya untuk kopi rakyat mencapai 6,40 ton, perusahaan melalui PTPN XII mencapai 4,09 ton, pengusahaan kopi melalui PDP mencapai 5,99 ton dan pengusaaan oleh swasta mencapai 5,24 ton. Sehingga, nilai dan volume ekspor tanaman kopi Jember pada tahun 2002 mencapai 2.419 ton dengan nilai sebesar US$ 2,3 juta.
Sementara itu untuk komoditi tanaman perkebunan Kakao di Jember dari total luar areal 4.641 hektar semua diusahakan oleh perusahaan perkebunan seperti PTPN XII mengelola 4 kebun dengan luas 3.914 hektar, 3 kebun seluas 216 hektar dikelola oleh PDP dan sebanyak 5 kebun dikelola oleh pihak swasta dengan luas areal 511 hektar.
Dalam setiap hektar, produktifitas tanaman perkebunan kakao yang dikelola oleh PTPN XII mencapai 3,27 ton. Sedangkan yang dikelola oleh PDP dan swasta masing-masing mencapai 4,93 ton dan 7,67 ton. Pada tahun 2002 untuk tanaman kakao Jember volume ekspornya mencapai 1.433 ton atau senilai US$ 2,16. Selain kopi dan kakao juga komoditi lain yang banyak ditanam antara lain : tebu, cengkeh, panili, lada, kelapa dan tanaman perkebunan lain.
Berikut data tentang potensi Kabupaten Jember yang dikeluarkan Oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Jember:
Luas Wilayah:
Hutan
:
121.039,61 ha
Perkampungan
:
31.877 ha
Sawah
:
86.568,18 ha
Tegal
:
43.522,84 ha
Perkebunan
:
34.590,46 ha
Tambak
:
368,66 ha
Rawa
:
35,62 ha
Semak/padang rumput
:
289,06 ha
Tanah rusak/tandus
:
1.469,26 ha
Lain-lain
:
9.583,26 ha
Sumber: http://pemkabjember.go.id/v2/selayangpandang/kondisi_umum.php

2.1.4. Sosial Politik dan Pemerintahan
Dalam mewujudkan pembangunan di era otonomi daerah, khususnya sejak diimplementasikan UU Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, Pemerintah Kabupaten Jember di bawah kepemimpinan MZA. DJALAL sebagai Bupati dan KUSEN ANDALAS sebagai Wakil Bupati mengusung slogan “Membangun Desa Menata Kota Untuk Kemakmuran Bersama” serta memiliki visi yaitu “Terciptanya pelayanan aparatur pemerintahan yang kreatif, bersih, dan berwibawa untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, religius, dan bermartabat.
Untuk mewujukan visi ini, Pemerintah Kabupaten Jember merumuskan 5 (lima) misi yang akan diemban dalam mewujudkan visi secara operasional yaitu:
1.Menyelenggarakan pemerintahan yang kreatif dan berkualitas
2.Memberdayakan pendidikan formal dan informal
3.mengembangkan potensi daerah secara optimal
4.menekan angka kemiskinan dan pengangguran
5.memperkuat sarana dan prasarana pembangunan.

Dalam konteks sosio-politik Jember sering dianggap sebagai wilayah yang rawan konflik. Beberapa peristiwa yang menjadikan pembenar justifikasi tersebut antara lain: (a) Peristiwa Jenggawah, konflik antara petani dan pihak PTPN X di Jember, (B) Kasus perebutan tanah antara penduduk dan militer di Sukorejo Jember, dan beberapa kasus konflik agrarian lainnya yang melibatkan militer, pemerintah dengan petani dan buruh tani.
Komposisi masyarakat Jember terdiri-dari perpaduan berbagai macam etnis seperti Madura dan Jawa yang dominan, Osing, Tionghoa dan kelompok suku lainnya. Hal ini menyebabkan ragam kesenian dan budaya daerah yang muncul juga merupakan perpaduan berbagai macam cirri budaya yang berbeda-beda tersebut. Menurut Rahardjo (2007) dalam hal kebudayaan, masyarakat di wilayah Jember dan juga Bondowoso, Situbondo, Lumajang, dan Probolinggo mempunyai keunikan dan karakteristik yang menjadikan wilayah ini dinamakan Pendhalungan. Selanjutnya ia mengatakan:
Pola interaksi dan adaptasi antarbudaya sebagai konsekuensi proses komunikasi antaretnis, tidak bisa dipungkiri, telah melahirkan sebuah varian budaya baru bernuansa hibrid yang kemudian disebut Pendhalungan. Memang sebagai dua etnis mayoritas, Pendhalungan kemudian lebih bernuansa perpaduan Jawa dan Madura. Tetapi kalau mau bicara dalam konteks yang luas, maka bisa dimunculkan tesis baru. Pendhalungan merupakan proses interaksi dan komunikasi di antara beragam etnis yang berakar dari peran sosial dan atraksi kultural masing-masing yang kemudian menghasilkan budaya hibrid. Hibridasi dalam konteks ini tidak hanya membicarakan proses perpaduan antara bermacam budaya yang menghasilkan budaya baru. Hibridasi yang terjadi di wilayah Pendhalungan merupakan hibridasi struktural dabn hibridasi kultural.

Akibatnya, muncul bahasa Jawa yang berdialek Madura, di daerah Ambulu terdapat bahasa Jawa bercampur dialek Arab karena di daera tersebut ada perkampungan Arab.

BAB III
KABUPATEN JEMBER DAN RAGAM KESENIAN TRADISIONAL

3.1. Keberadaan Kesenian Tradisional di Kabupaten Jember

Kabupaten Jember masih relatif “muda” di Jawa Timur. Meskipun masih ada perbedaan pendapat di antara para ahli mengenai hari jadi Jember yang sebenarnya. Sementara ini untuk menentukan hari jadi, Kabupaten Jember berpedoman pada sejarah pemerintahan kolonial Belanda, yaitu berdasarkan pada Staatsblad nomor 322 tanggal 9 Agustus 1928 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1929 sebagai dasar hukumnya. Dalam Staatsblad 322 tersebut, dijelaskan bahwa Pemerintah Hindia Belanda telah mengeluarkan ketentuan tentang penataan kembali pemerintahan desentralisasi di Wilayah Propinsi Jawa Timur, antara lain dengan REGENSCHAP DJEMBER sebagai masyarakat kesatuan hukum yang berdiri sendiri.
Adapun kesenian daerah Jember yang masih hidup dan berkembang hingga kini adalah sebagai berikut:
Reyog
Musik Patrol
Gambus
Hadrah
Orkes Melayu
Karawitan
Can-macanan Kadhuk
Ta-Butaan
Jidor

3.2. Deskripsi Kesenian Daerah Jember
Di bawah ini akan dideskripsikan grup kesenian tradisional yang ada di Jember. Secara sengaja hanya satu jenis kesenian yang dijadikan bahan untuk proses pendeskripsian ini yaitu Can-Macanan Kadhuk. Hal ini disebabkan karena penulis menganggap kesenian ini memiliki ciri khas yang berbeda dengan kesenian lain yang ada di Kabupaten Jember dan di luar Jember. Berbeda dengan jenis kesenian lain, misalnya Reyog yang sudah sangat terkenal dan identik dengan Kota Ponorogo dan juga kesenian lain seperti Hadrah, Gambus, dan Karawitan yang sudah tidak asing bagi masyarakat Jawa. Setidaknya ada beberapa pertanyaan dasar dalam proses pendeskripsian ini:
Makna filosofis kesenian,
Proses pementasan,
Peralatan yang dipakai saat pementasan,
Keanggotaan dari awal hingga saat ini,
Pengembangan proses kreatifitas,
Sistem keorganisasian kesenian tradisional,
Intensitas melakukan pementasan,
Sistem reorganisasi dan
Modifikasi dengan kesenian lain.

3.2.1. Kesenian Can-Macanan Kaduk
Menurut Rahardjo dan Sumar, Can-macanan kaduk merupakan kesenian yang diduga berasal dari tradisi pekerja kebun ketika mereka harus menjaga kebun dari serangan hewan liar ataupun pencuri. Kesenian ini kalau dilihat dari estetika pertunjukannya bisa dikatakan memadukan konsep kesenian Barongsai Tionghoa dan Barongan Osing serta instrumen musik Jawa. Meskipun berbeda latar historis penciptaan, Singo Ulung bisa dikatakan hampir mirip dengan Can-Macanan Kaduk, meskipun saat ini tampilan kostum dan gerakan-gerakan tarinya lebih terlihat bagus karena sudah mendapatkan sentuhan dari koreografer profesional. Sedangkan menurut Harry Krisna, Can-Macanan Kaduk merupakan variasi/tambahan dari pencak silat yang lebih menonjolkan sisi hiburannya. Dalam perkembangannya musik yang digunakan lebih rancak mengikuti selera penonton.
Di Kabupaten Jember terdapat banyak grup kesenian Can-Macanan Kadhuk. Salah satunya yang terkenal dan sering mewakili Kabupaten Jember dalam acara-acara kesenian di luar kota dan juga sering tampil untuk menyambut tamu-tamu kehormatan adalah grup Bintang Timur yang dipimpin oleh Sumar. Sumar mewarisi kesenian tersebut dari orangtuanya. Grup ini didirikan tahun 1974 dan berada di daerah Tegal Boto berdekatan dengan Kampus Universitas Jember.
Proses pementasan kesenian Can-Macanan Kaduk ini biasanya dimulai dengan burung Garuda, Can-Macanan, atraksi anak-anak, pertunjukan bela diri tangan kosong lalu penampilan atraksi berpasangan yang diakhiri dengan pertunjukan marlena. Namun, urutan-urutan ini bisa saja berubah tergantung permintaan yang “nanggap” kata pak Sumar.
Waktu pementasan biasanya malam hari dimulai sekitar pukul 21.00 WIB sampai dengan pukul 02.00 WIB.
Intensitas pementasan yang dilaksankan grup ini tergolong tinggi, meskipun tergantung pada hajatan masyarakat seperti pernikahan, khitanan atau syukuran. Dalam waktu setahun jumlah pementasan biasanya mencapai tigapuluhan lebih. Bahkan kadang harus ditolak karena tidak sanggup memnuhi banyaknya permintaan. Bulan-bulan besar biasanya menjadi puncak kesibukan grup ini. Di luar itu, menurut Pembina grup ini Drs. Harry Kresna Setiawan, untuk meningkatkan kualitas penampilan dan senantiasa melestarikan keberadaan kesenian ini, setiap dua minggu sekali diadakan latihan dengan sistem arisan. Arisan ini melibatkan beberapa grup dari berbagai tempat di Jember. Setiap grup yang mendapatkan giliran, maka pertunjukan akan diadakan di daerahnya. Daerah yang sering menjadi tempat pentas grup ini adalah daerah Kencong, Wuluhan, dan pernah juga ke luar daerah di antaranya Surabaya dan Jakarta.
Proses pengembangan kratifitas grup ini dengan cara belajar sendiri. Mereka belajar dari orang-orang yang sudah lebih dahulu berkecimpung dalam kesenian Can-Macanan Kadhuk.
Latar belakang anggota grup kesenian ini beragam mulai dari tukang becak, anak SD, SMP, SMA dan juga Mahasiswa. Jumlah personil sekali pementasan biasanya empatpuluh lima sampai dengan limapuluh orang tergantung permintaan.
Menurut Harry Kresna yang juga seorang dosen di Fakultas Sastra Universitas Jember itu, nama Can-Macanan Kadhuk itu artinya adalah Macan yang terbuat dari karung goni, karena pada awalnya dulu, macan-macanan ini memang dibuat dari karung goni.
Belakangan ini, masyarakat Jember yang berada di daerah kota umumnya tidak terlalu antusias menyambut pementasan Can-Macanan Kadhuk ini. Umumnya mereka lebih menyukai kesenian modern setiap kali melaksanakan hajatan, misalnya karaoke, dan dangdut. Hal ini berbeda dengan masyarakat desa yang sangat antusias menyambut setiap pementasan. Oleh sebab itu, pementasan lebih sering dilakukan di luar kota.
Keberadaan organisasi grup ini bersifat informal, karena dimiliki secara personal. sang pendiri grup adalah sekaligus pemilik dan pemimpin kelompok kesenian tersebut. Tidak ada struktur organisasi yang jelas. Manajemen organisasi juga personal, hampir semua urusan diurusi oleh pemilik tersebut. Sementara itu Pemerintah Daerah tidak pernah memberikan perhatian serius terhadap grup kesenian ini. Meskipun, beberapa kali Pembina grup ini mengajukan proposal kepa Pemerintah untuk mengadakan festival Can-Macanan Kadhuk se-Kabupaten Jember, mirip dengan grebek Suro di Kabupaten Ponorogo.
Proses pelestarian grup kesenian Can-Macanan Kadhuk menyangkut biaya juga bersifat pribadi. Sementara itu, usaha pelestarian lain seperti yang sudah disebutkan di atas adalah dengan sistem arisan yang juga bertujuan menarik minat generasi muda untuk mempelajari kesenian ini.
Pendokumentasian grup ini baru dilakukan sebatas dokumentasi pribadi penanggap dan pemilik grup. Dalam dokumentasi resmi ataupun komersial belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, keberadaan grup ini juga sering timbul tenggelam. Pada tahun 1974 muncul, tahun 1985 sempat tenggelam dan baru pada tahun 1997 mulai muncul kembali, kata Harry Kresna.




BAB IV
ANALISIS POTENSI


Penulis melakukan analisis berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh Tim Peneliti Lembaga Penelitian (LEMLIT) Universitas Jember (2006) yaitu:
potensi ekstrinsik yaitu sebuah nilai yang berkaitan dengan analisis akademik mengenai kesenian yang menjadi objek penelitian ini, yang dapat dimanfaatkan dalam berbagai kepentingan dalam arti lebih luas. Untuk analisis ekstrinsik ini, setidaknya terdapt 4 variabel nilai yang terkandung di dalamnya. Kedua, anlisis nilai intrinsik, sebuah nilai yang terkandung dalam suatu kesenian tradisional sebagai subjeknya. Setidaknya terdapat tiga variable nilai yang terkandung di dalam nilai intrinsik. Kedua aspek analisis potensi tersebut sangat penting untuk dilakukan dan masing-masing tidak terpisahkan.

4.1. Analisis Nilai Ekstrinsik
Sebagaimana disebutkan di atas, nilai ekstrinsik dalam konteks ini berkaitan dengan analisis akademik mengenai potensi kesenian yang menjadi objek. Terdapat 4 variabel nilai yang terkandung di dalam analisis nilai ekstrinsikini, yaitu:
Aspek Kebudayaan: membahas tentang peran penting kesenian Can-Macanan Kadhuk di Kabupaten Jember dalam kaitannya dengan upaya pelestarian dan pengembangan tradisi lokal sebagai landasan terwujudnya identitas budaya lokal dan memantapkan budaya identitas bangsa.
Aspek sosial ekonomi: membahas tentang peran penting kesenian Can-Macanan Kadhuk yang ada di Kabupaten Jember bagi aspek-aspek sosial ekonomi masyarakat berupa nilai komersial suatu kesenian bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat baik yang terlibat langsung dalam kegiatan kesenian tradisional maupun masyarakat di sekitarnya.
Aspek pendidikan: membahas tentang peran pentingnya kesenian Can-Macanan Kadhuk sebagai sarana pendidikan, misalnya sebagai sarana penanaman nilai-nilai etika dan moral.
Aspek ilmu pengetahuan: membahas tentang peran pentingnya kesenian Can-Macanan Kadhuk bagi pengembangan ilmu pengetahuan, misalnya untuk kepentingan studi ilmu seni musik, seni suara, tetater, dan lain-lain.

4.1.1. Can-Macanan Kadhuk
4.1.1.1. Aspek Kebudayaan
Can-Macanan Kadhuk merupakan salah satu kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang di Kabupaten Jember sampai sekarang. Menurut kesejarahannya, kesenian Can-Macanan Kaduk merupakan bagian dari kesenian bela diri Pencak Silat. Seperti yang sudah disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa Can-Macanan kadhuk lahir dari rahim budaya Pendhalungan yang multikultur. Jadi, kesenian ini juga merupakan hasil persilangan dari berbagai latar belakang budaya yang berbeda-beda. Kalau kita perhatikan dalam keseninan Can-Macanan Kadhuk ada unsur dari budaya Tionghoa, Jawa, Osing, dan Madura yaitu Barongsai, silat, dan alat musik tabuh seperti ketempong, gendang dan seruling. Hal ini merupakan keunikan tersendiri dari kesenian ini yang tidak ditemui di daerah lain.
4.1.1.2. Aspek Sosial- Ekonomi
Grup kesenian Bintang Timur termasuk sering menerima pesanan pementasan. Dalam sekali pertunjukan penuh dengan menyertakan seluruh anggota dan jenis variasi hiburan yang dimilikinya, tarif mereka bisa menjapai Rp. 2 juta. Namun, jika dalam pertunjukan yang diminta hanya Can-Macanan saja biaya yang mereka minta cukup Rp. 500 ribu dengan catatan konsumsi dan transportasi ditanggung oleh pihak penyelenggara. Bisa dikatakan dalam bulan-bulan besar yang menjadi puncak tertinggi dari intensitas pementasannya hasilnya cukup membantu secata ekonomis.
4.1.1.3. Aspek Pendidikan
Kesenian Can-Macanan Kadhuk ini juga mengandung nilai pendidikan seperti jenis kesenian tradisional lainnya. Kesenian ini dapat menjadi cermin kekayaan budaya bangsa yang berbeda di Kabupaten Jember. Selain itu, karena anggotanya juga mengikutsertakan anak-anak kecil setingkat SD, mereka dapat belajar lebih disiplin yang dimulai pada saat latihan.
4.1.1.4. Aspek Ilmu Pengetahuan
Untuk kepentingan Ilmu pengetahuan, kesenian Can-Macanan Kadhuk dapat dijadikan sebagai ajang pembelajaran dan pengenalan alat-alat musik tradisional seperti ketepong, gendang dan seruling. Sehingga, generasi muda tidak serta-merta larut dalam euforia kebudayaan modern dan menjadi asing seni dan budaya daerahnya sendiri.

4.2. Analisis Nilai Intrinsik
Ada tiga aspek yang dinilai berkaitan dengan nilai intrinsik yakni:
1. Aspek Performance Art: membahas bagaimana secara detail dan mendalam suatu kesenian tradisional tampil di depan publik. Hal ini berkaitan dengan unsur-unsur apa yang ditonjolkan, baik gerak tarinya, lantunan syair dan lagunya serta iringan musiknya dan tentu saja tingkat kesatupaduan semua unsur-unsur tadi dalam setiap pementasan.
2. Aspek Kekhususan: membahas keunikan kesenian daerah tertentu yang membedakannya dengan kesenian di daerah lain.
3. Aspek Respon Masyarakat: membahas tanggapan masyarakat atas keberadaaan kesenian tersebut. Hal ini penting demi kelangsungan kesenian tersebut. Melalui tanggapan masyarakat kita bisa mengetahui unsur mana yang kurang atau perlu ditambahi dari kesenian tersebut, hal ini perlu dipertimbangkan agar suatu kesian tidak semakin ditinggalkan oleh masyarakat.

4.2.1. Can-Macanan Kadhuk
4.2.1.1. Aspek Performance Art
Kesenian Can-Macanan Kadhuk seperti yang disebutkan dalam analisis kebudayaan merupakan hasil persilangan dari berbagai budaya yang berbeda-beda. Meskipun berasal dari pengembangan pencak silat, kesenian ini lebih menonjolkan unsur hiburannya. Kalau dari segi penampilan, kesenian ini terasa lebih kaya dibandingkan dengan pertunjukan barongsai, sebab ia menggabungkan antara kemampuan bela diri, dengan tarian yang diiringi alat musik yang sudah tidak asing bagi masyarakat sekitar. Titik yang sangat berpengaruh terhadap daya tarik kesenian ini adalah kemampuan pemainnya dalam menampilkan atraksi yang beragam seperti.: salto, Can-Macanan dalam adegan menelan seorang anak kecil dan variasi lagu yang dimainkan. Umumnya penonton lebih menyukai musik dengan irama rancak.
Salah satu kelemahan kesenian Can-Macanan Kadhuk ini adalah tidak adanya pakem yang menjadi batasan atau koridor variasi gerakan seperti halnya kesenian Reyog. Akibatnya, kita sulit menilai grup manakah yang lebih bagus dibandingkan dengan yang lain kecuali penilaian terhadap hal-hal fisik seperti keindahan Can-Macana atau keselarasan musik
4.2.1.2. Aspek Kekhususan
Karena lahir dari budaya Pendhalungan, Can-Macanan Kadhuk memiliki kekhususan yang tidak ditemukan di daerah lain. Persilangan berbagai seni dan budaya yang berbeda kemudian menghasilkan jenis kesenian baru yang berbeda yang memperlihatkan keselarasan berbagai macam unsur di dalmnya. Ia juga mewakili nilai filosofis masyarakat setempat yaitu kewaspadaan terhadap datangnya bahaya seperti pencuri atau bencana alam.
4.2.1.3. Aspek Respon Masyarakat
Dari pengamatan yang dilakukan penulis, minat masyarakat terhadap kesenian ini tergolong tinggi terutama para orangtua dan anak-anak. Sedangkan para remaja dan pemuda kurang antusias. Menurut Sumar, sang ketua grup, hal ini disebabkan oleh booming musik dangdut beberapa tahun belakangan ini. Tapi untuk di desa-desa peminatnya masih sangat banyak, katanya menambahkan.


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat penulis ambil dari analisis tentang kesenian Can-Macanan Kadhuk, sekaligus saran yang diberikan adalah sebagai berikut.
Kesenian Can-Macanan Kadhuk merupakan kesenian yang diduga berasal dari tradisi pekerja kebun ketika mereka harus menjaga kebun dari serangan hewan liar ataupun pencuri. Kesenian ini kalau dilihat dari estetika pertunjukannya bisa dikatakan memadukan konsep kesenian Barongsai Tionghoa dan Barongan Osing serta instrumen musik Jawa. Meskipun berbeda latar historis penciptaan, Singo Ulung bisa dikatakan hampir mirip dengan Can-Macanan Kaduk, meskipun saat ini tampilan kostum dan gerakan-gerakan tarinya lebih terlihat bagus karena sudah mendapatkan sentuhan dari koreografer profesional. Sedangkan menurut Harry Krisna, Can-Macanan Kadhuk merupakan variasi/tambahan dari pencak silat yang lebih menonjolkan sisi hiburannya. Dalam perkembangannya musik yang digunakan lebih rancak mengikuti selera penonton.
Kesenian tradisional ini masih dikelola secara informal dimana pemilik juga sekaligus meupakan ketua grup. Organisasi ini tidak memiliki sistem reorganisasi yang baik seperti halnya grup yang dikelola secara formal. Sistem pergantian ketua bersifat turun-temurun. Oleh karena itu, beban berat pelestarian dan biaya pemeliharaan alat-alat kesenian ini berada di pundak pemilik. Hal ini berakibat juga terhadap kelanjutan kesenian ini di masa yang akan datang. Seandainya sang pemilik meninggal dan tidak ada keturunan yang bisa mewarisi kesenian tersebut maka dapat dipastikan bahwa grup ini akan vakum.
Kesenian Can-Macanan kadhuk, pada umumnya masih mendapat respon yang positif dari masyarakat. Kesenian ini juga memiliki nilai kebudayaan yang khas Pendhalungan, nilai pendidikan dan ilmu pengetahuan. Dari analisis potensi intrinsik, Can-Macanan Kadhuk memiliki nilai Performance Art yang menarik meskipun masih perlu pembenahan di beberapa bagian yang selanjutnya akan penulis sampaikan dalam saran.
Sampai saat ini belum ada campur tangan atau upaya Pemerintah Daerah untuk mengembangkan dan melestarikan keberadaan kesenian Can-Macanan Kadhuk ini.
5.2. Saran
Setelah menganalisis dan melakukan pengamatan langsung serta interview dengan pelaku kesenian Can-Macanan Kadhuk, penulis menyampaikan saran sebagai berikut.
1. Pemerintah Daerah Kabupaten Jember turut campur dalam proses pengembangan dan pelestarian kesenian Can-Macanan Kadhuk ini, misalnya dengan mengadakan festival Can-Macanan Kadhuk se-Kabupaten Jember sekali dalam setahun, memberikan pembinaan tentang tata cara mengelola organisasi yang baik, memperkuat citra Can-Macanan Kadhuk sebagai kesenian khas rakyat Jember dengan mementaskannya dalam menyambut tamu-tamu kehormatan atau wisatawan asing dan domestik atau membuat souvenir yang bertema Can-macanan Kadhuk,
2. Grup kesenian Can-Macanan Kadhuk melakukan inovasi dan menampilkan kreatifitas baru yang dapat menarik minat masyarakat untuk mengundang dan menonton pementasannya. Gerak-gerak harus atraktif dan tidak monoton. Musik juga menyesuaikan dengan selera penonton. Pada titik inilah sebuah pakem juga sangat perlu untuk dibuat agar pengembangan-pengembangan yang dilakukan tidak meninggalkan pakem “aslinya”. Sehingga dengan demikian, kreatifitas yang ditampilkan tersebut tidak terseret jauh dan menjadi berbeda sama sekali mengikuti selera konsumen dan arus uang. Hal lain yang tidak kalah penting adalah menambah unsur keindahan pada unsur utama yaitu Can-Macanan. Hendaknya Can-Macanan ini dibuat dengan warna yang lebih terang dan menjaga kebersihan “bulu”nya. Sebab, terlalu sering dipakai menyebabkan bulu tersebut kotor dan tidak enak dipandang. Tata panggung juga di setting sedemikian rupa agar lebih menarik. Seragam para pemain hendaknya disesuaikan dengan warna keseluruhan unsur perlengkapan yang dipakai. Demikian juga dengan gerak silat dan tari dibuat lebih spesifik. Lagi-lagi pakem sangat diperlukan disini.

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal

Budhisantoso, S. 1980. “Pariwisata dan Pengaruhnya Terhadap Nilai-nilai Budaya”, dalam Jurnal Analisis Kebudayaan, Tahun II, No.1, hlm 13.

. 1981/1982. “Kesenian dan Nilai-Nilai Budaya”, dalam Jurnal Analisis Kebudayaan, Tahun II, No. 2, hlm. 24-25.

Coplin, William D dan Mersedes Marbun. 1992. Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis. Bandung: Sinar Baru.

Friedman, Thomas L. 2006. The World Is Flat. Jakarta: Dian Rakyat.

Kayam, Umar. 1981/1982. “Kreativitas dalam Seni dan Masyarakat Suatu Dimensi dalam Proses Pembentukan Nilai Budaya dalam Masyarakat”, dalam Jurnal Analisis Kebudayaan, Tahun II, No. 2.

Kleden, Ignas. 2001. Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia. Jakarta: Kompas

Lubis, Akhyar Yusuf. 2004. “Memahami “Cultural Studies” dan Multikulturalisme dari Perspektif Pascamodern”, dalam Jurnal Wacana, Vol.6 No.2, Oktober 2004, hlm.104

Mohamad, Goenawan. 2005. Setelah Revolusi Tak Ada Lagi. Jakarta: Alvabet

Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Bandung: Jalasutra.

Sedyawati, Edi. 2006. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: Rajawali Pers.

Tim Lembaga Penelitian Universitas Jember. 2006. Studi Pengembangan Seni Budaya Daerah Di Kabupaten Mojokerto. Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember

Internet
http://www.bksnt-jogja.com/bksnt/download/PENDHALUNGAN.pdf
http://pemkabjember.go.id/v2/selayangpandang/riwayat_singkat.php

Koran
Kompas, Jumat, 16 Juni 2006

Wawancara
Wawancara dengan Pak Sumar, Jumat, 30 Maret 2007 Pukul 15.15. WIB
Wawancara dengan Pak Drs.Harry Kresna Setiawan, MM, Jumat, 30 Maret 2007 Pukul 19.00 WIB

Baca Selengkapnya..

Monday, April 02, 2007

My Story

CAUTION: PD I FISIP UNEJ NGGAK TAHU ATURAN !!!

Ceritanya bermula ketika pada awal semester lalu, aku mengambil Kartu Hasil Studi (KHS) di bidang akademik FISIP. Setelah aku periksa satu persatu ternyata nilai KKN-ku tidak tercantum, bukan hanya nilainya tapi juga nama mata kuliahnya! Aku tanya kanan kiri ke teman-temanku apakah mereka juga mengalami hal yang sama. Ternyata KHS mereka serupa tapi tak sama, nilainya belum ada tapi nama mata kuliah KKN ada alias terprogram. Belakangan aku tahu bahwa ada kekacauan system akademik yang menyebabkan nilai KKN seluruh mahasiswa FISIP tidak keluar. Tapi kasusku agak aneh, aku mengingat-ingat dan astaga naga!!! Aku luput memprogram KKN pada saat KRS-an dulu. Jadinya, aku KKN tanpa memprogram alias lagi penumpang gelap. Aku mulai panik dan mencoba cari tahu ke bagian akademik apa yang harus aku lakukan? Sayang, mulai dari mbak Sri yang mengurusi administrasi mahasiswa HI, pak Nur Hasan dosen pembimbing akademikku, juga pak Suhartono Dosen Pembimbing Lapangan, sama-sama nggak ngerti!. Akhirnya aku putuskan untuk bertanya ke Pembantu Dekan I yang mengurusi bagian Akademik, berikut petikan percakapanku.
“Begini pak, saya kemarin KKN dan nilai sudah ada, tadi saya cek ke bagian akademik, laporan KKN ada, dokumentasi juga ada, Cuma masalahnya dulu pada waktu pemrograman saya luput, dan lupa memprogram, gimana kira-kira pak?
“wah, kok bisa? sebaiknya mahasiswa jangan coba-coba begitu”
“Tapi pak, ini sama sekali tak ada factor kesengajaan, murni faktor lupa, apakah bisa nilai saya yang sekarang dimasukkan untuk semester ini, artinya, saya programnya sekarang tapi saya nggak usah ikut kkn lagi?
“Nggak…bisa, jujur saya katakan nggak, nggak bisa! Karena saya tidak punya dasar apa-apa, daripada saya katakana bisa dan anda terus mencoba-coba berharap kepada saya, saya katakana tegas, nggak bisa! Kalau sampai terjadi maka nda orang kedua yang mengalami kasus ini, KKN harus diulang!”
“Gedobrrrrrrrrrraaaaaaaakkkkk, haaaaaaaaaa???KKN ngulang?? Maksud lho……?!!! “ tenang-tanang, ini semua terjadi di batinku. “jadi, saya nggak bisa program sekarang tapi nggak usah ikut lagi ni pak?”
“Nggak bisa, saya nggak mau, saya katakana tegas, DARIPADA USULAN ANDA SAYA TERIMA LALU SAYA MASUKKAN KE TEMPAT SAMPAH, lalu anda keluar dari ruangan ini lalu anda berharap bisa, saya katakan nggak bisa!”perkara nanti anda keluar dari ruangan ini lalu menempuh cara lain, apakah menemui UPT TI itu urusan anda.”

Wah, ruangan ber AC itu jadi terasa sepanas di dekat kawah gunung merapi, aku menunduk dan diusir dengan halus,
“ya sudah ya mas, masih banyak yang lain”
“terima kasih pak” aku keluar.

Beberapa hari setelah itu, aku menemui Pembantu Rektor I, dan singkatnya dia katakana demikian:
“itu aturannya sudah jelas, kita (Kantor pusat dan fakultas) sudah sama-sama mengetahui, karena KKN itu dilaksanakan pada saat liburan, maka pemrogramannya bisa dilaksanakan di awal atau setelah KKN, jadi tidak ada masalah anda program sekarang, kan sudah ada nilainya tinggal membuat rumahnya, ya jadi tinggal program saja, nggak ada masalah”

Waaah….lega rasanya sekaligus menyayangkan bagaimana mungkin si Drs. Joko Poernomo, Msi yang terhormat itu tidak mengetahui aturan dan dengan kasar berkata TEMPAT SAMPAH!!!! kepada mahasiswa, berapa korban lagi yang akan berjatuhan karena ketidaktahuannya??????

Baca Selengkapnya..