Tuesday, August 05, 2008

Aku Mencintaimu Perempuanku...

Saat itu kantuk telah merayapi tubuhku, dan sedikit pun aku tak berusaha untuk melawannya, maka terlelaplah raga ini….

Tak lama setelah itu, dering telpon menyentakku… ternyata suara seorang kawan perempuan di seberang sana. Dan terdengar jelas bahwa suara itu bergetar tanda menangis...

Lalu aku berkata padanya kalau aku akan segera datang ke tempatnya.

10 menit kemudian aku sudah di tempat kawanku itu..

Saat itu kawanku dan kekasihnya masih berada di beranda rumah kostnya. Aku langsung menghampiri dan merangkulnya.

Ia menangis terisak....seolah-olah air mata itu hidup dan ingin membuat jejak-jejak kepedihan di pipinya yang kemerahan.

Hatiku hancur melihat kawanku seperti itu, dan aku juga tak sanggup membendung air mataku.

Aku usap air matanya dan menggenggam tangannya..

Kawanku itu...seorang perempuan yang tegar, tapi mengapa sekarang ia seperti ini? aku tak habis pikir..

Masih dengan mengangis, ia menjelaskan dengan suara lantang dan mengarahkan telunjuknya kepada sang kekasih, seraya berkata:”Ayoo..kamu cepat bilang kalau kamu habis memukuli aku, menendang perutku, mencekik leherku, memukuli mulutku dengan sandal!!”.

Sang kekasih hanya tersenyum sinis dan menimpali,” Yaahh...memang aku telah memukuli kamu, dan aku tahu itu salah..tapi aku berbuat itu karena aku merasa benar!!”

Ya Tuhan....ini terulang lagi, pikirku.. Hatiku semakin hancur mendengar semua kata-kata yang muncul dari kedua anak manusia yang 24 jam yang lalu masih terlihat mesra dan baik-baik saja itu.

Sedikit pun aku tak berani bicara karena aku memang tak mau ikut campur dalam hubungan mereka berdua...mereka toh sudah akil baliq. Dan aku berprinsip, aku hanya mau berbicara atau memberi nasehat pada kawanku perempuan itu, karena ia adalah kawan dan saudaraku.

Karena sudah tak tahan lagi, aku mengajak kawanku itu masuk ke kamarnya. Ia merebahkan tubuhnya yang aku sangka semakin hari semakin tipis itu di atas ranjang sepon berukuran single bed. Ia lalu bercerita detil apa yang sebenarnya telah terjadi antara ia dan kekasihnya.

Aku tak mau tahu apa yang telah terjadi antara ia dan kekasihnya. Yang hanya aku ingin tahu, kenapa kekerasan ini sampai terjadi? Sebagai seorang perempuan, aku tidak bisa menerima semua ini.

Lalu, aku berkata,”Kawan, ini bukan yang pertama kali terjadi, kau tau itu. Dan aku terus bertanya-tanya, kapan ini semua akan berakhir? Aku tahu persis pengorbananmu sudah terlampau besar untuknya, kau lakukan itu dengan harapan kekasihmu pun akan melakukan setimpal, tapi apa yang kau dapat? Lihat dirimu sekarang...! masih pacaran saja sudah begini, apalagi kalau kau nanti sudah nikah?? Dan aku yakin perlakuan kasar itu akan semakin menjadi ketika kalian sudah menikah, dan suamimu berpikir ia sudah memiliki hak atas jiwa dan tubuhmu.”

Ia masih terus tersedu dan menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya....lalu berkata kalau ia tak bisa berpisah dengan kekasihnya karena masih sangat mencintai sang kekasih..

Hatiku protes keras dan ingin berteriak,”Bodoh!! Laki-laki itu sama sekali tak pantas mendapatkanmu.. dan aku yakin kau masih bisa memperoleh laki-laki yang lebih mencintai dan menghargaimu sebagai seorang pasangan yang sejajar dan tidak subordinatif.”

Ya sudahlah kalau memang begitu keputusanmu, kawan, aku tetap ada di belakangmu dan terus mendukungmu...kapan pun kau butuhkan, akan selalu aku usahakan ada di sampingmu.

Sejak saat itu, hatiku selalu galau dan terus mengutuki tindakan kekerasan yang dilakukan oleh siapa pun kepada perempuan....apalagi dengan alasan dominatif.

Jarang sekali aku menjumpai posisi yang seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah hubungan—entah pacaran atau bahkan pernikahan sekalipun.

Tak jarang aku memikirkan sekaligus mengkhawatirkan keadaan kawanku tadi apabila ia benar-benar memutuskan untuk membina bahtera rumahtangga dengan laki-laki biadab itu.

Kate Millet dalam tulisannya Sexual Politics mengatakan bahwa perkawinan atau keluarga adalah instrumen utama patriarki yang mengatur sikap dan tingkah laku anggotanya sedemikian sehingga terjadi pelanggengan ideologi patriarki. Memang benar kalau sekarang ini sudah banyak perempuan yang telah berkarier di ranah publik, tapi seiring dengan itu diciptakanlah aturan-aturan sehingga tatanan kekuasaan itu tetap sesuai dengan ideologi yang mendasari keseluruhan struktur dalam masyarakat itu. Ideologi apa? Ya pastilah ideologi patriarki, yang cenderung meninggikan nilai-nilai maskulin dan mulai menomersekiankan kepentingan perempuan dan merendahkan nilai-nilai feminin. Peran perempuan di sektor publik dianggap hanya bersifat tambahan, sedangkan beban domestik seolah-olah itu merupakan area khusus perempuan yang seharusnya tidak dimasuki laki-laki.

Perempuan boleh memasuki sektor publik karena ada konsep lebih tingginya nilai-nilai maskulin. Dan tak jarang perempuan harus menyesuaikan diri dengan iklim kerjanya sehingga ia terkondisikan untuk memaskulinkan dirinya.

Perempuan boleh-boleh saja bekerja di luar tapi tetap melaksanakan pekerjaan domestiknya, tetapi laki-laki tidak boleh mengerjakan pekerjaan domestik karena itu merendahkan dirinya. Alhasil, perempuan akan memiliki setumpuk beban yang harus dikerjakan sendiri.

Tidak ada habisnya membicarakan makhluk indah bernama perempuan, sejuta label melekat padanya, sejuta pujian dialamatkan padanya, tapi sejuta kecaman tak jarang diarahkan padanya, sejuta kekerasan kerap mendarat di tubuh moleknya, dan tak banyak yang menyadari itu semua.

Yang ada hanya pemakluman karena memang kondisi atau sistem yang memang berbicara bahwa perempuan seyogyanya berada di’bawah’ laki-laki. Agama, adat istiadat, hukum pun turut menyuburkan pendiskreditan terhadap perempuan.

Ooh..perempuanku....

Aku yakin bahwa kita bisa berjuang untukmendapatkan hak-hak yang seharusnya kita peroleh... yang kita butuhkan hanyalah kesadaran bahwa konsep perempuan adalah the second sex itu tidak benar.

Aku percaya bahwa masing-masing laki-laki dan perempuan itu memiliki potensi yang berbeda dan secara biologis memang berbeda. Oleh karena itu, bila kita terlalu memaksakan untuk ’menyamakan’ perempuan dan laki-laki pasti akan merugikan perempuan itu sendiri.

Perempuan yang merdeka adalah bila perempuan itu memiliki kebebasan untuk memilih jalan terbaik bagi kehidupannya tanpa dominasi atau interveni dari mana pun. Jadi, jangan pula lantas menyalahkan perempuan yang memilih untuk bekerja di sektor domestik, karena itu memang pilihannya....pilihannya sebagai perempuan yang merdeka.

Kembali teringat dengan peristiwa yang menimpa kawanku, aku sangat menyayangkan karena ia lebih memilih melanjutkan hubungannya dengan sang kekasih.

Tapi itu tidak menjadi soal sebab ia yang memilih itu, dan tentu saja ia telah siap dengan segala resiko yang akan menghadang.

Aku hanya bisa mendoakan supaya kau berbahagia hidup dengan kekasihmu itu.

Sebenar-benarnya aku tidak sanggup melihat tangis perih dan lebam itu menjejak di tubuhmu karena aku mencintaimu, perempuan......

No comments: