Saturday, November 21, 2009

“hanya Kau sendiri lah yang tahu pahit dan manisnya hidupku…”

Jauhnya jarak dan belum adanya aliran listrik tak sedikit pun menyurutkan langkah mereka untuk pergi beribadah bersama-sama.

Dari Kefamenanu, perjalanan yang harus saya tempuh kurang lebih 10 kilo meter. Tak lebih dari satu jam lamanya bila naik kendaraan. Sabtu sore itu ketika saya dan beberapa kawan sampai di sana, sudah ada bapa-bapa dan mamak-mamak (sebutan akrab bagi bapak-bapak dan ibu-ibu di daerah tersebut) yang berkumpul di balai yang beratapkan rumput ilalang.

Mereka langsung berdiri dan menyambut kami dengan jabat tangan erat nan hangat serta ciuman mesra mendarat di pipi kanan kiriku dari mamak-mamak. Saya merasa terhormat. Mereka sama sekali belum mengenalku, tapi mau menyambutku layaknya kerabat yang sudah puluhan tahun tidak bersua. Saya sangat menikmati itu semua.

Sebelum ibadah dimulai, saya melihat mamak-mamak dan bapa-bapa mengunyah sirih pinang kapur. Lalu ku lihat seorang mamak mendekatiku dan menyodorkan wadah tempat sirih pinang dan kapur padaku. Waduuh, pikirku. Saya belum pernah memakan ini sebelumnya. Ah tapi tak ada salahnya mencoba hal ini… Dengan bantuan seorang kawan yang mengajariku caranya, saya pun ikut mengunyah sirih pinang kapur itu. Agak pahit dan tawar karena memang belum biasa memakan itu. Sudahlah, ini hanya intermezzo, tapi sangat sayang bila tidak diceritakan. Karena ini adalah pengalaman pertama.

Setelah itu, ibadah pun dimulai. Ibadah berlangsung dengan tata cara Katholik. Menurut informasi yang saya dapatkan, sebagian besar penduduk Timor Tengah Utara ini memang beragama Katholik. Ibadah berlangsung sekitar 1,5 jam. Doa yang dilantunkan menjadi lagu itu dilantunkan dengan sangat indah oleh mamak-mamak dan bapa-bapa sore itu.

Ibadah pun selesai. Iring-iringan makanan pun disajikan. Ada ubi, ketela, dan pisang rebus, popcorn, berdampingan serasi dengan teh manis hangat. Ternyata ini baru makanan pembukanya saja. Tak lama kemudian, makanan berat menyusul. Ada nasi, ketupat, sayur lodeh labu, ayam bumbu, campuran jantung pisang dan daun ubi, tak lupa dengan sambal lu’at (sambal yang terbuat dari irisan tomat, cabe rawit, dan bawang merah khas daerah Timor). Sungguh melimpah!!

Di sela jamuan itu, saya sempat ngobrol dengan seorang mamak. Mamak Dora namanya. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Kata orang-orang di situ, mamak yang satu ini pandai menjerat burung puyuh dengan jebakan dari tali yang dibuatnya. Seorang mamak yang lain bercerita kalau anaknya dulu pernah bekerja di Surabaya. Lalu seorang bapa mendekatiku dan bercerita tentang anak perempuannya yang katanya mirip denganku. Anak perempuannya itu dulu pernah bekerja di Surabaya sebagai perawat di RSAL Surabaya.

Banyak hal berharga yang membuatku belajar dari pertemuan singkat dengan warga Desa Akomi sore itu. Mereka tak pernah mengeluh dengan keterbatasan fasilitas yang ada. Mereka tetap bersyukur, itu intinya. Ini menjadi refleksi mendalam bagiku.

Sejak kecil saya terbiasa hidup serba cukup, walau pun tidak bisa dibilang berlebihan. Namun, seringkali saya kurang mensyukuri hal-hal kecil yang ada dalam kehidupan ini. Malah cenderung menginginkan lebih dan lebih lagi. Manusiawi, pikirku. Tapi melalui pengalaman ini betapa baiknya Tuhan dalam kehidupan kita sekalian. Seberapa terbatasnya fasilitas yang ada, Ia tetap setia memelihara kita.

Belajar bersyukur dengan segala apa yang ada. Bersyukur atas udara yang masih ada yang masih mengaliri aliran darah. Bersyukur atas air yang kita gunakan untuk minum, mandi dan keperluan yang lain. Bersyukur untuk matahari yang teriknya selalu membangunkan kita di pagi hari.

Terima kasih Tuhan.. Mampukanlah saya untuk melihat wajah kemuliaan-Mu ketika sedang bersama masyarakat di sini. Percaya bahwa Tuhan tidak akan mengijinkan pencobaan yang melebihi kemampuan kita. Dan warga Akomi pun sangat mengamini hal itu. Memang benar lirik lagu doa penutup yang mereka senandungkan bahwa Tuhan sendiri yang tahu pahit dan manisnya kehidupan masing-masing kita..

Baca Selengkapnya..