Saturday, March 22, 2008

Andang C.Y: Menggugah Semangat Lewat Lirik Lagu

Dia bukan seorang seniman papan atas dengan karya yang terkenal seantero jagad. Dia juga bukan selebritis yang mampu menjual album hingga jutaan copy. Dia lahir dalam kesederhanaan, penampilan alakadarnya dan rendah hati. Uniknya, dari kesederhanaan itulah muncul ratusan karya lirik lagu daerah Using Banyuwangi. Namun, siapa sangka, namanya bahkan tidak dikenal oleh mayoritas masyarakat Banyuwangi, meskipun telinga mereka akrab dengan lagu-lagunya. Bukan jalan mulus yang dia tapaki ketika awal berkarier menjadi seorang seniman. Dia mengaku pernah merasakan derita di balik terali besi penjara akibat salah satu lagu yang diciptakan. Tapi ia tak berhenti di situ. Ratusan lagu daerah yang menghentak dan membangkitkan semangat masyarakat Banyuwangi tetap lahir dari ujung penanya.

Banyuwangi, sebuah kota kecil di ujung Timur pulau Jawa. Sebenarnya tidak ada yang begitu istimewa dari tempat ini. Sama seperti kabupaten-kebupaten di sekitarnya—misalnya Jember—beberapa mall atau supermarket dan ruko-ruko berdiri di sana. Dan satu lagi yang hampir selalu ada di setiap kota yaitu baliho. Tak sedikit baliho menjulang di Banyuwangi yang menampilkan mulai iklan rokok, operator telepon seluler, hingga iklan layanan masyarakat yang dihiasi wajah pejabat setempat. Jalanan tampak nyaman untuk dilalui, jauh dari kesan kemacetan. Bahkan beberapa ruas jalan terlihat lengang, hanya beberapa kendaraan saja yang melintas. Banyuwangi juga kerap menjadi perlintasan orang dari berbagai daerah di pulau Jawa menuju ke pulau Bali yang keindahan alamnya terkenal ke seluruh dunia. Daerah ini sempat menjadi pusat perhatian secara nasional, saat dinamika politik yang sering berujung kepada konflik terbuka terjadi di sana, sebut saja kasus dukun santet pada tahun 1998 dan kasus Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada tahun 2006 silam.

Jauh sebelumnya, yaitu pada tahun 1965, tak lama setelah peristiwa tragedi berdarah yang kemudian dikenal dengan nama Gerakan Tigapuluh September (G30 S), Banyuwangi kembali jadi berita. Penyebabnya adalah sebuah lagu daerah tersebut diciptakan oleh seniman setempat bernama M.Arif yang berjudul ”Gendjer-Gendjer” dilarang diperdengarkan oleh pemerintah orde baru. Lagu itu dianggap menyebarkan dan identik dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Konon lagu tersebut terinspirasi keadaan rakyat yang melarat akibat pendudukan pasukan Jepang di Banyuwangi pada tahun 1942. Sebelum Jepang datang ke Banyuwangi, masyarakat Banyuwangi tak pernah makan sayur genjer (limnocharis flava) karena perekonomian yang maju. Tapi setelah Jepang datang dan menguras kekayaan alam Banyuwangi, rakyat menderita kelaparan dan terpaksa memakan sayur mayur tersebut. Sekitar tahun 1960-1965an, lagu tersebut pernah dinyanyikan oleh Bing Slamet dan Lilis Suryani di RRI Jakarta dan tenar hingga beberapa waktu. Sekitar tahun 1965, lagu yang lirik aslinya memotret keadaan rakyat jelata tersebut diplesetkan oleh oknum-oknum yang tak bertanggungjawab sehingga maknanya berubah menjadi pembantaian jendral-jendral oleh Gerwani dan PKI. Isi lirik itu adalah sebagai berikut:

Jendral Jendral nyang ibukota pating keleler
Emake Gerwani, teko teko nyuliki jendral
Oleh sak truk, mungkir sedot sing toleh-toleh
Jendral Jendral saiki wes dicekeli
Jendral Jendral isuk-isuk pada disiksa
Dijejer ditaleni dan dipelosoro
Emake Gerwani, teko kabeh milu ngersoyo
Jendral Jendral maju terus dipateni

Padahal, tadinya lirik lagu itu adalah seperti ini:

Genjer-genjer nong kedokan pating keleler
Emake tholek teko-teko mbubuti genjer
Oleh sak tenong mungkur sedot sing toleh-toleh
Genjer-genjer saiki wis digowo mulih
Genjer-genjer esuk-esuk digowo neng pasar
Digedeng-gedeng diuntingi podo didasar
Emake jebeng tuku gowo welasan
Genjer-genjer saiki wis kudu diolah

Temenggungan: Awal Sebuah Cerita
Andang C.Y, seorang anak desa yang lahir di dusun kecil bernama Temenggungan Kabupaten Banyuwangi pada 19 September 1934. Di daerah ini berkembang beragam keseninan seperti Ketoprak, Wayang Orang, Ludruk, Angklung, Ande-Ande Lumut, Keroncong Mawar Merah dan Ramona. Tumbuh dan menjalani hidup di lingkungan seni, turut membentuk kepribadian Andang menjadi seorang seniman kampung. Pertemuan pertamanya dengan M.Arif adalah ketika ia masih kanak-kanak. Andang kecil melihat sosok M. Arif sebagai seorang seniman yang komplit. Baginya, M. Arif adalah seorang pejuang yang membela tanah air (pegang senjata), pencipta lagu (pegang pena), politikus yang berjuang di DPR pula (pegang palu).

Ketika beranjak dewasa, Andang pun bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebuah organisasi kesenian yang dianggap sebagai underbow PKI. Andang muda mulai tertarik mempelajari angklung dan gemar menulis syair-syair lagu. Lagu pertama yang dia ciptakan bersama M.F. Harianto berjudul “Perawan Sunthi” pada tahun 1967. Lagu itu bercerita tentang perempuan Banyuwangi yang telah matang dan akan memilih suami. Ternyata bukan apresiasi atau penghargaan yang pertama kali dia dapatkan ketika mencipta lagu perdananya, Andang muda malah ditahan 15 hari di Koramil setempat. Apa pasalnya? Ternyata lirik di dalam lagu tersebut yang menimbulkan kesalahpahaman. Ada bait di dalam lagu tersebut yang berbunyi “…kang disuwun wanci kinangan…1”. Lagu itu menceritakan tentang adat daerah Banyuwangi mengharuskan seorang perempuan yang akan mengakhiri masa lajangnya harus nginang daun sirih, sehingga dapat menghasilkan warna merah di bibirnya. Sama dengan Gendjer-gendjer, lagu itu dituduh beraroma PKI oleh Koramil setempat, sehingga Andang ”diamankan”.

Partai Komunis Indonesia (PKI), salah satu partai terbesar pada masa kepemimpinan Soekarno. Andang bertutur, ketika ia masih duduk di bangku Sekolah Rakyat (Setara Sekolah Dasar sekarang), PKI mulai masuk ke Banyuwangi termasuk di kelurahan Temenggungan. Partai itu mempunyai basis yang kuat dalam sejumlah organisasi massa, seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakyat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Himpunan Sarjana Indonesia (HSI). PKI pandai menarik simpati dari masyarakat di sekitarnya, sehingga banyak simpatisan yang bergabung di bawah payungnya. Mereka merangkul seniman-seniman handal Banyuwangi dan memfasilitasi kesenian-kesenian rakyat kala itu. Salah satu lembaga kesenian yang terkenal adalah Lekra.

Lekra memiliki visi yaitu ‘seni untuk rakyat’. Tiga prinsip yang dipegang dalam Lekra adalah, “sama-sama kerja, sama-sama tidur, sama-sama makan”. Saat itu, Lekra terbagi menjadi beberapa bidang, yaitu musik, sastra, teater, dan seni adat. Teater dibawah Lekra hidup subur dengan karya yang berkualitas, seperti Bahtiar Siagan, Kembang Merapi, dan lain-lain, yang disarikan dari karya-karya sastrawan ternama seperti Pramoedya Ananta Toer. Di bidang musik, muncul kelompok seni bernama Sri Muda dibawah pimpinan Muhammad Arif, yang mengembangkan lagu-lagu dan tarian Banyuwangi diiringi oleh angklung. Tahun 1940-an itulah M. Arif menciptakan lagu “Gendjer-Gendjer” yang kemudian dilarang dinyanyikan selama pemerintahan orde baru karena dianggap identik dengan PKI.

Berbincang Dengan Sang Maestro
Muncul setitik keinginan untuk bertemu dengan Andang C.Y. Lalu saya meluncur ke Banyuwangi. Saya memilih naik kereta api Pandanwangi, murah dan santai. Ongkos yang harus saya bayar hanya Rp.4500,-. Sore itu, kereta api yang saya tumpangi terlihat penuh oleh penumpang. Mereka datang dari berbagai kelas sosial, berjubel di dalam balok besi yang penuh sesak. Ada pedagang rokok, penjual krupuk rambak kulit sapi dan tahu pong keliling, penjaja koran dan tabloid bekas. Ada pula tukang copet dan tukang jarah barang yang berwajah innocent sedang merepet pada tas korbannya. Segala macam karakter manusia ada di sana. Bau yang menusuk hidung pun bercampur aduk, dari bau keringat hingga bau sayur mayur dan ikan asin menambah penyadaran dalam diri bahwa memang seperti inilah rupa kereta api ekonomi. Tak masalah, saya senang memperhatikan mereka satu per satu dan kadang tersenyum sendiri bila ada hal-hal lucu terjadi. Namun itu semua tak mampu membuyarkan konsentrasi saya pada sebuah nama: Andang C.Y.

Tiga jam kemudian, tibalah saya di Kabupaten Banyuwangi. Saat itu saya dijemput oleh seorang kawan dari Banyuwangi, Putri namanya. Kami berdua langsung menuju kelurahan tempat kelahiran Andang, Temenggungan.

Kini Temenggungan jauh berbeda dengan keadaan 70 tahun yang lalu. Tempat ini bukan lagi menjadi pusat kesenian Banyuwangi. Setelah bertanya-tanya kepada penduduk di Temenggungan, akhirnya saya dan Putri mendapat informasi bahwa Andang C.Y. kini bertempat tinggal di Jln. Musi no. 37 Kelurahan Penganjuran. Berangkatlah kami berdua ke sana. Tak sulit mencari rumahnya walaupun kami harus bertanya beberapa kali kepada tetangganya.

“Oohh..Rumah Pak Haji Andang, itu ada gang di depan Wartel, Mbak masuk aja, nanti ada gang kecil di sebelah kiri masuk, rumahnya bercat merah tepat di sebelah Mushola.”, ujar seorang pemuda sambil menunjukkan arah dengan jari telunjuknya. Kami pun meluncur menuju tempat yang ciri-cirinya tepat seperti pemuda tadi maksudkan. Rumahnya tak seberapa besar, jauh dari kesan mewah. Beberapa pot tanaman hias yang tertata apik di pekarangan rumahnya menambah kesan sejuk dan nyaman. Sore itu (19/02/2008), mushola di samping rumah Andang terlihat ramai, beberapa anak melafalkan ayat-ayat suci Al-Quran, beberapa yang lain berlarian bersenda gurau di lorong depan mushola. Mereka tampak riang.

Segera saya dan Putri membuka panel pagarnya, dan beruluk salam sambil mengetuk pintu rumahnya. Seorang laki-laki tua membuka pintu, senyum tulus meyembul dari sudut bibirnya. “Mari…Silahkan masuk, Nak.”, ujarnya. Yah…Dialah Andang C.Y. Perawakannya tak seberapa tinggi, tak lebih dari 170 cm. Rambutnya telah memutih, namun itu tak mengurangi kharismanya walau usianya akan beranjak ke 74 tahun. Raut mukanya ramah, jauh dari kesan arogan. Dibalut kaos berwarna hijau dan celana panjang hitam, dia mempersilakashkan kami masuk ke ruang tamu, luasnya kira-kira 6X5 meter. Kami duduk di sebuah kursi sofa empuk berwarna coklat. Di sebelah kiri kursi sofa tersebut, terpampang sebuah foto keluarga. Ketika ia berjalan, saya memandangi caranya melangkahkan kaki yang agak terpincang-pincang, lalu bertanya, “Apakah Bapak sedang sakit? Kok cara berjalannya agak…” Belum sempat saya menyelesaikan kalimat, ia langsung menjelaskan bahwa sejak beberapa hari yang lalu penyakit rematik menyerangnya dan membuatnya agak susah berjalan.

Beberapa saat kemudian, kami bertiga terlibat dalam perbincangan yang santai, dan terkadang diselingi dengan guyonan dan senandung nyanyian daerah Using. Dia bercerita bahwa seingatnya, tak kurang dari 200 lagu daerah Using telah diciptakan sejak tahun 1960-an. Andang saat ini hanya tinggal berdua dengan istrinya, Hj. Suleha. Kelima anaknya telah berumahtangga dan tinggal di luar kota sehingga hanya sesekali saja mengunjunginya.

Menurutnya, lagu-lagu daerah Using Banyuwangi itu memiliki keunikan tersendiri yang tak dipunyai oleh daerah lain. Misalnya, jenis nada yang pentatonik, irama dan dinamika yang rancak, lirik lagu yang mengandung unsur perjuangan. Mayoritas lagu daerah Banyuwangi diiringi oleh alat musik kendang. Jadi, ketika seseorang mendengar iramanya, rasa-rasanya irama tersebut mendorong tangan dan kaki bahkan seluruh tubuh untuk bergerak dan bergoyang menikmati irama lagu tersebut. Andang menambahkan, lirik-lirik lagu daerah Banyuwangi sangat kental dengan aroma perjuangan melawan ketidakadilan dan penjajahan sejak awal penciptaannya. “Misalnya saja lagu Podho Nonton2. Lagu itu mempunyai lirik …pudhak sempal ing lelurung…yo pandhite para putra kejala ing kedungliwung…jalane jala sutra tampange tampang kencono3. Lirik lagu ini tampak ”halus”, tapi bila dicermati, lirik ini menggambarkan anak bangsa yang terkena politik devide et impera (politik adu domba). ”Anak bangsa banyak yang termakan omongan politik halus yang menghasut supaya kita saling berperang, dan penjajah mengiming-imingi kita dengan berbagai macam kekayaan,” ujar Andang. Selanjutnya, lirik itu berbunyi, ..lare angon, gumuk iku paculono, tandurono kacang lanjaran, sak unting oleh perawan4…! Artinya, mengajak masyarakat untuk berpikir jernih dan berjuang untuk melawan penjajah sehingga nantinya kita bisa menikmati hidup yang lebih layak. ”Sungguh indah lirik-lirik ini bila kita mampu menelaah arti yang lebih mendalam daripada kata-kata yang tersurat.”, kata Andang dengan telaten menjelaskan kepada saya dan Putri.

Agaknya memang benar apa yang dikatakan oleh Andang, meskipun dibungkus oleh nuansa cinta dan pengalaman hidup sehari-hari, lagu-lagu daerah Using Banyuwangi sebagian besar menggambarkan semangat perjuangan dan nilai-nilai dalam masyarakat yang harus terus dikobarkan. Konsistensi itu tetap dapat terjaga hingga pencipta baru bermunculan. Lihat saja lagu yang bertajuk “Layangan” karya Catur Arum, seorang pencipta lagu yang baru muncul tahun 2000-an. Konon, lagu “Layangan” bermakna sindiran terhadap perilaku kelompok elit politik saat maraknya isu pemilihan umum. Lagu yang sangat sederhana itu mengisahkan pemandangan di musim bermain layang-layang, bermacam-macam warna, ada merah, hijau, kuning, dan lain-lain. Warna-warna itu menggambarkan masyarakat yang terkotak-kotak oleh warna sehingga tak jarang perseturuan muncul saat suasana pemilihan umum. Penutup dalam lagu tersebut berbunyi demikian, pedhote layangan sing dadi paran, tapi ojo sampek pedhot seduluran…, artinya tidak menjadi masalah bila benang layang-layang itu suatu saat akan putus, tetapi janganlah sampai terjadi putusnya tali persaudaraan. Sungguh sebuah pesan yang mendalam.

Selama perbincangan berlangsung, tak jarang matanya menerawang jauh seperti berusaha mengenang masa silam. Ketika bercerita saat ia ditangkap dan dipenjara, roman mukanya redup dan matanya berkaca-kaca. Andang mengaku pernah ditangkap dan harus mendekam di balik terali besi selama 2 tahun setelah peristiwa pembunuhan jenderal-jenderal yang dituduhkan didalangi oleh PKI, pada 30 September 1965. Dia pernah diculik dan diasingkan di Lowokwaru, Malang selama 19 bulan, lalu dipindah ke kamp konsentrasi wilayah Kalibaru-Banyuwangi, dan terakhir dipenjarakan di Lembaga Pemasyarakatan Banyuwangi hingga akhirnya memasuki tahap rehabilitasi tahun 1967. Semasa dalam tahanan, dia dibiarkan begitu saja tanpa pernah ada tindak lanjut dari penangkapan itu. Sebelum ditangkap, pada tahun 1953-1959, Andang menjabat sebagai Kepala Sekolah SD Pondoknongko, Rogojampi. Setelah peristiwa penangkapan, ia dipecat dengan tidak hormat sehingga tidak mendapat tunjangan atau gaji sepeser pun. Akhirnya tahun 1985 dia mendapat pengampunan dari pemerintah, sehingga walaupun dipecat masih mendapat hak gaji. Hingga sekarang, Andang dan istrinya hidup dari uang pensiunan tersebut, selain dari royalti mencipta lagu.

Saat ini, Andang juga aktif dalam organisasi Dewan Kesenian Banyuwangi (DKB) dan menjadi redaktur majalah budaya Seblang. Dalam kesederhanaan yang dijalani, dia mengaku tetap merasa ikhlas dan selalu mengucap alhamdullilah serta puas karena karyanya masih bisa bermanfaat bagi orang lain. Ditanya pendapatnya mengenai lagu-lagu yang banyak beredar di tanah air masa kini, Andang menjawab, “Lagu-lagu yang muncul sekarang ini saya rasa mengalami peningkatan karena diimbangi juga dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Tapi, saya pikir lagu-lagu klasik yang dulu pun tak kalah mutu baik melodi maupun liriknya dengan yang sekarang.”

Dua jam tak terasa kami telah berbincang dan bertukar pikiran. Sebelum kami pulang, saya menanyakan adakah pesan bagi generasi muda saat ini supaya dapat menghasilkan sesuatu yang lebih berguna dan bermanfaat. Dia menjawab dengan tegas, “Kepada yang muda hanya satu pesan saya: gumuk iku paculono, tandurono kacang lanjaran5! Artinya, segala sesuatu telah tersedia dan lebih canggih sekarang ini, sebagai generasi muda maka kalian harus berpikir jernih dan lebih bekerja keras supaya hasil yang diperoleh pun lebih maksimal.”

Saya dan Putri pun berpamitan, tak lupa kami bersalaman. Di tengah perjalanan, kami bersenandung lagu Umbul-Umbul Blambangan dengan penuh semangat, walaupun saat itu gerimis mulai membasahi bumi Blambangan…
Mbul Umbul Blambangan…Mbul Umbul Blambangan…Blambangan….Tanah Jawa pucuk wetan. Sing arep bosen isun nyebut-nyebut araniro Blambangan…Blambangan6




1 Yang dibawa di atas kepala adalah tempat kinangan sirih.
2 Sama-sama melihat
3 pundak terlihat lelah dan tidak tegap di jalan-jalan, barang bawaan para lelaki tersangkut jala di Kedungliwung (nama tempat di Banyuwangi), jalanya dari sutra dan rupawan.
4 Orang-orang, ayo galilah bukit itu, tanamilah kacang panjang, satu ikat dapat seorang gadis.
5 Galilah bukit itu, tanamilah kacang panjang.
6 Bendera Blambangan.....Bendera Blambangan......Blambangan..... terletak di Pulau Jawa paling timur. Tak akan bosan aku menyerukan namamu, Blambangan..

1 comment:

Anonymous said...

Great topic..
saya lagi iseng nyari2 tokoh penyanyi dan lirik lagu banyuwangi nemu link ini. saat saya sampai pada Layangan-nya Catur Arum, langsung deh tune in lagunya di laptop..
Salam dari Malang, tulis terus tentang Bayuwangi..