Thursday, May 10, 2007

Pram dan Sebuah Polemik

Polemik selalu membangkitkan gairah. Setidaknya itulah yang kita baca dari sejarah bangsa ini yang konon kata Hegel, bukan sembarang peristiwa, dan ini diamini oleh Marx. Ahli pikir lain juga dengan yakin mengatakan bahwa ada jiwa zaman (zeitgeist) yang turut membentuk ide dan laku seseorang. Konon juga manusia sebagai aktor memiliki budi nurani (social conscience of man) yang gandrung akan kemerdekaan, kebebasan, keadilan dan kemakmuran. Masalahnya adalah bagaimana gerangan kita meraihnya? Bukankah dunia ini penuh dengan kontradiksi, dan memang tak seindah yang kita inginkan?
Revolusi?
Indonesia di awal abad-20 seperti banyak negara di belahan dunia yang lain, pernah memancangkan tiang revolusi untuk membebaskan diri dari cengkraman kapitalis imperialis dan mewujudkan cita-cita adil dan makmur. Sekali revolusi dicetuskan, ia tak akan berakhir hingga cita-citanya tercapai, kata Bung Karno ketika banyak pihak yang menganggap revolusi sudah selesai sewaktu Indonesia telah merdeka. Polemik pun lahir dan membesar. Dwitunggal—Soekarno-Hatta—pecah. Dalam gegap gempita perbedaan pendapat itu, di sisi lain kehidupan rakyat makin digerogoti oleh kemiskinan.
Dalam suasana seperti itu, kata revolusi kian terasa menjemukan dan “membahayakan”. Sebab memecah massa menjadi pro dan kontra revolusioner (kontrev). Padahal orang diajarkan bahwa salah satu syarat sebuah revolusi adalah persatuan…persatuan….dan persatuan agar tak gampang dipatahkan. Sejarah kemudian menunjukkan bahwa tuduhan kontrev dan reaksioner justru menjadi senjata yang amat ampuh untuk “memojokkan” lawan politik. Sebuah tuduhan yang serius. Dari titik inilah, polemik antara Pram dengan beberapa sastrawan yang menulis di majalah sastra seperti Sutan Takdir Alisjahbana dimulai. Pram hendak memulai sebuah polemik bahwa orang harus berdiri dengan posisi dan warna yang jelas. Orang yang tidak jelas katanya dalam tulisannya tiga kali berturut-turut di Bintang Timur, 10 Aug, 1 Sept, 7 Sept, 12 Okt 1962 harus dibabat. Rezim dan zaman pada waktu itu berpihak padanya dan ia “menang”. Tapi, zaman berubah pasca 1965—setelah ribuan orang dibantai atas nama ideologi-, Soeharto dengan rezim Orde Barunya tengah sibuk membangun negeri dari keterpurukannya. Seluruh kekuatan elemen bangsa diarahkan ke satu bidang—ekonomi--. Politik diminimalisir karena dianggap sebagai sumber perpecahan selama ini bahkan pada taraf tertentu diharamkan jika dianggap “mengancam” ketertiban umum. Pram dengan semangat revolusionernya termasuk dalam kategori yang diharamkan. Kali ini tuduhan yang dikenakan adalah terlibat komunis—sebuah tuduhan yang serius pada zaman itu. Ia diringkus, naskah-naskahnya dibakar dan ia diasingkan ke pulau buru tanpa proses peradilan.
Tugas utama seorang manusia adalah menjadi manusia, kata Multatuli yang kemudian menjadi kalimat yang sering disuarakan Pram. Ia prihatin melihat manusia Indonesia mandi dalam darah saudaranya sendiri. Pram begitu mengagungkan humanisme—sesuatu yang gampang diucapkan namun sulit diterjemahkan dalam laku orang Indonesia yang katanya ramah dan murah senyum. Lagipula sikap otoriter adalah sah untuk mengamankan sebuah revolusi sekaligus memelihara kekuasaan dan dalam konteks yang lebih luas menjaga seraya membangun ke-Indonesiaan. Singkatnya adalah identitas,--sesuatu yang bagi sebagian kita belum selesai hingga saat ini. Berlakunya Pancasila sebagai dasar negara dianggap kekalahan oleh kelompok tertentu maka, “revolusi belum selesai” untuk menjadikan piagam Jakarta sebagai dasar negara. Lebih tegas lagi, Islam! Itulah yang diajarkan oleh sejarah kepada kita. Soekarno melarang PSI dan Masyumi, Soeharto mengirim ratusan ribu tahanan politik ke Pulau Buru tanpa proses peradilan, dan hari ini George Walker Bush menggempur Irak. Ini bukan monopoli negara karena pada saat tertentu hingga hari ini kita masih menyaksikan orang teriak, PKI…PKI….sambil mengadahkan tinju. Ada juga yang mengatakan fundamentalis, teroris, sesat lalu membawa pasukan bersenjata untuk “mengamankannya”. Kita rupanya nyaman dengan kemapanan bahkan bagi kita yang katanya anti kemapanan sekalipun. Lalu, sejauh mana humanisme juga HUMANISME UNIVERSAL yang digadang-gadang itu bisa diterjemahkan menjadi laku? bukan sekedar esensi atau,--meminjam kalimat Budha-- hal luhur yang benar, asalkan tidak sampai dirumuskan; jika dirumuskan, tidak benar lagi? Kalau tidak dirumuskan lalu bagaimana kita melaksanakannya? Apakah sekedar diam manggut-manggut atas keadaan yang ada yang mungkin enak dan menguntungkan kita tapi pahit dan menindas jutaan manusia lain di sekitar kita? Katakanlah contoh kecil, kapitalisme. Dimanakah posisi sang humanis? Dan bagaimana kita merangkai semua polemik ini dalam sebuah frame kebangsaan, ke-Indonesiaan? Entahlah saya jadi ragu itu masih dianggap penting atau tidak hari ini!

No comments: