Wednesday, May 16, 2007

Membumikan Makna Kenaikan Yesus Kristus

Salah satu makna kenaikan Yesus Kristus ke Surga yang diperingati pada Kamis, 17 Mei 2007 ini adalah keteladanan. Hal ini bisa dilacak dari pesanNya yang terakhir kepada murid-muridNya dimana Ia berkata “ Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Matius 28: 19-20). Bagi umat Kristen hal ini berarti memberitakan Injil (kabar keselamatan) ke seluruh dunia dengan menjadikan Yesus sebagai teladan hidup. Teladan yang semasa hidupNya memberi contoh sebagai raja sekaligus hamba yang melayani, bertanggung jawab, penuh cinta kasih, anti kekerasan dan tak segan berkorban.
Makna di atas semakin relevan di tengah kemelut krisis dan masalah yang melanda bangsa ini, rasanya kita semakin sulit mencari sosok pemimpin yang patut diteladani. Pemimpin yang seharusnya menyatukan diri dengan rakyat semakin hari justru kian jauh dari rakyat dan tidak memperjuangkan kepentingan rakyat. Para elit hanya sibuk bertikai dan saling intrik demi kekuasaan dan uang. Contoh kasus yang sangat mengagetkan publik, seperti kasus dana non-budgeter Departemen Kelautan dan Perikanan yang disinyalir mengalir ke seluruh calon presiden pada Pemilu tahun 2004 lalu, termasuk calon terpilih yaitu Susilo Bambang Yudhoyono. Sementara di sisi lain, jumlah kemiskinan terus merangkak naik. Korban Lumpur Lapindo terkatung-katung nasibnya. Budaya kekerasan yang lebih mengutamakan kekuatan otot ketimbang dialog. Kerusakan lingkungan semakin parah bahkan Indonesia digolongkan sebagai perusak hutan paling parah. Menghadapi semua kenyataan ini pemimpin kita justru terkesan berkelit dan mati-matian menampilkan diri sebagai yang “tak berdosa” demi menjaga citranya di depan rakyat. Tak ada kejujuran, rela berkorban dan sikap bertanggungjawab kepada mereka yang diwakili.
Padahal, pemimpin yang sejati seharusnya adalah pemimpin yang mampu menyelaraskan antara ucapan dan laku sehari-hari. Dengan demikian janji-janji berjuang bersama rakyat, bersama-sama berusaha mencapai kemakmuran tidak terkesan omong kosong. Sebab di saat sebagian besar rakyat menderita sengsara karena kemiskinan, wabah penyakit, bencana dan nyaris kehilangan harapan pemimpinnya justru sama sekali tak menunjukkan empati dan rasa kebersamaan. Yang diributkan tak jauh dari unsur uang dan kekuasaan melulu.
Kita tidak tahu kepada siapa harus mencontoh, mengingat mayoritas pemimpin yang ada hanya mengutamakan kepentingan individu maupun golongannya saja. Tak dapat dipungkiri, wakil-wakil rakyat yang ada telah terperangkap dengan “baju” atau “simbol” yang mereka bangun sendiri. Sehingga berbuat sesuatu terlebih dahulu memperhatikan asal usul seseorang, dari golongan atau partai apa dan menghitung untung rugi bagi diri mereka sendiri sehingga penegakan hukum pun terkesan tebang pilih. Bukankah mereka dipilih karena rakyat percaya bahwa wakilnya akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik? Rasanya, semua kita akan menarik nafas dan mengelus dada tanda prihatin melihat realitas di Indonesia.
Salah satu hal yang penting untuk menyembuhkan penyakit sosial dan politik di negara kita yaitu menumbuhkan kepekaan diri atas segala fenomena sosial di sekitar kita, seperti yang telah Yesus lakukan ketika di dunia. Dalam hal ini tentu peran kaum terpelajar seharusnya sangat besar. Namun kenyataannya sekarang kita lihat bukan hal yang aneh lagi dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia banyak orang terpelajar dengan gelarnya yang seabreg melakukan sesuatu yang memalukan, misal membuang sampah sembarangan, tidak mematuhi rambu lalu lintas, dan lihat saja maraknya tawuran di kampus-kampus di Makassar, Ambon dan Medan. Kampus yang seharusnya menjadi pusat pendidikan dan kebudayaan yang dihuni oleh orang-orang yang arif, bijaksana dan intelektual menjadi ajang berebut pengaruh dan kuasa terutama dalam pemilihan rektor. Maka tak heran bila masing-masing pihak saling mengerahkan massa seperti terjadi di kampus UISU Medan. Ini menunjukkan kita masih menerapkan paradigma bahwa pemimpin harus dilayani dan disembah sehingga kita kurang peka terhadap sesama kita dan orang lain. Warga Indonesia kehilangan figur seorang Rabuni, yang artinya guru.
Kenaikan Yesus Kristus ke surga menjadi satu pesan bahwa sudah saatnya umat manusia berbuat karya nyata meneladani apa yang telah dilakukanNya selama hidup di dunia ini. Yesus adalah seorang guru yang patut kita contoh. Ia mengajarkan tentang cinta kasih pada sesama, keadilan, pengampunan, kesabaran, kepekaan terhadap sekitar. Sebagai seorang guru, Ia sendiri yang mempraktikkan ajarannya, tidak sekedar teori. Yesus pun rela mengorbankan nyawanya untuk orang-orang yang dikasihiNya yaitu umat manusia, dan itu adalah kasih yang terbesar. Lalu, apa tugas manusia? Manusia mendapatkan tugas pengutusan untuk memberitakan kabar keselamatan, mengeratkan persaudaraan dan saling mengasihi serta bahu-membahu berjuang membebaskan diri dari kesengsaraan demi kemuliaan Tuhan. Selamat Hari Kenaikan Yesus Kristus!

No comments: