Tuesday, August 05, 2008

Akal-akalan Penetapan Kuota Perempuan

“Kuota adalah pedang bermata dua. Di satu pihak, kuota mengharuskan laki-laki berpikir tentang keterlibatan perempuan dalam pembuatan keputusan, karenanya laki-laki harus menciptakan ruang untuk perempuan. Di pihak lain, karena laki-laki yang membuka ruang ini, maka mereka akan mencari perempuan yang dapat diatur—perempuan yang lebih mudah menerima hegemoni laki-laki. Anna Balletbo- ”

Pasal 57 dan 58 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum secara tegas menyebutkan bahwa partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) harus memenuhi sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan dalam mengajukan calon anggota legislatif (caleg) kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di sana tertulis apabila parpol tidak memnuhi kuota tersebut maka KPU mengembalikan berkas dokumen admnistrasi caleg kepada parpol yang berswangkutan. Demikian juga dengan turunannya yaitu peraturan KPU no.18 tahun 2008 tentang pencalonan anggota legislatif. Dalam pasal 10 disebutkan caleg parpol harus memuat 30 persen keterwakilan perempuan.

Hal ini pada dasarnya adalah hal yang baik mengingat jumlah perempuan yang duduk di dewan legislatif sejak tahun 1950-2004 tak pernah lebih dari 15 persen. Betapa ironisnya keadaan itu mengingat separuh lebih penduduk Indonesia adalah perempuan. Hal yang tak bisa dilepaskan adalah banyaknya masalah yang menimpa perempuan mulai kekerasan rumah tangga hingga perdagangan manusia yang tak becus ditangani oleh legislator laki-laki karena minimnya sensitifitas jender.

Penerapan kuota 30 persen ini bukannya tak menimbulkan pro dan kontra. Ada yang berkata itu baik bagi perempuan, sebaliknya ada pula yang menaggap kuota sebagai bentuk pembatasan bagi perempuan. Padahal, jika dicermati secara kritis, penerapan kuota itu senduri,-sebagai affirmative action- juga masih setengah hati. Undang-undang pemilu sengaja dibuat cacat dengan mewajibkan parpol menyertakan representasi 30 persen perempuan dalam kepengurusannya tapi tidak ada sanksi tegas jika mereka tidak melaksanakan pasal tersebut.

Akibatnya, KPU sebagai lembaga teknis penyelenggara pemilu juga tak dapat berbuat banyak dalam membuat kebijakan yang lebih adil bagi perempuan. Anggota KPU, Endang Sulastri dan Andi Nurpati yang banyak berkecimpung dalam gerakan perempuan pun secara terbuka mengaku tak bisa mengakomodir tuntutan berbagai aktivis perempuan dalam menyusun peraturan KPU no.18 tahun 2008 tentang calon legislatif.

Bahkan, Koordinator Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Revisi UU Politik (Ansipol) Yuda Irlang, menilai peraturan tersebut adalah kemunduran dibandingkan dengan UU pemilu. Pasalnya, dalam peraturan tersebut, KPU hanya mengharuskan partai membuat alasan tertulis apabila tidak memenuhi kuota 30 persen perempuan dalam pendaftaran calegnya.

Satu-satunya hukuman bagi parpol yang tak memenuhi kuota adalah KPU akan mengumumkan kepada masyarakat melalui media massa bahwa parpol yang bersangkutan tak memenuhi kuota perempuan dan melanggar pasal 27 UU pemilu. Dengan kata lain, tak ada sanksi tegas bagi parpol yang melanggar ketentuan dalam UU. Seharusnya kewajiban dalam UU tersebut diikuti sanksi berupa dibatalkannya keikut sertaan parpol sebagai peserta pemilu 2009. Hilangnya sanksi ini agaknya memang disengaja oleh legislator demi kepentingan mereka sendiri.

Dalam hal penerapan kuota perempuan, elit parpol di negeri ini kiranya perlu ”studi banding” ke Swedia untuk merubah mindset mereka. Parpol di negara skandinavia itu secara sadar menerapkan kuota meskipun hal itu tak diatur secara tegas oleh undang-undang pemilihan umum. Sebagian besar partai politik di Swedia telah memberi ruang bagi perempuan setidaknya 30 persen, bahkan beberapa partai di Swedia seperti Partai Liberal (The Liberal Party), Partai Hijau (The Green Party), dan Partai Sosial Demokrat (The Social Democratic Party) telah menerapkan gender-neutral (jumlah yang sama bagi laki-laki dan perempuan). Berbagai strategi diterapkan oleh partai politik di Swedia, mulai dari penerapan goal (komitmen untuk merekrut perempuan), target (penerapan jumlah persentase minimal bagi perempuan), kuota dan zipping system dalam penyusunan caleg.

Sistem politik Indonesia dan Swedia memang berbeda. Namun, bukan berarti hal yang diterapkan di sana sama sekali tak cocok dilaksanakan di sini. Bukan jamannya lagi elit parpol memandang perempuan sekedar sebagai lumbung suara dan vote getter. Lebih dari itu, kaum perempuan harus senantiasa berjuang keras untuk mewujudkan sistem politik yang lebih adil bagi semua.

No comments: