Tuesday, January 29, 2008

Oase di Tengah Padang Keputusasaan

“Aku anak Indonesia......
…….Aku bangga menjadi anak Indonesia.....”

Jauh dalam keterpurukan dan masa depan yang serba suram tak pasti, di tengah-tengah sekumpulan manusia dengan tatapan kosong hilang harapan dan semangat hidup, ternyata masih terpancar secercah harapan yang membangkitkan optimisme untuk merenda hari esok.

Paling tidak untuk sejenak, ketika kita mendengar potongan lirik lagu yang dinyanyikan dengan penuh canda tawa oleh anak-anak korban luapan lumpur panas Sidoarjo di SDN Ketapang I dalam peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli yang lalu. Lagu dan canda tawa itu ibarat sebuah tanda yang berseru bagi kita, ”Heii….di sini masih ada gairah hidup!”. Itulah yang saya lihat dan rasakan ketika mengikuti acara yang didalangi oleh Departemen Sosial dan sebuah LSM dengan tajuk “Aku Anak Pintar dan Sehat” itu. Mereka ibarat oase di tengah padang keputusasaan dan barangkali juga amarah yang setiap saat bisa meledak.

Acara ini adalah kali pertama Hari Anak Nasional diperingati di Sidoarjo setelah bencana lumpur melanda kawasan itu setahun lalu. Pagi itu telah berkumpul sekitar 600 siswa, gabungan dari SDN Ketapang I, SDN Ketapang II, SDN Kedungbendo I, dan SDN Kedungbendo III. Sejak bencana tersebut terjadi, seluruh siswa SDN Kedungbendo I dan III terpaksa melanjutkan aktivitas belajar di SDN Ketapang karena sekolahnya telah terendam lumpur.

Devintia, seorang siswa kelas 6 SDN Kedungbendo I mengaku sangat senang bisa merayakan Hari Anak Nasional di tengah musibah lumpur panas yang menimpa keluarganya. “Aku seneng masih bisa sekolah, Mbak. Ibu dan bapak sudah tidak punya pekerjaan. Mudah-mudahan pemerintah segera berbuat sesuatu untuk kami.”, tambahnya.

Adakah orang yang masih mau mendengar harapan serta turut merasakan derita anak-anak ini? Sementara sebuah ancaman lain tengah mengintai di belakang mereka. Seorang pekerja sosial bercerita bahwa perilaku anak-anak korban luapan lumpur panas Sidoarjo mulai tidak terkendali. Mereka mulai malas belajar, bertindak kasar dan membentak-bentak bila ada yang bertanya. Hal ini senada dengan penelitian dari Universitas Airlangga yang menemukan bahwa sebagian besar korban luapan lumpur panas Sidoarjo sedang menderita secara psikologis.

Saya tersentak ketika seorang anak perempuan bertampang kumal menarik-narik jaketku dan berkata, ”Mbak, rumahnya mana? Rumahnya gak kerendem lumpur juga kan? Aku udah gak punya rumah lagi, Mbak.” Ooh…seketika itu juga saya berlutut dan membelai-belai rambutnya dan berujar, ”Adik manis, sabar ya, jangan sedih, Tuhan pasti bantu kita.”

Lalu, saya memangkunya. “Mbak, Ibu bilang Yesus pasti bantu kita. Yesus akan buatin rumah yang lebih indah, kata Ibuku. Bener itu, Mbak?”, tanyanya polos. “Iya, sayang. Yesus pasti akan bantu asal kita percaya dan terus berdoa kepada Tuhan.”, jawab saya. Ia berkata lagi, “Mbak, yuk kita doa bareng!” .Lalu Ia berdoa dengan bersuara. “Ya Tuhan, bantulah ibu bapakku. Tolonglah kami, Bapa. Kami percaya Tuhan akan tolong kami………......”.

Sekilas saya membuka mata, kesungguhan adik kecil ini terpatri jelas di raut wajahnya. “Amin”, ucapnya mengakhiri doa. Ia tersenyum memandangku. “Makasih ya, Mbak.”, katanya. Saya mengangguk. Ia pun pamit untuk kembali ke teman-temannya.

Kenyataan hidup Devintia dan teman-temannya hanya sedikit contoh dari berjuta potret buram kondisi anak-anak Indonesia yang hak-haknya tak terpenuhi. Tindakan mengabaikan hak anak sungguh bertentangan dengan semangat Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (Convention of the Rights of the Child) yang mengedepankan “…anak hidup dalam lingkungan yang harmonis…”.

Indonesia adalah negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak. Ini berarti Indonesia harus mengupayakan pemenuhan prinsip-prinsip dasar hak anak, yaitu tidak diskriminatif, mengupayakan yang terbaik untuk anak, mengedepankan kelangsungan hidup dan perkembangan anak, dan penghargaan terhadap pendapat anak.

Hingga kini sudah lebih dari 22 undang-undang yang mengatur perlindungan anak misalnya, Undang-Undang (UU) No 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak, Keputusan Presiden No 36/1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak. Selain itu, UUD 1945 Amandemen juga mewajibkan negara memenuhi hak pendidikan anak serta mengalokasikan 20 persen anggaran belanja untuk pendidikan. Namun, kenyataannya masih banyak hak-hak anak yang belum terpenuhi bahkan terkesan diabaikan.

Saya tidak ingin sepenuhnya berbicara tentang sebuah pemerintah yang lalai karena sebenarnya masing-masing kita juga bisa berperan entah sekecil apapun. Tentu pertama-tama bukan soal materi tapi yang terpenting memberikan sebuah semangat dan harapan untuk hidup. Dengan itu kita berharap mudah-mudahan mereka bisa bertahan seraya mencari kreasi baru agar kehidupannya tidak lagi sekedar mengandalkan bantuan orang lain. Sebagai pengikut Kristus, hendaklah kita meneladani kebaikan dan kepedulianNya selama di dunia.

Sekali lagi, tidaklah melulu soal materi. Kita dapat berbagi cerita, mendengar keluhan lalu mendoakannya. Dengan begitu, nyatalah cahaya Kristus di tengah-tengah dunia ini, pun semangat yang ada di dalam hati mereka tak akan pernah padam. Melalui kita—umatNya—nyala cahaya Kristus akan semakin terang. Dan saat itu pula, kita pasti telah menyadari bahwa masih ada oase di tengah padang keputusasaan mereka.

1 comment:

Anonymous said...

wah... kamu udah pernah liat lumpur lapindo ya???

sedih ya?aq juga dulu udah pernah liat kesana... tapi aq gak sedekat kamu, yang bisa sedekat itu dengan para korban. aq hanya sebatas sampai dipinggir kolam hanya.

itulah salah satu potret dampak dari bencana yang terjadi di negara kita. Sedih memang jika melihat mereka yang jadi korban. but bagaimana sikap kita jika melihat itu, itulah yg patut kita
pikirkan. karna kalimat "prihatin" saja gak cukup untuk meringankan beban mereka. yas aq puxa cita2 kalo aq ingin menjadi orang yg kaya, sukses, dan berpengaruh kaya billgate. aq ingin dengan cita2 itu aq bisa ikut menentukan langkah yg tepat untuk mereka yang kesulitan dan memperingan bencana yang terjadi akibat ulah manusia(muluk ya cita2xa).

aq pikir selama kita belum bisa mensejahterkan diri kita, kita masih belum bisa untuk care ma orang lain. sepertixa itu udah wajar karena diri kitalah yang paling dasar untuk sesuatu yang kita lakukan .

by : sao